12. Enggak Peka

13.5K 1.2K 53
                                    

****

"Kamu ... mau enggak jadi ... pacarku?" tanya Dava dengan hati-hati, menunggu reaksi Tasya yang kini hanya diam mematung.

Keadaan hening sejenak. Mereka sama-sama diam. Tasya dengan pikirannya yang tiba-tiba kosong, dan Dava dengan perasaan cemasnya menunggu jawaban Tasya.

Tiba-tiba Tasya tertawa terbahak-bahak sampai dia memegangi perutnya. Air mata tampak keluar dari sudut matanya yang langsung dia usap. Dia menepuk pundak Dava sedikit kasar.

"Sumpah! Lucu deh Dav!" ujar Tasya di sela-sela tawanya.

Dava meringis antara menahan sakit di bahunya dan menahan sakit di hatinya. Lucu? Apakah wajah Dava terlihat sedang bercanda sekarang? Bahkan Dava sudah keringat dingin, tetapi reaksi Tasya? Dava mengelus dadanya pelan.

Sabar, Dav! Orang sabar pantatnya lebar! ujarnya dalam hati.

"Sya...."

"Bentar-bentar, Dav."

Tasya menarik napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Hak itu dia lakukan berulang kali sampai tawanya mulai terkontrol. Tasya lalu menatap Dava. Ada senyum geli yang masih tersisa di bibir Tasya.

"Sya, aku serius!" kata Dava dengan raut wajah seriusnya.

"Hah? Serius apa? Aku juga serius, kamu lucu banget, Dav!" timpal Tasya.

Dava menghela napas. Dia mengacak rambutnya seolah frustrasi. "Bisa serius sedikit enggak sih, Sya?" tanyanya dengan nada memelas.

Tasya berdeham pelan. "Tadi ... beneran serius?"

"Enggak! ... Ya iyalah!"

Dava yang terlanjur kesal pun memalingkan wajahnya. Dia menatap lurus ke depan tanpa menoleh lagi ke arah Tasya.

Dasar enggak peka! gerutu Dava dalam hati.

Hening cukup lama, sebelum akhirnya Tasya berdeham pelan untuk menarik perhatian Dava.

"Bukannya apa-apa, Dav. Kita baru aja kenal. Belum tahu sifat masing-masing. Aku rasa cintamu hanya sesaat. Mungkin sebatas tertarik? Wajar sih buat remaja," ujar Tasya memulai percakapan.

Beberapa bulan kenal dengan Dava belum bisa membuat Tasya mengenal laki-laki itu dengan baik. Karena dari awal pun Tasya tidak ada niatan untuk ke arah situ. Dan seiring waktu berjalan, dia sudah tidak canggung lagi jika berbicara dengan Dava. Tidak seperti dulu yang terkesan kaku. Sekarang sudah bebas, layaknya remaja normal lainnya. Ceplas-ceplos saling ejek bukan hal baru lagi.

Tasya beralih menatap Dava. Dia memberikan senyum terbaiknya sebelum berkata, "Maaf."

Dava memejamkan matanya. Rasa sesak terasa jelas di ulu hatinya. Bertahun-tahun dia memendam rasa pada Tasya dan saat dia menyampaikan apa yang dirasakannya, dia justru mendapat penolakan. Baru kenal? Alasan apa itu? Bahkan Dava sudah menahan diri untuk tidak mendekati Tasya beberapa tahun terakhir ini. Dasarnya saja Dava yang pengecut. Tidak berani berdekatan langsung dengan Tasya.

Maka dari itu saat Bu Ana menyuruhnya menjadi tutor Tasya, dia gugup setengah mati! Tidak ada yang tahu bahwa saat itu Dava menahan napas saat melihat Tasya duduk di sampingnya. Sampai saat ini pun Dava masih sering gugup jika berhadapan dengan Tasya. Namun dia bisa menutupinya dengan rapi sampai Tasya pun tidak sadar akan hal itu. Dava yakin ini cinta. Cinta yang tulus untuk Tasya.

Dava menghela napas lalu dia menatap Tasya lembut. "Enggak papa. Aku nyatain perasaanku biar aku lega. Soal kamu mau terima atau enggak ... itu hak kamu."

"Emh ... pulang yuk? Udah mulai sore." Dava berkata dengan riangnya. Seolah tidak ada hal yang terjadi antara mereka berdua.

Tasya masih termenung di tempatnya saat Dava sudah mulai melangkah untuk pulang. Gadis itu melihat dengan jelas guratan kecewa dalam bola mata Dava. Tetapi Dava memilih diam dan tersenyum.

LUKA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang