Bab 4

27.5K 2.2K 15
                                    

Suasana di dalam mobil begitu sunyi senyap. Tidak ada suara sedikit pun dari  pasangan paruh baya yang berada di barisan paling depan dan pasangan yang sebentar lagi akan dinikahkan yang duduk di kursi belakang.

Mobil Toyota Altis hitam itu sedang melaju di jalan tol menuju Bandung dengan kecepatan di atas rata-rata. Berbalapan dengan mobil lainnya yang menikmati jalanan lengang tol Cipularang. Padahal biasanya jalanan ini dipenuhi kendaraan roda empat yang memaksa mereka untuk memperlambat laju kendaraannya. Namun kali ini sama sekali tidak ada titik kemacetan seakan jalanan merestui rencana pernikahan kedua muda-mudi yang sedang terkena sial.

Para penghuni kendaraan itu bermain dengan pikirannya masing-masing. Terutama Lara dan Indra.

Lara bingung bagaimana menjelaskan semua yang terjadi. Dia takut ibunya akan murka. Apalagi ayahnya yang notabene sangat temperamen. Mudah sekali tersulut emosi.

Sedangkan Indra, dia berpikir untuk menggagalkan semua rencana pernikahan ini. Menikah dengan wanita yang tidak dia kenal bukanlah cita-citanya. Sesekali pria yang memakai topi hitam itu melirik kepada gadis di sampingnya, lalu mendelikan matanya karena gadis itu sama sekali bukan tipenya.

Bagi Indra, gadis berambut ombre itu sama sekali bukan wanita ideal. Tubuh yang tidak terlalu tinggi. Rambut sebahu dicat ombre, dada yang tidak terlalu besar dan kulitnya yang tidak semulus artis korea, membuat hatinya ingin memberontak menolak rencana pernikahan ini.

"Pa, jangan gini, dong. Indra minta maaf kalau Indra salah. Tapi, please, jangan nikahin Indra sama cewek kampung ini," ucap Indra penuh harap.

Lara membelalakan matanya melihat ke arah Indra. Cewek kampung? Maksud lo apa? Gue emang dari kampung, tapi penampilan dan otak gue ga kampungan dan gue juga kerja di bank ternama!

Lara berteriak dalam hatinya. Masih menatap Indra dengan tajam, membuat Indra balik menatapnya tak kalah sengit. Mungkin jika hanya berdua, Lara akan mengutarakan isi hatinya. Dia diam karena menghormati orang yang ada di depannya.

"Apa lo? Mau protes?!" sungutnya.

"Hush! Apa pernah Papa ajarkan kamu berbicara seperti itu? Kasar! Papa sekolahin kamu tinggi-tinggi itu agar kamu tahu adab, sopan, santun, tata krama, dan ilmu-ilmu penunjang lainnya. Bukannya jadi kayak gini!"

Rendra mengusap wajahnya dengan kasar. Matanya masih fokus menatap jalanan kosong yang masih panjang menuju kampung halaman calon menantunya. Namun pikirannya tak sekosong jalanan.

Beberapa kali ia merutuki kesalahan dirinya dalam mendidik anak. Rendra menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu sibuk membangun bisnisnya sehingga tidak mengetahui kegiatan anaknya selama ini.

"Kamu sama sekali tidak salah, Nak. Papa lah yang salah. Jika anaknya melakukan salah, tentulah papa yang lebih disalahkan karena tidak berhasil mendidik anaknya. Maafkan papa, Nak. Ini keputusan mutlak. Papa harap, kamu mau mempertanggunjawabkan kelakuan kamu."

Tanpa sadar, air mata Rendra menetes. Pria paruh baya itu tahu, kalau anaknya memang tidak melakukan hal yang membuat masa depan gadis di sampingnya hancur. Namun, jika tidak tegas seperti ini, hal yang lebih buruk kemungkinan akan terjadi. Dan Rendra pikir, dengan cara menikahkan dua sejoli itu, akan mengubah sifat dan sikap anaknya menjadi lebih baik. Mencegah lebih baik daripada terjadi hal yang lebih buruk di masa depan.

Katya hanya bisa mengelus pundak suaminya. Dalam benaknya berkata bahwa yang salah tidak hanya suaminya. Tetapi salah dia juga sebagai ibu yang terlalu memanjakan anak bungsunya. Membiarkan anak lelakinya itu berbuat semaunya. Selalu membela ketika terjadi perdebatan dengan papanya hingga Indra tumbuh menjadi anak manja yang tidak peduli dengan lingkungan kecuali sahabat dan handphone. Bahkan interaksi dengan kedua orang tuanya terjadi hanya saat Indra melakukan kesalahan.

Dating After Marriage [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang