Tasya terbangun saat adzan Subuh berkumandang. Dia menatap langit yang masih gelap.
"Ya ampun, udah pagi aja," gumamnya sambik menguap.
Hari ini hari Sabtu, dan Tasya libur sekolah karena sekolahnya sudah menerapkan sistem full day school. Jadi dia dengan santainya melenggak-lenggok di dalam kamar tanpa perlu cepat bersiap-siap takut telat ke sekolah.
Tasya segera salat Subuh lalu kembali duduk di sofa balkon. Entah mengapa dia mulai suka memperhatikan langit, padahal tidak ada apa-apa di sana.
"Hari ini mau ngapain ya?" gumamnya sambil bertopang dagu.
Tasya masih memakai pakaian tidurnya tanpa jilbab. Dia hanya memakai jilbab jika keluar rumah atau menemui seseorang saja, jika di dalam kamar, Tasya selalu berpakaian santai. Toh tidak ada yang masuk sembaranganke kamarnya selama ini. Bunda saja selalu mengetuk pintu dahulu jika ingin masuk.
Gadis itu mulai membuat planing acara yang akan dilakukannya nanti saat matahari benar-benar sudah menampakkan wujudnya.
"Mandi, makan ..., terus? Tidur!" ucapnya sambil menggerakkan jari-jari tangan seolah menghitung.
"Ah, bosan!" pekiknya kesal.
Tasya memikirkan sesuatu yang baru.
"Gimana kalau ... jenguk Dava?" cetusnya sambil tersenyum. "Eh tapi 'kan kemarin aja kayak kosong gitu rumahnya. Nanti kalau kosong lagi gimana? Sia-sia doang aku ke sananya!" gerutu Tasya kemudian.
"Eh iya, tumben loh bunda kemarin nggak nanyain Dava. Ini rekor loh! Biasanya udah ngomel sana-sini suruh telepon Dava-lah, SMS-lah, datengin rumahnyalah! Berasa aku anak tiri!" gerutu Tasya.
"Tapi dari kemarin lusa bunda udah biasa aja sih. Biasanya 'kan cemberut mulu semenjak Dava nggak ke sini lagi. Ini kenapa kemarin semringah amat kemarin? Alah, positif thinking aja deh! Mungkin bun—"
"Sya?"
Baru saja Tasya ingin bicara tidak jelas, suara bunda serta ketukan pintu kamarnya membuat dia bangun dan beranjak ke pintu kamar.
"Iya, Bun?"
"Udah salat belum?"
Tasya membuka pintu dan muncullah bunda dengan pakaian yang sudah rapi. Pasti bundanya sudah mandi.
Tasya mengangguk sebagai jawaban. Dia keluar kamar dan mengikuti bunda yang mulai turun ke lantai bawah. Tasya tahu untuk apa bunda memanggilnya. Sudah kebiasaan. Pasti bunda ingin menyuruhnya salat, lalu membantu dia memasuk untuk sarapan. Katanya, suapaya Tasya menjadi ibu rumah tangga yang baik nantinya.
"Mau masak apa, Bun?" tanyanya sambil membuka kulkas dan mengeluarkan sayur dari sana.
"Sayur asem aja. Bunda lagi pengin nih," jawab Bunda sambil nyengir.
Tasya memutar bola matanya malas.
Pengin kok tiap hari! bantinnya.
Iya, setiap hari. Sudah seminggu ini bunda makan sayur asam terus, dan Tasya mulai bosan dengan menu itu.
Tiba-tiba Tasya menyipitkan matanya. "Jangan bilang Bunda lagi ...," ujarnya sengaja dijeda.
Bunda memiringkan kepalanya. "Lagi apa?"
"Lagi ... hamil?"
Pletak!
"Aw! Sakit Bunda!" pekik Tasya saat bundanya menghadiahi dia jitakan atas ucapannya tadi.
"Sembarangan kalau ngomong! Mana mungkin Bunda hamil! Hamil sama siapa coba, Ayah kamu aja udah tenang di sana!" pekik Bunda sambil berkacak pinggang. Napasnya sampai tidak teratur saking kencangnya dia berteriak.
"Ya maaf, Bun," ucap Tasya sambil memelas. "Kan aku cuma nanya," lanjutnya dengan lirih.
"Udahlah, lanjutin itu masaknya, Bunda mau pergi ke apotek sebentar!" kata Bunda sambil mengibaskan tangannya.
Wajah Tasya berubah menjadi masam. "Tuh 'kan sampai ke apotek segala. Pasti mau ini nih, itu yang buat tes-tes itu apalah namanya," gumama Tasya yang sudah membalikkan badan.
"Tasya! Bunda denger!" teriak Bunda.
"Eh, iya, Bun!" balasnya sambil meringis. "Bercanda, Bun!"
Setelah bunda benar-benar pergi, Tasya mulai memotong-motong sayur yang akan dipakai untuk membuat sayur asam. Bundanya benar-benar tega! Sudah tahu Tasya tidak bisa memasak, malah ditinggal sendirian! Hanya cita-cita yang suka digembar-gemborkannya untuk menjadi seorang chef, nyatanya, Tasya nol besar dalam hal memasak!
Padahal dia selalu membantu bunda memasak setiap paginya. Tetapi dasar Tasya yang kurang paham, dia selalu saja salah jika harus memasak sendiri tanpa bantuan. Pernah dia mencoba membuat mie instan, hal yang paling mudah bagi seorang yang buta memasak. Hasilnya? Jangan ditanya! Asin! Seperti minum air laut segelas!
Lebih baik kalian angkat tangan jika sudah dihadapkan masakan Tasya. Bunda saja sampai menutup mulut setiap Tasya menyuruhnya untuk mencoba masakan barunya yang dipadu oleh internet.
Rasanya hambar.
Tidak enak.
Tidak layak konsumsi.
Memiriskan!
"Ini dipotong gimana lagi, astaga! Ini namanya sayur apa coba! Masa bolong-bolong gini sih?" gerutu Tasya saat mengamati sayur yang daunnya sudah dimakan ulat.
"Bunda lama banget lagi! Aku sudah lapar!" serunya.
Jam menunjukkan pukul enam. Tetapi jika cacing perut sudah berdemo, Tasya bisa apa? Akhirnya dia mengambil selembar roti tawar lalu mengoleskan selai kacang di atasnya. Dia makan dengan tenang tanpa menyadari bundanya sudah kembali dari apotek dan ternganga menatap dapurnya yang masih utuh, hanya ada beberapa potongan sayur yang sudah ditaruh dalam sebuah wadah.
"Astaga, Tasya! Kamu ngapain aja sih? Kok dapurnya masih kinclong gini?!" seru Bunda. Tangan bunda yang tadinya memegang kantung plastik, kini berubah menyentil kening Tasya cukup keras.
"Ih, 'kan Tasya laper, Bun. Ya Tasya makanlah!" protes Tasya. Wajahnya sudah cemberut mendapati bundanya yang geleng-geleng kepala.
"Kan kamu sendiri yang bilang kalau udah tiap hari makan sayur asem. Itu artinya udah tiap hari juga kamu masak sayur asem bareng Bunda. Kamu masih nggak hafal juga resepnya?!" kata Bunda tidak percaya. Dia sengaja memasak menu yang sama seminggu ini. Tujuannya agar Tasya bisa memasak sesuatu, walaupun itu cuma sayur asam. Tapi hasilnya, nol!
"Ih, Bunda kok gitu sih?! 'Kan Tasya emang nggak bisa!" pekik Tasya kesal.
"Ya udah, ya udah. Mending kamu mandi aja, masaknya biar Bunda yang terusin. Sana!" usir Bunda. Dia keceplosan bicara seperti itu. Pasti Tasya sekarang sedang sendih karena ucapannya. "Ah, biarkan saja. Biar anak itu bisa termotivasi untuk belajar memasak dan menghafalkan resepnya!"
****
TBC.Double up! 😍
Jangan lupa vote di bab sebelumnya yaa. 😎Sampai jumpa di bab selanjutnya.... 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
LUKA (COMPLETE)
Teen FictionLuka "Rela, demi dapetin hati kamu!" A story by Kusni Esti. Kata orang, saat kita jatuh cinta, kita akan merasakan dua hal; bahagia dan sakit hati. Artinya, di samping bahagia, kita harus siap untuk jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan Dava Abiyoga mengamini...