BAB 8 Sebuah Surat Rahasia

364 18 6
                                    

Begitu air wudhu ini menyentuh wajah, kesejukan mengalir lepas keseluruh tubuh. Menyemai fikiran kalut, menghijab desak air mata di kedua sudut dan menciptakan aroma segar di setiap dinding hati yang terluka menganga. Salah satu obat mujarab dalam memudarkan jiwa-jiwa yang basah air mata. Selanjutnya ialah sujud panjang menyatukan sajadah dengan kening, benar-benar posisi yang amat ideal ketika hendak berdialog mesra pada Tuhan Seru Sekalian Alam. Menghabiskan seluruh sisa air mata bermenit-menitpun tak masalah, sebab ketenangan akan hadir seketika, membersihkan kabut-kabut senyap yang menggerogoti jiwa. Allah seakan amat-sangat dekat. Damai dan tentram.

Itulah yang kulakukan usai sedari pagi menumpahkan air mata, berperang dengan kejutan-kejutan tak disangka, hingga detik ini perang itu masih berlanjut. Entah siapa yang akan kalah dan menang. Tak ada yang tahu.

Di ujung sujud sholatku, tak lupa kutabur do'a-do'a, harapan, keinginan yang menyatu dalam jiwa. Untuk semuanya, untuk segenap saudara-saudaraku. Terkhusus lelaki berkacamata itu, mudah-mudahan Engkau belum meminta malaikan izroil untuk mendatanginya. Juga Nayla, anak perempuan kecil itu semoga cepat sembuh dari cobaan yang menimpanya.

Lahaulawalauwwataillabillah...

Langkahku terhenti menangkap pemandangan di dalam ruangan. Dhea terlihat berbicara pada Nayla, tertawa kecil dan mengecup keningnyya. Aku tersenyum penuh syukur.

Kubuka pelan pintu berwarna putih itu. Dhea menoleh, lalu bergegas menghampiriku sebelum aku masuk.

"Mas bagaimana Mas Fajar?" tanyanya bernada cemas. Bekas air mata sudah hilang.

Aku mengangguk, sebuah isyarat bahwa lelaki itu baik-baik saja, tetapi masih dalam keadaan koma. Walau sebelum dhuhur saat pertama kali aku menemaninya, berusaha untuk membangunkan mendadak detak jantungnya kian melemah nyaris berada di ambang kematian, untungnya dokter langsung bertindak dan usai sholat dhuhur kusempatkan menengoknya lagi, ia baik-baik saja. Mungkin tengah tertidur lelap, tidak lebih dari itu.

Dhea bergegas keluar, sepertinya ia hendak memeriksa keadaan Fajar.

"Ayaah..." Nayla memanggil. Aku menghampirinya, menampakkan wajah sumringah tanpa gurat-gurat kesedihan.

Kupeluk tubuhnya sejenak, mencoba mengalirkan rasa rindu dan sayang.

"Ayah kemana saja sih dari kemarin? Nayla rindu ayaah..." keluhnya manja, kurasa keadaannya lebih baik dari sebelumnya.

"Ayah habis kerja lembur, sayang. Sampai pagi, jadi nggak bisa pulang ke rumah tepat waktu. Maafkan ayah ya.." kataku menjelaskan ikut bernada manja.

"Jadinya Nayla seperti ini, Nayla ingin ayah menemani pembagian rapot, pulang bersama. Lalu jalan-jalan seperti biasanya setiap kali Nayla dapat peringkat pertama. Tapi waktu itu ayah ndak datang-datang, terpaksa Nayla mau pergi ke kantor ayah. Tapi tiba-tiba di jalan..." anak perempuan tersayangku itu berhenti bercerita, sedikit terinsak. Ada perasaan haru menyelubung jiwa.

Aku menggenggam erat-erat tangannya, menatap matanya dalam-dalam.

"Nayla sayang jangan menangis. Maafkan ayah... Ayah tidak tahu. Ayah berjanji suatu saat pasti akan menemani Nayla jalan-jalan lagi. Sudah jangan menangis nanti ndak sembuh-sembuh bagaimana? Mau tidur disini sendirian?"

Nayla menggeleng.

"Senyum dong!" pintaku. Ia menurut, tersenyum samar.

"Nayla sudah makan? Kok buburnya masih banyak?" tanyaku seraya mengambil semangkuk bubur di atas meja dekat ranjang.

"Nayla ndak lapar," jawabnya pendek.

"Hei, kapan coba terakhir makan? Pas sarapan pagi kan? Ayo kita jalan-jalan keluar lihat pemandangan nanti Nayla pasti lapar. Mau?"

Kabut Cinta Diujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang