Alsa memarkirkan motornya di depan bagasi rumah, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya. Kebetulan juga Wildan sedang bersantai di ruang tamu.
"Alsa pulangnya hujan-hujan?" tanya Wildan.
"Enggak, tadi nunggu dulu di sekolah."
"Sini nak. Papa mau bicara." Wildan melipat buku yang tadi di bacanya lalu meletakkannya di meja. Tanpa banyak tanya Alsa langsung menghampiri Wildan.
"Gimana sekolah kamu yang sekarang?" tanya Wildan.
"Biasa aja Pa." jawab Alsa singkat. Wildan menghela nafasnya. Sifat Alsa yang semakin lama semakin dingin itu membuat Wildan selalu kepikiran semenjak kematian ibunya.
Sejak SMP kelas 8, Wildan pun mengirim Alsa bersekolah Jakarta, menitipkannya pada kakaknya yang bertempat tinggal disana. Itu dilakukannya karena menurut Wildan agar Alsa bisa kembali aktif dan ceria seperti dulu, juga bisa melupakan kejadian mengerikan itu. Tetapi hasilnya nihil, sama saja. Maka dari itu, Dinda meminta agar Alsa dibawa kembali saja ke Bandung sejak dia mulai masuk SMA.
"Oh iya, Pak Andre bilang kalau kamu pilih ekskul Osis sama basket?"
"Iya Pa." Alsa mengangguk singkat.
"Ya sudah, sekarang cepet ganti baju kamu. Biar gak masuk angin."
Alsa beranjak dari duduknya, menyampirkan tas di pundaknya lalu berjalan menuju kamarnya.
Wildan sedikit lega, meminta agar Alsa mengikuti kegiatan Osis tak lain agar Alsa mungkin bisa saja berubah seperti dulu. Karena kegiatan Osis itu mengharuskan seseorang untuk aktif, Wildan percaya jika nantinya sifat asli Alsa akan kembali. Wildan tak pernah meragukan kemampuan Alsa, anaknya itu orang yang pintar. Bahkan dulu saat SMP Alsa sering mengikuti kejuaraan olimpiade matematika.
"Papa, telponnya dari tadi bunyi." ujar Dinda membuyarkan lamunan Wildan.
"Oh, iya iya." ucap Wildan sambil mengambil HP nya yang berada diatas meja. Lalu mengangkat telponnya menuju kantor kerjanya.
"Papa tadi ngelamunin apa sih?" gumam Dinda.
——••——
Alsa merebahkan badannya ke tempat tidur setelah baru saja membersihkan diri dan mandi. Matanya menjelajah langit-langit kamarnya. Tiba-tiba dia teringat pada Alena.
Dirinya sendiri bingung, entah kenapa setiap dirinya melihat Alena itu mengingatkannya pada Mamanya. Maka dari itu dirinya sering melihat Alena berlama-lama. Alsa pun lalu memejamkan matanya.
Kejadian di masa lalu itu terulang lagi di kepalanya. Disaat dirinya sedang bermain basket di lapangan yang jaraknya agak jauh rumahnya.
"Alsa, ayo pulang. Udah sore, dari tadi pas hujan kemana? Katanya main basket, trus mau hujan kok gak pulang?"
"Alsa tadi neduh di rumah pohon kok Mah, bareng temen-temen."
"Ayo Alsa, di rumah udah ditungguin Papa sama Kak Dinda tuh."
"Lima menit lagi dong Ma. Emang kita mau kemana sih?" tanya Alsa sambil terus mencoba memasukkan bola ke ring. Area lapangan basket yang basah menimbulkan percikan air ketika bola itu memantul di tanah. Ditambah lagi rintik-rintik hujan mulai turun lagi.
"Ayo dong Alsa, kamu itu ya udah masuk SMP tapi kelakuan kamu itu kayak anak SD yang gak tau waktu, main terus. Nanti uang jajannya Mama kurangin nih ya. Terus HP sama bola basket kamu Mama sita." ujar Dini setelah waktu lima menit yang dia berikan telah habis tetapi Alsa masih saja terus bermain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him?
Fiksi RemajaBerawal dari pertemuan singkat antara Alena si gadis ceroboh dengan Alsa si murid baru, di depan gerbang sekolah. Alena lama kelamaan terbuai oleh perasaannya sendiri ketika Alsa kadang kala berbuat baik terhadapnya. Tetapi tak jarang juga sifat Als...