Entah kenapa kakiku tergerak untuk berlari mengejar lelaki bersimbah darah itu, lelaki yang kutemukan sekamar dengan suamiku di kamar penginapan pagi tadi. Aneh memang, istri manapun pasti tak akan sudi hendak campur tangan terhadap lelaki yang nyata-nyatanya ada di kamar penginapan suaminya. Terlebih melihat keadaan suaminya sendiri dan seperti ada banyak hal yang mereka sembunyikan. Sejatinya aku tak mengerti memang, semacam ada bisikan di sudut gelap hatiku supaya kakiku cepat-cepat melangkah cepat.
Langkahku terhenti melihat rombongan suster yang mendorong itu memasuki sebuah ruangan, pintunya cepat-cepat ditutup rapat. Aku mendekati seorang ibu setengah baya yang juga ikut mengejar, ia berdiri mengulum cemas di dekat pintu sambil memegang sebuah surat dan ponsel.
"Ibu, maaf mengganggu. Bolehkah saya tahu siapa lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan ini?" tanyaku hati-hati.
Ibu itu menatapku sejenak, lalu balik bertanya seperti memastikan, "Mbak istrinya, bukan?"
Buru-buru aku menggeleng, "Bu..bukan Bu."
"Ini surat dan ponselnya yang kutemukan di lokasi kecelakaan. Mobilnya menghantam sebuah pohon di dekat jembatan sana, lantas terguling kesisi dekat jembatan nyaris masuk ke jurang, Mbak. Kebetulan saat itu saya ada disana. Saya kaget Mbak dan segera meminta pertolongan. Saya rasa Mbak kenal dengan lelaki itu. Saya titip ini Mbak, maaf saya harus segera pergi. Saya sampai meninggalkan anak saya. Mobilnya sekarang berada di kantor polisi," jelas ibu itu panjang lebar seraya menyerahkan surat dan ponsel ke tanganku, lantas pergi tergesa meninggalkanku dalam keterpakuan.
Pandanganku beralih ke genggaman tanganku, sebuah surat? Dan ponsel.
Dua detik selanjutnya ponsel itu berdering. Ada yang menelpon, entah dari siapa. Aku ragu untuk mengangkatnya. Menimbang-nimbang sebentar lalu,
"Assalamu'alaikum... Mas Fajar sekarang kamu dimana sih? Aku bingung mau pergi kemana. Katanya Mas mau jemput disini, dimana? Aku takut Mas." suara perempuan bernada cemas.
"Mas..Mas Fajar, halooo... Kamu mendengar suaraku nggak? Halo?"
Aku tersentak, "Ya, maaf Mbak, saya yang mengangkat, saya istri teman Mas Fajar." kataku cepat menyembunyikan kegugupan.
"Oohh.. Kok ponselnya ada di Mbak?"
"Iya, ada kecelakaan kecil terjadi."
"Masya Allah... Mas Fajar kecelakaan?" suaranya terdengar kaget.
"Nggak serius kok Mbak, Mas Fajar nggak papa. Kalau boleh tahu sekarang Mbak ada dimana ya? Nanti biar teman saya yang jemput Mbak disana, lalu ke rumah sakit tempat Mas Fajar dirawat," saranku kemudian.
Perempuan itu memberitahu posisinya sekarang dengan nada cemas dan ragu. Sepertinya ia memang bukan orang sini. Dari nada bicaranya aku rasa ia istrinya, terlebih saat berbicara samar-samar kudengar suara tangis anak kecil dan ia menenangkannya. Kalau begitu berarti Mas Fajar, lelaki berkacamata yang tadi membuatku terkejut, juga sudah berkeluarga. Tapi mengapa...? Aku menggeleng. Tak meneruskan lagi pertanyaan-pertanyaan berunsur tanpa bukti. Hanya akan memperburuk sangka saja.
Setelah itu aku meminta Rina untuk menjemput perempuan yang menelpon tadi. Kusebut perempuan itu temanku yang sedang kebingungan di kota barunya. Dan kuminta Rina usai menjemput supaya langsung ke rumah sakit dekat taman kota. Dengan sebelumnya kujelaskan sedikit perihal masalah yang terjadi pada Nayla. Sahabat terbaikku itu tanpa banyak bertanya lagi langsung on the way.
Kini aku duduk di bangku dekat ruangan bertuliskan UGD. Menatap surat dalam secarik kertas putih, ragu untuk membukanya. Kubulak-balikkan surat yang terlipat itu. Di ujung sebelah kanan tertulis 'For My Bestfriend : Amran'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta Diujung Senja
Fiction générale(Part complete) Siapa yang mampu menolak hadirnya rasa cinta dari sang maha pencipta cinta itu? bukankah cinta itu ialah anugrah? tetapi bagaimana cinta yang hadir berupa cinta yang salah? bukankah sang pemberi cinta tidak mengenal kata salah? ceri...