17. Mulai Berubah

11.9K 1K 71
                                    

Aneh. Ada yang aneh dengan perasaan Dava. Dia merasa ada yang kosong beberapa hari ini. Tepatnya setelah ada anak baru itu, Bian.

Hampir dua minggu Tasya tidak belajar lagi dengannya. Dia selalu berangkat sekolah dan pulang dengan Bian. Dava sempat mendengar dari gosip teman-teman perempuannya di kelas kalau Bian memang setiap hari menjemput Tasya, dan pulangnya selalu jalan-jalan terlebih dahulu. Dava melirik saat ada yang menunjukkan foto kebersamaan mereka di suatu pusat pembelanjaan. Seketika Dava merasa tidak bisa bergerak sama sekali. Ada beberapa foto mesra Tasya dan Bian yang diambil secara diam-diam. Tasya yang tertawa bersama Bian, Tasya yang diam saja saat Bian menggenggam tangannya, Tasya yang tidak pernah cemberut saat bersama Bian. Semua itu membuat Dava semakin merasa jauh dengan Tasya.

Dalam kamar yang terlihat remang-remang, Dava menatap ponselnya dengan pandangan penuh harap. Baru saja dia mengirim pesan kepada Tasya untuk mengajaknya belajar lagi besok siang sepulang sekolah. Dan Dava semakin cemas saat pesannya hanya dibaca sejak sepuluh menit yang lalu.

Dava berpikir mungkin Tasya tidak mau belajar lagi dengannya. Dia sudah putus asa. Dava membangting ponselnya ke kasur dan beranjak ke kamar mandi. Sudah pukul delapan malam, tetapi dia belum mandi sama sekali.

Dava memilih mandi dengan air dingin agar pikirannya juga ikut dingin. Dia menyempatkan untuk berendam sebentar, baru setelahnya keliar dari kamar mandi dan memakai pakaian tidurnya. Dava baru saja merebahkan tubuhnya di atas kasur saat tak sengaja melihat ponselnya menyala. Dia langsung terduduk,  menyambar ponselnya dan membuka pesan dari Tasya.

Tasya Cantik 🌸
Sorry, Dav. Aku nggak bisa. 

Dua kalimat itu. Dava menghela napas panjang. Meskipun dia sudah tahu kalimat itu yang akan diterimanya, tetapi tetap saja, rasanya lebih sakit daripada saat membayangkannya. Apalagi saat melihat pesan itu masuk pukul sembilan kurang sepuluh menit, satu jam lebih sejak pesan Dava dibaca. Harus selama inikah hanya untuk membalas pesan? Apalagi pesan yang berisi penolakan secara terang-terangan?

Tanpa memedulikan pesan Tasya, Dava segera beranjak tidur untuk melupakan sejenak masalah Tasya.

*** 

Lagi-lagi, Dava harus menghela napas panjang. Masih pagi dan dia melihat pemandangan yang mengusik pagi cerahnya. Di parkiran, terlihat Tasya yang baru saja turun dari boncengan motor Bian. Berjalan berdua menuju koridor; tempat di mana Dava masih berdiri tegak menatap nanar ke arah mereka berdua.

Dava segera pergi sebelum mereka menyadari kehadirannya. Berjalan cepat ke arah kelas.

Dava baru saja duduk saat Rico menepuk pundaknya. Dia bertanya, "Kok baru berangkat, Dav?"

Dava hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Dia mulai membaca buku literasi yang tadi sempat diambilnya dari kaca etalase.

"Kenapa sih, Dav? Kusut gitu mukanya. Yang ceria dong! Masa pagi-pagi udah cemberut. Kata Emakku, cemberut pagi-pagi tuh ngurangin rezeki. Kamu mau rezekimu dikasih ke aku?!" cerocos Rico, yang dianggap Dava hanya angin lalu. Tatapannya tetap fokus pada buku di hadapannya, walaupun pikirannya melayang entah ke mana.

Dava baru tersadar saat Rico kembali menepuk pundaknya—kali ini agak keras. Dia mengerjap pelan sebelum oandangannya mengarah pada guru Fisika yang sudah ada di depan kelas. Cepat-cepat Dava menyelesaikan ringkasan literasi lalu mengumpulkannya pada guru Fisika untuk ditandatangani.

"Kamu kenapa sih, Dav? Lagi ada masalah apa?" bisik Rico saat Dava sudah duduk kembali di bangkunya.

Dava hanya menghela napas lelah lalu menatap Rico datar, namun penuh peringatan, seolah dari tatapannya dia mengatakan untuk tidak mengganggunya. Rico pun terdiam dan fokus ke depan.

Dava melakukan hal yang sama. Dia mencoba fokus dengan materi yang dijelaskan guru, mencoba mengalihkan sebentar masalahnya. Dava tidak ingin mencampuradukkan antara masalah pribadi dengan sekolah. Menurutnya, sebesar apa pun masalahnya, jangan sampai sekolahnya sia-sia, jangan sampai orang tuanya sia-sia menyekolahkan dia karena dia tidak serius mengikuti pelajaran.

Tiga jam pelajaran berlalu. Dava masih mencatat materi yang tertera di papan tulis saat beli tanda istirahat berbunyi. Suasana menjadi sedikit ricuh dan membuyarkan konsentrasi Dava. Dengan cepat dia menyelesaikan catatannya lalu memasukkan buku ke dalam tas.

"Dava, mana Dava?"

Panggilan dari guru Fisika membuat Dava menghentikan langkahnya yang akan keluar kelas.

"Ya, Pak? Ada apa ya, Pak?" tanya Dava sambil menghampiri guru Fisikanya.

Pak Toni—guru Fisika—berdeham sebelum berkata pada Dava. "Kamu disuruh Bu Ana ke ruang BK nanti istirahat kedua."

Dava mengernyit. Untuk apa lagi Bu Ana memanggilnya ke ruang BK? 

"Baik, Pak. Terima kasih Bapak sudah memberitahu saya," ujar Dava sambil tersenyum tipis.

"Ya sudah, kamu istirahat sana. Bapak mau ke kantor dulu."

"Baik, Pak."
  
  
  

***

   
 
Setelah bel istirahat kedua berbunyi, Dava langsung melesat ke ruang BK seperti yang diperintahkan oleh Pak Beni. Seperti biasa, dia mengetuk pintu dulu sebelum masuk.

Aroma khas ruang BK yang dulu sering Dava hirup, kini terasa lagi. Dava merindukan saat-saat dirinya masuk ruang BK dua tahun belakangan ini untuk mendengarkan pengarahan lomba atau pun olimpiade yang diikutinya. Kini sudah satu semester berlalu. Terakhir Dava masuk BK saat Bu Ana menyuruhnya untuk menjadi tutor Tasya, awal semester ini.

Dava segera duduk saat melihat Bu Ana yang tersenyum lembut, seperti biasanya. Senyum yang menular pada Dava.

"Tadi pagi Pak Toni bilang saya disuruh ke sini. Ada apa ya, Bu?" tanya Dava saat dirinya sudah duduk di depan Bu Ana.

"Sebentar lagi 'kan ujian. Ibu minta kamu sama Tasya lebih seriua belajarnya. Jangan main-main terus. Ibu takut Tasya kurang paham nanti saat dia mengerjakan ujian," ungkap Bu Ana. Dava hanya mampu mengangguk mengiakan tanpa bisa bersuara.

"Kalian masih belajar sampai sekarang 'kan?" tanya Bu Ana memastikan. Dava mengangguk kaku sambil tersenyum kikuk.

Dia terpaksa berbohong agar Tasya tidak dimarahi oleh Bu Ana. Dia tidak ingin melihat wajah sedih Tasya.

"Ya sudah, hanya itu yang mau Ibu sampaikan. Jangan lupa belajar ya, Nak Dav!" kata Bu Ana sambil tersenyum.

Dava mengangguk, lalu keluar dari ruang BK saat sudah berpamitan. Dia bergegas menuju kantin, menyusul Rico yang sudah ke sana sejak tadi.

Di tikungan menuju ke kantin, Dava melihat Tasya dan Bian yanh sedang berjalan berlawanan arah dengannya. Semakin lama, semakin dekat. Dava meluhat Tasya yang sedang tersenyum lebar menatap Bian. Sampai mereka ada di depan Dava, mereka tetap tidak sadar kehadiran Dava.

Tasya berlalu begitu saja tanpa menyapa. Jangankan menyapa, melirik saja tidak. Mereka bagaikan dua orang yang tidak sling mengenal.

Kamu berubah, Sya. 

****
TBC.

Hai...
Gimana pendapat kalian sama bab ini?

Btw, aku nulisnya di bis loh. Perjalanan pulang menuju Jogja sehabis study tour ke Bali. Hehe....

Jangan lupa vomment yak. 😘

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

LUKA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang