TWO

12.5K 1.2K 36
                                    

"Kook, kau baik-baik saja?"

Jungkook tersadar dari lamunannya. "Uhm? Ya? Apa, Bam?"

Bambam, teman dekatnya di kampus memicingkan matanya, menatap Jungkook dengan dahi berkerut. "Sedari tadi aku bercerita dan kau sama sekali tak mendengarkanku?"

"Maafkan aku, Bam. Kepalaku agak pusing."

"Kau sakit?"

Jungkook menggeleng pelan. Ia melirik sekitar sejenak, lalu memajukan tubuhnya dan setengah berbisik pada temannya itu. "Aku akan mengatakan padamu tapi berjanjilah untuk tidak berisik. Kau mengerti?"

Bambam mengangguk mantap.

Laki-laki manis berambut hitam itu menghela nafas sejenak. Sedikit ragu untuk mengatakan pada sahabatnya ini perihal kandungannya yang sudah berumur tiga minggu. Lagipula ia yakin Bambam hanya menganggapnya sedang bercanda. What the fuck? Pria mana mungkin hamil. Setidaknya begitulah yang dipelajarinya sejak dulu.

"Aku hamil."

"..."

"Bam?"

"...kau sedang bercanda, kan?"

Benar dugaan Jungkook. Bahkan sahabatnya ini pun hanya menganggapnya sedang mengeluarkan sebuah lelucon. Bahkan ini tidak lucu untuk ukuran sebuah lelucon.

"Sudah kuduga kau tidak percaya padaku." Jungkook menghela nafas untuk kedua kalinya. Dirogohnya isi dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah foto dari dalam donpetnya. Foto hasil rontgen kandungannya. "Umurnya sudah tiga minggu." Ujarnya lagi.

Bambam menatap foto itu lekat-lekat. Hingga kemudian ia barulah menyadari bahwa sahabatnya itu tidak sedang bercanda.

"Jadi...kau serius...?"

Jungkook mengangguk.

"Bagaimana bisa?"

"Bisa. Dengan cara bercinta dengan Taetae hyung dan ia melepaskan spermanya di dalamku dan--"

"Woah, woah. Tunggu. Aku tidak bertanya detail kegiatan seks kalian, sialan. Yang aku tanyakan adalah bagaimana bisa kau hamil sementara kau laki-laki?" Bambam tak habis pikir dengan kepolosan sahabatnya ini. Ingin rasanya ia melemparkan tulang-tulang ayam ini pada sahabatnya itu.

"Jadi aku sebenarnya perempuan?"

"Tidak, sialan. Jeon Jungkook, demi Tuhan, aku serius!"

Melihat bagaimana wajah kesal sahabatnya, Jungkook tertawa cekikikan. "Santai, Bam. Aku sendiri tak mengerti. Dokter bilang aku spesial. Dan sudah banyak kasus seperti aku dan aku bukan satu-satunya."

"Lalu bagaimana tanggapan orang tuamu?"

"Mereka belum tahu. Sepulang kampus aku dan Taehyung akan ke rumahku. Kami sudah meminta orang tua kami berkumpul disana."

"Tapi kau masih kuliah? Dan kalian bahkan belum menikah!"

"Taehyung bilang ia akan menikahiku."

"Kau berkata seolah pernikahan adalah perkara mudah." Bambam mencibir sambil menyedot es tehnya. Terkadang ia iri pada Jeon Jungkook yang memiliki kekasih yang baik hati, dewasa, dan romantis. Terlebih lagi Taehyung sudah bekerja dan tentu saja hidup mereka pasti terjamin jika menikah.

"Bilang saja kau iri padaku yang akan segera menikah! Makanya, move on-lah dari si brengsek Jackson itu! Untuk apa terus memikirkan pria yang sudah memiliki kekasih baru?"

Bambam mendesah pasrah. "Tidak semudah itu, Kook."

Jungkook menepuk pelan pundak sahabatnya sambil tersenyum meyakinkan. "Lupakan pria bodoh itu. Ia pantas mendapatkan predikat laki-laki terbodoh sedunia karena sudah meninggalkan laki-laki baik sepertimu."

Bambam tersenyum mendengar perkataan sahabatnya itu. "Thanks, Kook. Mendengarmu memujiku sudah cukup membuatku senang."

"Yah! Kau berkata seolah aku tak pernah memujimu!"

"Kenyataannya memang begitu, Jeon Jungkook."

Laki-laki manis itu cemberut dan menatap tajam sahabatnya. Ia kemudian kembali sibuk dengan bubur ayamnya yang ia beli di kantin tadi.

"Aku baru sadar."

"Tentang apa?"

"Tentang alasan kenapa Appa dan Eommaku begitu protektif padaku. Pantas Appa selalu menginterogasi Taehyung hyung tentang apakah ia melakukan hal-hal aneh padaku."

"Maksudmu seks?"

"Bercinta, Bam. Seks tidak sama dengan bercinta."

"Terserah."

"Bambam, menurutmu anakku nanti akan seperti apa?"

"Seperti manusia?"

"Yah! Kau sialan!"

Dan Bambam hanya tertawa keras melihat wajah kesal sahabatnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Apa?!"

"Sstt! Jangan berisik, Park Jimin!"

Pria yang dipanggil Park Jimin itu menarik nafasnya dalam-dalam dan menghelanya berat. Barusan ia mendengarkan kabar yang entah bisa dikatakan baik atau buruk yang keluar dari mulut sahabat terbaiknya yang bernama Kim Taehyung. Beberapa menit yang lalu ia baru saja sampai di ruangan si CEO ini setelah mendapat telpon dari sang sahabat yang memintanya untuk segera datang menemuinya. Siapa yang sangka ternyata sang sahabat malah memberikan kabar berupa kehamilan kekasihnya yang kandungannya sudah berumur tiga minggu.

"Jungkook bisa hamil?" Jimin masih setengah percaya.

Anggukan Taehyung cukup memberikan jawaban dari pertanyaannya. "Aku sendiri awalnya tak yakin. Kukira Jungkook sedang mencoba menjebakku ke dalam suatu keisengannya. Tapi test pack dan hasil labor itu menguatkan segalanya. Bahkan aku punya foto rontgennya. Tunggu sebentar."

Taehyung buru-buru mengeluarkan foto rontgen itu dari dompetnya dan menyodorkannya pada Jimin. Mata Jimin membesar seolah tak percaya akan apa yang dilihatnya. Taehyung tak berbohong. Memang ada makhluk yang hidup di perut kekasih Taehyung itu.

"Jadi apa yang akan kau lakukan? Kau tahu Ayahnya sangat mengerikan. Kau bisa dibunuh jika ia tahu kau sudah menghamili anaknya." Jimin benar. Namjoon memang Ayah yang mengerikan. Mungkin itulah alasan kenapa Yoongi begitu mengerikan juga. Berbicara tentang Yoongi, dia adalah kakak tertua Jungkook yang ia pacari belum lama ini, setelah hampir setahun ia berusaha mati-matian menakhlukkan hati si pria manis bernama Jeon Yoongi.

"Sepulang Jungkook kuliah, kami akan bertemu dengan kedua orang tua kami di rumahnya. Aku akan mengatakan semuanya dan aku siap menghadapi segalanya, Chim."

"Kau akan menikahinya?"

"Tentu saja, bodoh. Aku memang sudah lama berencana melamarnya. Tapi ternyata hal ini datang lebih cepat dari perkiraanku."

"Salahmu sendiri kenapa tidak memakai pengaman."

Taehyung menghela nafas beratnya. Biasanya ia akan memakai pengaman. Tapi entah kenapa malam itu ia merasa tak membutuhkannya. Lagipula saat itu ia berpikir seorang laki-laki mana mungkin hamil. Jika dipikir-pikir mungkin inilah alasan kenapa Ayah Jungkook begitu protektif dan selalu mengancamnya agar berhati-hati dalam melakukan seks dengan anaknya. Ah, seandainya mereka mengatakan dengan jujur bahwa anak mereka adalah tipe yang spesial.

"Tapi kau yakin siap menikahinya? Menikah berbeda dengan pacaran. Apalagi dengan kondisi Jungkook yang sedang mengandung anakmu, artinya kau bertanggung jawab atas dua nyawa lainnya selain dirimu." Jimin berkata, mencoba mengingatkan sahabatnya itu. Bukan berarti Jimin berusaha memojokkan sahabatnya. Ia hanya tidak ingin Taehyung menikahi Jungkook atas dasar terpaksa. "Kau benar-benar mencintai Jungkook, 'kan?"

"Tentu saja, Chim! Jungkook adalah satu-satunya tujuan hidupku. Tak ada yang lebih berharga dibandingkan dirinya. Kau bahkan tak tahu bagaimana aku menangis bahagia ketika mendengarnya mengandung anakku, darah dagingku. Rasanya benar-benar seperti mimpi."

Jimin tersenyum mendengarnya. "Aku mengerti. Tapi bagaimana jika orang tuanya menolak?"

"Aku tak akan menyerah, Chim. Aku bersumpah akan selalu menjaga dua malaikatku. Akan kupastikan kami menikah."

"Lalu bagaimana jika Jungkook yang tidak mau?"

"Kau sialan!"

Jimin tertawa keras. Sejak bertemu Jungkook di SMA, Kim Taehyung yang playboy entah bagaimana berhenti bermain dengan gadis-gadis murahan di sekolah. Kim Taehyung yang suka bolos entah bagaimana menjadi Kim Taehyung yang rajin masuk kelas, meskipun hanya jika Jungkook berada di satu kelas yang sama dengannya. Sejak ia bertemu Jungkook, ia tak pernah lagi membicarakan gadis lain. Hanya Jungkook dan selalu tentang Jungkook.

"Chim, aku tak sabar lagi menunggu kehadiran malaikat kecilku." Bisik Taehyung, senyumnya mengembang sembari membayangkan sesosok anak manis dalam benaknya.

"Terlalu cepat, bodoh! Kau bahkan harus melewati pernikahan dulu!"

"Aku tahu, Chim. Aku tahu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sejak istirahat makan siang, Jungkook merasa kepalanya sedikit pusing. Mungkin ini efek karena ia mulai jarang makan. Entah kenapa setiap makanan yang masuk ke mulutnya terasa tidak seenak biasanya.

"Bam, menurutmu apa orang tua kami akan berkomentar baik tentang ini?"

Bambam yang setia menunggu Jungkook dijemput, yang berdiri di sebelahnya, menjawab santai. "Entahlah. Semoga saja ya. Taehyung hyung sudah bekerja dan punya kehidupan baik. Orang tuamu pasti setuju."

"Semoga saja..." Desis Jungkook pasrah. Yang membuatnya resah adalah bagaimana tanggapan Ayahnya yang protektif itu nanti dan bagaimana hebohnya Ibunya serta Ibu Taehyung nanti.

"Tuh, jemputanmu." Bambam menunjuk pada sebuah mobil lamborghini merah yang berhenti di depan gerbang mereka. Wajah Taehyung muncul dari balik kaca mobil, tersenyum dan melambai pada Jungkook.

"Butuh tumpangan, Bam? Aku bisa meminta Tae hyung mengantarmu dulu."

Bambam menggeleng. "Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Sudah sana pergilah. Semoga berhasil, Kook!"

Jungkook tersenyum dan mengangguk. Setelah melambaikan tangan pada sahabatnya itu, ia berlari kecil menuju mobil kekasihnya dan langsung menduduki bangku penumpang tepat disebelahnya. Seperti pasangan pada umumnya, ia menyempatkan memberi ciuman singkat pada bibir kekasihnya.

"Kau terlihat pucat, sayang. Kau sakit?" Taehyung tentu saja khawatir. Kesehatan Jungkook bahkan lebih penting daripada kesehatan dirinya.

Laki-laki manis itu mengangguk sambil tersenyum manis, berusaha meyakinkan kekasihnya yang terlalu sering khawatir berlebihan.

"Hyung, aku takut..." Ujar Jungkook ketika mereka sudah berada di jalan menuju rumah keluarga Jeon.

Mendengar itu, Taehyung melirik kekasihnya sebentar, menggenggam tangannya dengan lembut sembari berkata, "tak ada yang perlu kau takutkan, sayang. Aku bersamamu selalu."

"Bagaimana jika Appa dan Eomma menentang? Bagaimana jika mereka tidak merestui kita?" Si cantik itu menggigit bibir bawahnya, sesuatu yang selalu ia lakukan jika ia sedang memikirkan sesuatu secara berlebihan.

Taehyung menghentikan mobilnya. Ia meraih kedua sisi wajah Jungkook, menatap matanya dalam-dalam, senyumnya terlihat sangat menenangkan. Diciumnya dahi Jungkook, berusaha menenangkan kekasihnya itu.

"Kita pasti bisa melewati ini. Jangan takut, sayang. Percayalah. Oke?" Bisiknya, dahinya yang menempel di dahi Jungkook membuat desah nafas mereka beradu.

Jungkook perlahan mulai mencoba tersenyum. Ya. Tak ada yang perlu ia khawatirkan. Selama Taehyung masih berada di sisinya, mereka pasti bisa melewati segala macam ujian. Pasti akan selalu ada cara untuk menyelesaikan semuanya. Lagipula Jungkook tak boleh terlalu khawatir. Calon bayinya akan ikut bersedih di dalam sana. Ia adalah calon ibu, karena itu ia harus kuat.

"Maafkan aku, hyung.. Tak seharusnya aku meragukan semuanya.."

Taehyung tersenyum. Diacaknya pelan rambut hitam Jungkook. "Tak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Aku mengerti kekhawatiranmu. Sekarang jangan terlalu dipikirkan lagi, oke?"

Laki-laki manis itu mengangguk mantap.

Sekeras apapun kesulitan yang akan mereka hadapi, semuanya akan terlewati dengan mudah selama mereka selalu bersama.

***










Pak Namjoon kira-kira bakal berubah jadi kingkong ga ya saking ngamuknya?😂😂😂👌

OUR BABYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang