Bab 10 Perpisahan dan Pertanyaan Mengusik (End)

692 25 21
                                    

Dua minggu kemudian Fajar mengajak libur bersama di pantai. Sebelum ia dan keluarga kecilnya pergi ke kotanya. Padahal ia baru beberapa hari bisa berjalan normal. Ajakan itu langsung di sambut antusias oleh Nayla. Kebetulan sekali saat di rumah sakit ia meminta berlibur kesana padaku. Kini aku hendak mengabulkannya.

Sengaja kami mengendarai satu mobil –mobil Fajar supaya lebih seru di perjalanan. Pagi-pagi sekali mobil mercedes benz hitam itu sudah memarkir di halaman rumah. Fajar, Tiara dan dua bocah kecil laki-laki kembar itu keluar. Fayad digendong Tiara, aku tahu dia bernama Fayad cirinya ialah ada tanda lahir di tangan kanannya. Sementara Fayid adiknya tidak punya. Adiknya Fajar yang menggendong. Keduanya memang baru bisa berjalan. Aku dan Nayla menyambutnya antusias.

"Adek kembaaaarrr..." teriak Nayla senang seraya menghampiri Fayad dan Fayid bergantian.

"Kakak Nayla... Halooo," balas Tiara menirukan bicara anak kecil.

Aku bersalaman dengan Fajar, ia selalu saja berpenampilan cool memakai kemeja abu-abu, celana hitam dan sepatu mengkilat bantopelnya. Seperti hendak pergi ke kantor saja. Istrinya jauh berbeda, lebih sederhana dengan long dress kuning serta jilbab coklat mudanya.

Aku mengguyoni lelaki cool itu, "Hei mau kemana kau? Kok ke pantai pakai baju begitu, mau ke kantor dulu bos? Atau mau foto model dulu?" aku nyengir.

Fajar tertawa kecil, malah memperagakan tubuhnya bak seorang model majalah sedang sesi pemotretan, " Gimana? Kau tertarik? Yah, inilah aku. Harus selalu terlihat cool dan tampil prima. This is my fashion." jawabnya ngaco. Aku tertawa.

"Ada yang lucu?" tanyanya berubah.

Tanganku segera menyambar Fayid di gendongannya, "Ini yang lucu. Lebih cool dan keren dari ayahnya. Iya, kan Fajar kecil."

Samar kudengar ia bergumam, "Yeah, no problem."

Dari ruang tamu Tiara bertanya, "Mas Amran Mbak Dhea mana ya?"

"Di dapur, Tia. Lagi buat sarapan. Kalian belum sarapan kan? Yawis, sekalian saja. Setelah itu kita beres-beres. Lalu on the way," jawabku.

Kami sarapan bersama di ruang makan. Sungguh, sebuah pengalaman yang tak pernah terlintas dikepala. Dua keluarga kecil menyatu bersama, keseruan selalu tercipta setiap detiknya. Terutama dengan kehadiran ketiga buah hati kami masing-masing. Benar, buah hati yang telah Allah titipkan merupakan suatu anugrah terindah.

Keseruan kembali tercipta di saat perjalanan. Fajar mengendarai mobilnya, aku duduk di sampingnya seraya sesekali menjadi ketua selfie. Di belakang ada Tiara, Dhea dan ketiga anak kecil. Apalagi ketika si kembar rewel, wow... Seisi mobil serasa nambah dua orang bocah lagi. Kulihat Nayla amat bahagia, ia layaknya menjadi kakak si Fayad-Fayid, begitu sayang dan lengket.

Mobil yang dikendarai Fajar terus melaju membelah jalan. Berbaur dengan kepadatan lalu lalang kendaraan pagi ini. Dari setiap hembusan nafasku tak hentinya kuucap syukur atas karunia yang telah Allah berikan. Ini baru seberapa, ada banyak karunia lainnya yang tentu lebih luar biasa di ciptakan.

***

"Kau dengar apa yang kuucapkan sewaktu menungguimu di awal-awal kau tak sadar?" tanyaku santai sambil terus berjalan beriringan dengan Fajar. Pakaian kami sudah berganti memakai kaos dan celana pendek, usai melaksanakan sholat asar. Dimana sebelumnya kami keliling-keliling wahana dan makan-makan dulu. Pada waktu menjelang senja inilah momen yang ditunggu-tunggu setiap orang. Sementara istri-istri kami dan ketiga buah hati nampak masih di ruang ganti. Kami duluan sholat asar berjamaah di masjid.

Fajar diam, hanya menatap lurus kedepan. Entah ia sedang memikirkan sesuatu atau memang tak mendengar pertanyaanku yang berbenturan dengan gemuruh angin pantai senja.

Kabut Cinta Diujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang