fear of losing you

752 126 7
                                    

"Aku pulang—"

Nafas Jongin tercekat. Namun ia melepaskannya ketika ia menyadari apa yang dilihatnya. Ia sudah biasa melihat ibunya seperti ini.

Ibunya yang tergeletak di lantai yang dingin.

Bukan hal yang mengejutkan baginya.

Dalam hati, ia mengutuk si brengsek itu.

Jongin melepas sepatunya dan menaruh tasnya asal, ia tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang adalah mengangkat ibunya ke kamarnya dan mengobati bagian tubuh ibunya yang terluka.

Jongin sedikit lega karena luka ibunya tidak cukup banyak—bedebah itu jarang pulang ke rumahnya—. Hanya terdapat beberapa lebam di bagian wajahnya, yang awalnya sangat cantik dan mulus.

Tanpa adanya goresan jelek yang diperbuat ayahnya. Ya, si brengsek itu ayahnya. Jongin sudah cukup sabar dengan semua ini. Ayahnya tidak mencintai ibunya lagi. Sama sekali tidak.

Yang ia lakukan hanya pergi entah kemana. Dan terkadang, membawa beberapa wanita yang Jongin tak tahu siapa ke rumah, membiarkan ibunya menangis begitu saja.

Bahkan diperlakukan sebagai pembantu.

Jongin kesal sekali mendengarnya.

Sebagai siswa yang duduk di kelas akhir sekolah menengah pertama, Jongin tahu apa yang seharusnya ia lakukan.

Namun nihil.

Ia tak akan pernah memberitahunya pada siapa-siapa. Ia tak akan melaporkan ayahnya pada polisi.

Bodoh.

Nama itu sangat pantas dimiliki oleh Kim Jongin. Ia mengasihani orang yang telah menyakiti ibunya. Dan juga hatinya.

Ironis sekali.

Tengah mengobati lukanya, Jongin mendengar pintu kamar itu dibuka paksa, suara pintu terbanting mengisi ruangan yang awalnya sunyi itu.

Ayahnya.

"Oh, kau ingin menyelamatkan wanita malang itu? Sayang sekali, anak muda. Aku sudah muak dengan semua ini!"

Jongin tidak tahu seberapa cepatnya itu terjadi. Yang pasti, ia menyaksikan semuanya.

Menyaksikan kematian ibunya.

Pisau dapur yang digenggam oleh bedebah itu dihunushnya ke tubuh ibunya yang tak sadarkan diri itu.

Ia melihatnya. Walau pun itu terjadi sebentar, rasanya ia melihat pisau itu dengan gerakan lambat seperti yang ada di drama.

Kim Jongin membeku.

Setelah selesai dan merasa agak...lega, —mungkin?— ayah Jongin keluar, meninggalkannya berdua dengannya. Pisau dapur yang digunakannya tadi dihempaskannya ke lantai. Mencipratkan darah yang berlumuran di pisau itu. Cipratan darah itu mengenai kaki Jongin.

Ia menyaksikan nyawa ibunya melayang, sementara ibunya itu tak sadarkan diri. Dan dia? Hanya diam dan menontonnya. Anak macam apa dia ini?

Dengan ragu, Jongin melihat pisau dapur yang berada tak jauh dari kakinya itu —ia benar-benar berusaha untuk tidak melihat ibunya—,  diambilnya dan disaat itu, titik kesabaran Jongin sudah tercapai.

Ia berlari secepat mungkin, menuruni tangga, mengejar ayahnya itu.

Jika ayahnya bisa membunuh ibunya tepat di depan matanya, lalu kenapa ia tidak bisa membunuh ayahnya tepat di depan matanya juga?

Jongin menangis malam itu.

Ia benar-benar melakukannya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana.

Ia benar-benar telah membunuh ayahnya.

Lengan bajunya yang diwarnai dengan darah ayahnya membuatnya tak bisa sama sekali untuk melupakannya.

"Ibu, anak macam apa aku ini?"

Kim Jongin yang berumur empat belas tahun pada saat itu, telah menyaksikan kepergian kedua orang tuanya dengan tragis pada hari yang sama.

Dalam tangisnya, Jongin menjadi teringat seseorang. Ia bukan orang yang cengeng sepertinya. Jongin harus selalu terlihat keren dan kuat di depannya.

"Oh Sehun..."





"—in! Jongin!"

Jongin terbangun dari tidur lelapnya. Tunggu sebentar, ini bukan langit-langit kamarnya. Lagipula, tidak ada orang selain dirinya dirumahnya, lalu suara siapa yang tadi itu?

Jongin memiringkan kepalanya. Oh. Ia ingat.

"K-kau baik-baik saja Jongin? Tadi saat aku kembali, kau bernafas dengan cepat, kau juga berkeringat dingin! Apa kau mimpi sesuatu?"

Kenapa.

Kenapa dunia ini tidak adil. Begitu pikir Jongin.

Apa yang aku lakukan untuk mendapat orang yang baik seperti Sehun?

Aku sama sekali tidak berhak.

Jongin tak menggubris pertanyaan pemuda berparas manis didepannya ini. Ia malah menangis, memeluk tubuh mungil pemuda yang menanyainya tadi.

Pada akhirnya, aku sama brengseknya seperti ayah.

"Sehun, maafkan aku... Maafkan aku..."

Apa? Jika kau ditolak oleh wanita lagi kau pasti akan memukulku lagi.

Sehun tidak mengutarakan pikirannya itu, malah ia membalas pelukan Jongin walau ia membencinya.

"Kau tahu 'kan kalau aku selalu memaafkanmu..."

Bullshit.

Sehun dengan setengah hati mengucapkannya. Ia benar-benar tidak bisa memaafkan orang yang berada di pelukannya ini.

Sekali pun dia orang yang rapuh.

Sehun tidak bisa membuka hatinya pada Jongin lagi.

"Baby i'm— i'm so sorry i didn't mean to hurt—"

"Ssh, its just your anger issues coming out of no where to you. Its okay."

Kenapa.

Kenapa dunia ini tidak adil. Begitu pikir Sehun.

"Aku tidak ingin kehilangan dirimu... Aku takut..."

Sehun terdiam seribu bahasa. Apa Jongin benar-benar rapuh, yang jika sedikit saja disakiti akan hancur berkeping-keping?

Di lain sisi, Park Chanyeol sangat khawatir karena pesannya tak kunjung dibalas.

stranger → pcy + osh [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang