Mas Amran berubah. Itulah sebuah kesimpulan pendek setelah seminggu ini kuperhatikan ada banyak perubahan dari diri suamiku.Sikapnya menjadi pendiam, dingin dan berbagai kejanggalan satu persatu hadir disetiap gerak-geriknya.Sosok Mas Amran yang dulu kukenal mulai tak kutemukan lagi.Baiklah, tak akanjadi masalah jika ia melampiaskannya hanya padaku karena mungkin saja berjejer masalah menghapirinya tanpa disangka atau mungkin juga ia menunggu waktu untuk berbagi. Tetapi kali ini anak semata wayangku –Nayla juga ikut merasakannya.Tak ada lagi edisi saling sapa, bercerita antara kita bertiga, edisi curhatan sebelum tidur.Innalillah bahkan solat berjama'ah pun seminggu ini off. Ia nampak menelan kesibukannya sendiri, hingga bisa saja kubuat daftar waktu kapan ia sibuk diluar dan menyempatkannya hadir di rumah.
Lima hari yang lalu, saat kami bertiga sedang sarapan pagi.Kulirik sekilas wajah Mas Amran, bola mata beningnya amat fokus menelusuri butir-butir nasi di atas piring dengan mulut mengunyah pelan tanpa diselingi sedikit kalimat pun yang keluar untuk sekedar mencairkan suasana pagi. Sampai ketika Nayla bertanya...
"Ayah, sore ini Nayla mau ke rumah Mitha.Mitha ulang tahun.Jadi mungkin Nayla pulang sore. Ayah jemput Nayla di rumah Mitha, ya...," pinta gadis kecil berbando merah muda itu bernada manja.
Hening. Mas Amran diam. Sama sekali tak merespon permintaan Nayla, seolah-olah kedua telinganya tertutup kapas –rapat..Aku mengernyitkan dahi, melirik ke arah Mas Amran dan Nayla bergantian.Gadis Sembilan tahun itu menoleh ke samping sambil menepuk lengan kiri Ayahnya.
"Ayah, gimana?" keluh Nayla cemberut.
Mas Amran gelagapan, "Oh, i...iya, aku bersedia kok."
Aku terkejut. "Aku?"
Bola mata Mas Amran melirikku sekilas, seperti ada aura was-was di balik tatapan itu. Lalu mencoba tersenyum lebar ke arah Nayla.
"Iya, maksudnya Insya Allah kalo Ayah tidak ada halangan, Ayah pasti jemput. Nanti pulangnya mampir juga ke kedai kebab turki kesukaanmu ya. Ok?" Nayla tersenyum mengangguk.
Bagaimanapun juga salah satu kunci dalam berumah tangga ialah harus selalu ada kejujuran serta keterbukaan antara kedua belah pihak.Aku harus tahu mengapa Mas Amran berhari-hari ini berbeda.
"Mas, sebenarnya ada apa sih? Kok mas jadi pendiam gini?" tanyaku bernada khawatir setelah mengecup punggung tangannya. Sebelum ia beranjak memasuki mobil.
"Nggak, nggak ada apa-apa kok. Cuma..."
"Cuma?"
"E, sedikit nggak enak badan."
"Masya allah, Mas Amran sakit?" tanyaku semakin khawatir sambil kusentuh kening dan lehernya.
"Nggak panas."Mas Amran tersenyum.
"Nanti malam Mas cerita, ya.Sekecil apapun masalahnya kita buka bersama dan mencari solusi bersama."
Lagi-lagi dia tersenyum. Ah, senyuman manis yang selalu kurindukan beberapa hari ini. Dia tampak begitu tampan saat tersenyum dengan lesung pipit jelas tergambar di pipi kirinya.
***
Sore itu ponselku benar-benar mati total.Entahlah mengapa, mungkin memang harus kuganti yang baru.Sementara itu aku harus segera menghubungi Rina –sahabatku hendak membicarakan perihal kue pasananku.Itu artinya aku harus meminjam ponsel Mas Amran.Dari arah dapur kudengar suara air berjatuhan di kamar mandi, kurasa Mas Amran sedang membersihkan badan –selepas pulang kantor. Kucari ponselnya disaku celana yang tergantung di kastok kamar. Ada. Kutekan tombol lock, layar ponsel menyala. Dahiku mengkerut, sedikit terkejut.
Kata sandi?
Sejak kapan Mas Amran memprivasi ponselnya? Selama ini belum pernah ia melakukannya. Kucoba isi dengan tanggal pernikahanku.Salah.Kucoba lagi tanggal lahirnya.Salah juga. Aku berfikir sejenak mengingat-ingat angka apa yang sekiranya ia gunakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta Diujung Senja
Ficción General(Part complete) Siapa yang mampu menolak hadirnya rasa cinta dari sang maha pencipta cinta itu? bukankah cinta itu ialah anugrah? tetapi bagaimana cinta yang hadir berupa cinta yang salah? bukankah sang pemberi cinta tidak mengenal kata salah? ceri...