"BANGUN!" Suara bariton seorang laki-laki membuat mata Lara spontan terbuka.
Gadis itu memaksakan diri untuk bangun dari tidurnya dan duduk dengan kepala yang masih terasa berputar. Dia memegang kepalanya dan memfokuskan pandangannya untuk melihat orang tak dikenal yang menyuruhnya bangun dari mimpi.
Matanya membulat sempurna ketika pandangannya menangkap beberapa orang yang melihat ke arahnya. Empat orang laki-laki dan satu orang perempuan.
"Si-siapa kalian?"
Jantungnya berpacu cepat sambil dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan yang begitu asing di ingatannya.
Ruangan yang cukup besar dengan interior mewah, dinding menggunakan walpaper bermotif ungu dengan gambar bunga-bunga kecil, televisi 42 inci tepat di depan tempat tidur, dan ...
"Aaaaargh!"
Wanita berambut ombre itu menjatuhkan diri ketika ada sepasang tangan yang berusaha memeluknya. Dia segera menarik selimut saat menyadari kalau dirinya hanya menggunakan tanktop dan celana strit sepaha.
Pemilik tangan itu mengerang dan mengganti posisi tidurnya sambil bergumam, "Ma ... siapa, sih yang teriak-teriak?" Masih dengan mata terpejam.
Pria paruh baya yang menonton kejadian ini pun mendekati pria yang masih asyik di atas tempat tidur lalu menjewer telinganya dengan sekuat tenaga, membuat pria yang bertelanjang dada itu pun bangkit dari tidurnya.
"Akh, sakit!" pekiknya.
"Bangun! Jadi kerjaan kamu itu seperti ini? Clubing, mabuk, dan tidur sama perempuan yang belum sah di dalam hotel milik Papa?"
Pria itu membuka matanya lebar-lebar ketika Rendra--Papa dari pria itu--menuduhkan hal yang tidak diakui oleh si pria.
"Tidur sama wanita? Maksud Papa apa? Indra akui kalau Indra memang clubing dan sedikit meminum alkohol. Tapi tidak tidur dengan seorang wanita. Lagian Indra di sini sama anak-anak yang lain, kok. Romi, Ferdi, Nando juga ada," pria itu--Indra--membela diri.
Rendra melepaskan tangan dari telinga anaknya dan bertolak pinggang dengan murka. "Siapa wanita itu yang tidur bersama kamu di kamar ini? Tidak ada yang lain selain kamu dan wanita itu!" Suaranya begitu lantang sambil menunjuk Lara yang kini menangis.
Indra membulatkan mata. Ada yang salah di sini. Seharusnya tidak begini. Dia terkekeh dan menatap Rendra bergantian dengan Katya, mama Indra.
Dia sangat ingat sekali kejadian demi kejadian yang terjadi semalam. Walaupun dia mabuk, tapi tidak semabuk para sahabatnya.
"Papa sama Mama ngerjain Indra, kan? Indra ingat betul apa yang terjadi semalam. Indra datang ke sini karena Ferdi dan Nando sangat mabuk. Begitu juga dengan dua teman dia," Indra menunjuk Lara yang masih terisak. "Ini ga seperti apa yang kalian pikir," ucapnya dengan yakin.
Ada perasaan takut yang menghantui perasaan Indra. Tapi dia tahu, bahwa dirinya tidak melakukan apa-apa. Walaupun keadaanya sekarang hanya menyisakan celana boxer yang melekat di tubuhnya.
"Iya Om, Tan. Kita tidak berbuat sesuatu yang melanggar agama. Kita tidak berzina. Saya ingat persis karena semalam saya tidak dalam keadaan mabuk," tutur Lara di tengah isak tangisnya. "Saya harap, urusan ini tidak berlanjut. Maafkan saya yang telah tidur di sini ... eh ..." Lara menggelengkan kepalanya saat merasa kata-katanya kurang tepat.
"Maksud saya, sudah membuat keributan ... eh ... intinya saya minta maaf, dan saya mohon pamit."
Namun ketika Lara hendak bangkit, Katya mulai bersuara.
"Apa kamu mau keluar dengan keadaan seperti itu?" Suaranya begitu lembut.
Lara dapat menebak kalau wanita itu sangat baik dan lembut. Membuat Lara mengingat ibunya yang kini ada di kota lain, karena Lara di ibukota merantau seorang diri.
Wanita muda itu tak beranjak dari tempatnya. Ia mengedarkan pandangannya mencari pakaian yang semalam ia pakai. Namun sayangnya, pakaian yang ia cari tidak terlihat sejauh mata memandang.
Pandangannya terhenti kepada sepasang kaki dengan sandal khas wanita yang mendekat ke arahnya. Pemilik kaki itu mengulurkan tangannya untuk menyerahkan pakaian Lara sudah terlipat rapi di tangannya.
Lara mengangkat kepalanya untuk melihat wanita baik di hadapannya. Ia tersenyum kepada Lara sambil berkata, "Ambil lah."
Air mata Lara mengalir seketika. Ia merasa malu sekali. Walaupun ia tidak melakukan perbuatan yang senonoh, tapi digrebek di dalam kamar bersama lelaki lain dapat menimbulkam fitnah. Tentu saja. Apalagi pakaiannya yang begitu terbuka dapat mengundang banyak tanya.
"Papa mau kalian menikah sekarang juga!"
Jeder!
Pendengaran Lara dan Indra berasa disambar halilintar. Sepasang insan yang masih dalam keadaan berpakaian minim pun diam sejenak untuk mencerna apa yang baru saja Rendra ucapkan. Sampai akhirnya Indra tersadar dan menentang permintaan Rendra.
"Nggak! Ini salah paham. Ini tidak seperti yang Papa pikirkan. Indra nggak mau nikah sama dia."
"Saya juga ga mau. Saya dengan dia baru kenal semalam. Lagian kami tidak berzina," Lara ikut membuka suara.
"Lalu apa namanya berduaan dalam satu kamar hotel?!" bentak Rendra dengan suara tegasnya.
Wajahnya yang mulai menua, masih tampak segar walaupun kerutan di wajahnya terlihat. Rambutnya yang memutih tidak lantas menyurutkan kegagahannya.
"Tapi Indra dan dia tidak melakukan apa-apa, Pa." Suata Indra merendah. Berharap Rendra akan luluh pada suara putus asanya yang menentang ucapan pria yang selama ini mengurusnya.
Rendra tidak mau kalah. Dia pun teguh pada pendiriannya. Pada dasarnya, sifat kedua ayah dan anak itu sama-sama keras kepala. Namun tentu saja yang lebih tua yang berkuasa.
"Ada lebih dari empat saksi yang menyaksikan kejadian ini. Kalau hanya satu atau dua saksi, mungkin kamu bisa menyangkal. Tapi kamu sudah tidak bisa mengelak. Kamu tahu sendiri, dalam agama itu berpegangan saja sudah zina. Apalagi ini, Indra ... kamu setengah telanjang dalam satu ruangan dengan wanita yang tidak halal bagi kamu. Itu jelas namanya zina."
Ucapan Rendra yang penuh penekanan terdengar begitu menakutkan. Memang tidak terdengar bentakan dalam ucapannya. Namun bahasanya yang membawa agama itulah yang berhasil membuat hati Indra bergetar. Walaupun dalam hati terdalamnya dia tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Pokoknya, kalian berdua bersiap-siap. Kita akan menuju ke rumah orang tuamu," ucap Rendra kepada Lara yang memandangnya dengan tatapan nanar.
Rendra melihat jam tangannya sesaat dan kembali menatap kedua muda-mudi yang masih menatap Rendra dengan wajah frustasi. "Jangan lupa, shalat subuh dulu. Masih ada waktu untuk shalat."
Rendra pun melenggang pergi bersama istri dan ketiga anak buahnya, meninggalkan Lara dan Indra yang termenung mencerna semua yang terjadi. Berharap kalau ini masih di dunia mimpi.
~tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating After Marriage [END]
ChickLitSUDAH TERSEDIA DI BAKBUK.ID Highest rank #8 - 15 Maret 2018 Ini bukan harapannya. Bukan cita-citanya. Terpaksa menikah di usia muda dengan pria yang baru dikenal semalam. Menjadi istri seorang gamers, menghadapi masalah pekerjaannya, dan hidup ber...