Tak hentinya air mataku meleleh seiring kupacu mobil dengan kecepatan lebih. Menerobos padatnya kendaraan pagi menjelang siang ini. Hanya ada bayang-bayang raut wajah Dhea sekarang ini. Tak ada yang lain. Seolah-olah memori otak secara otomatis memutar kembali kejadian demi kejadian bersamanya. Dari awal aku bertemu, senyumannya, tawanya, tangisnya hingga kejadian beberapa puluh menit yang lalu. Semua berputar begitu cepat, mengisi seluruh memori otakku. Seperti ada belati berkarat menancap tajam tepat di ulu hatiku. Tangisku masih basah.
"Allahurobbi... Ampuni aku jika sampai detik ini selalu berlaku dzolim, menciptakan rasa sakit kepada istriku sendiri," batinku lirih penuh denyar-denyar penyesalan, bersamaan nafas berhembus amat terasa berat.
Apa yang harus kulakukan sekarang ini? Pasti, betapa sakit hatinya Dhea. Walau memang kuyakin ada kesalahpahaman, tapi bagaimana aku akan menjelaskannya jika kabut gelap benar-benar menutupi tabir diantara kami. Aku tidak punya cara untuk menghilangkannya atau sekedar menerobosnya paksa. Begitu gelap dan pengap, seperti tak ada jalan lagi. Allah... Tunjukkanlah cahayaMu, aku butuh Engkau yang selalu menemaniku setiap saat, menuntunku, meniti jalan lurusMu. Kuatkanlah imanku.
Sesampainya di depan rumah aku bergegas turun. Berlari melewati halaman rumah. Tapi semua pintu terkunci rapat, jendela rapat rumahku kali ini seperti tidak ada orang di dalamnya. Aku cemas dan bingung. Aku harus kemana sekarang? Meneleponnya? Ah, itu cara yang amat konyol tak mungkin kulakukan. Pasti ia tak akan menanggapi dalam keadaan sakit hati begitu.
Aku segera kembali masuk ke dalam mobil. Memejamkan mata sejenak, kepalaku berdenyut. Memikirkan langkahku selanjutnya mencari Dhea.
Tiba-tiba aku baru ingat bukankah hari ini ialah hari pembagian rapot anakku? Ya, benar aku yakin, barangkali saja Dhea sedang menuju sekolah hendak menjemput Nayla. Tak berapa lama kembali kulaju mobil, tujuan kali ini adalah sekolah tempat Nayla belajar.
Namun sesampainya disana kutelan kenyataan pahit berlipat-lipat. Suasana sekolah sepi hanya segelintir orang tua murid dan siswa yang masih nampak duduk-duduk. Saat kutanyai termasuk kepada guru-guru disana, semua menggeleng lemah. Tak ada yang tahu keberadaan Nayla dan juga ibunya. Setahu mereka Nayla sudah pulang bersama perempuan berjilbab hijau. Tapi bukan Dhea yang selalu memakai jilbab rapat serta gamis tertutup rapat.
Kemana lagi harus aku cari keberadaan dua permata hatiku Ya Allah? Pikiranku kalut, bingung dan cemas. Aku harus menghubungi Rina sahabat Dhea.
"Aku nggak tahu, Mas. Dua hari ini kami nggak saling menghubungi. Memang sudah cari kemana saja, Mas?" tanya Rina di sebrang sana.
Aku menjelaskan detilenya, tentang kejadian memilukan itu tentu tidak kuceritakan.
"Selain ke kamu, biasanya siapa yang bisa kuhubungi?" tanyaku.
"Mungkin Mama Farid. Ya benar, sepertinya perempuan berjilbab hijau itu dia."
Aku segera menghubungi nomer Mama Farid yang Rina berikan. Dari sebrang sana suara bernada pilu itu terdengar bergetar.
"Nayla kecelakaan, Mas. Sekarang dia dan Dhea berada di rumah sakit dekat taman kota," katanya memberi informasi.
Seketika air mataku kembali memaksa keluar. Aku tergugu, terinsak duduk di dalam mobil. Sebuah berita yang mengejutkan sekaligus amat memilukan lagi.
Allah... Mengapa dua cobaan sekaligus Engkau berikan pada kami? Betapa terpuruknya pasti istriku, Dhea. Ya Allah... Bagaimana kabarnya? Juga Nayla, baik-baik sajakah malaikat kecilku itu?
Tak menunggu lama-lama lagi, kembali kutancapkap gas, kukendarai mobil dengan kecepatan cepat hendak menuju rumah sakit dekat taman kota. Di fikiran kali ini hanya dua bayangan muncul timbul-tenggelam, wajah Dhea serta Nayla. Allah... Kuatkanlah keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta Diujung Senja
Ficção Geral(Part complete) Siapa yang mampu menolak hadirnya rasa cinta dari sang maha pencipta cinta itu? bukankah cinta itu ialah anugrah? tetapi bagaimana cinta yang hadir berupa cinta yang salah? bukankah sang pemberi cinta tidak mengenal kata salah? ceri...