29. Jual Mahal 2

9.4K 848 53
                                    

Hujan benar-benar turun saat Dava baru saja akan beranjak dari rumah Rico. Segera dia mengambil jas hujan dan memakainya. Dava melajukan motornya dengan sedikit cepat namun tetap berhati-hati.

"Kok hujan beneran sih? Nanti aja dong kalau aku udah sampai rumah!" decak Dava dalam hati.

Matanya yang agak sipit itu menatap tajam jalanan di depannya; memastikan tidak ada gangguan agar dia cepat sampai di tempat tujuan.

"Sebentar lagi, ayo!" ujar Dava kepada dirinya sendiri.

Dava memperlambat laju motornya saat tempat tujuannya sudah semakin dekat.

"Akhirnya sampai!"

Dava memasukkan motornya ke dalam garasi dan masuk ke rumah melalui pintu samping.
   
    
     
     
***

 
"Yah hujan," ratap Tasya.

Gadia itu sedang duduk manis di bangku lobby sekolah sambil menatap keluar pintu lobby yang terbuat dari kaca. Hujan mengguyur dan dia masih setia duduk di sana sejak tiga puluh menit yang lalu, dan entah sampai kapan.

Saat Tasya ingin pulang tadi, tiba-tiba Bian bilang bahwa dia ada acara dan tidak bisa mengantarkannya. Tasya hanya bisa mengangguk saja. Tasya melakukan itu karena toh dia bisa menghubungi Bundanya atau menumpang salah satu temannya yang rumahnya searah dengannya.

Namun, itu hanya bayangan Tasya. Nyatanya dia langsung dipanggil Bu Ana ke ruang BK dan ditahan lima belas menit di sana. Bu Ana menanyakan perihal acara belajar bersamanya dengan Dava yang sudah berhenti. Yah, Tasya mengutarakan dengan jujur perihal itu sejak awal, dan Bu Ana terus mendesak Tasya agar mau lagi belajar bersama Dava, karena nilainya yang semakin turun. Tasya hanya mengangguk tanpa mau repot-repot mengiakan. Karena dia tahu, belajar bersama Dava hanya akan membuat hatinya sakit.

Saat Tasya keluar dari ruang BK, keadaan koridor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa siswi yang Tasya tahu sedang mengikuti ekstra tari.

Satu peluangnya untuk pulang, hilang.

Baru Tasya ingin mencoba menghubungi Bundanya, tiba-tiba ponselnya mati kehabisan baterai. Dan di sinilah dia, duduk manis menunggu keajaiban.

"Siapa tahu ada pahlawan kesiangan kayak yang ada di novel-novel yang sering aku baca itu. Yang ganteng, yang berwibawa, terus nganterin aku pulang," angan Tasya. Dia sampai tersenyum-senyum sendiri. Untung saja keadaan sedang sepi. "Ugh! Ngayal aja yang tinggi, Sya!" decaknya kemudian.

Lama dia menunggu hujan reda, tiba-tiba kursi di sebelahnya berderit. Tasya yang sedang menunduk pun mendongak dan menoleh ke asal suara. Matanya melotot saat mendapati seseorang ada di sampingnya.

"Kamu ... siapa?"
   
    
    
    
   
***

   

Dava berjalan tergesa-gesa menuju lantai atas. Mamanya sampai menatap heran kepadanya yang masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan jas hujan basahnya serta helm di kepala.

"Dav? Kamu lagi ngapain? Itu jas hujan sama helmnya kok nggak dicopot sih?" tanya Mama dengan kernyitan di dahinya.

"Sebentar, Ma, Dava cuma mau ambil barang kok," sahut Dava sambil lalu. Dia tidak menghiraukan mamanya yang berteriak untuk melepaskan helm serta jas hujannya suapaya lantainya tidak licin dan becek.

Lima menit kemudian, Dava sudah tiba di depan mamanya yang sedang bersedekap.

"Mau ke mana lagi?" tanya Mama dengan galaknya.

Dava cengengesan. "Dava cuma pergi bentar ya ampun, Ma. Dua jam palingan udah sampai rumah lagi!" jawab Dava dengan polosnya.

Mamam berdecak. "Itu lama, Sayangku!" Tangannya secara reflek langsung menyentil kening Dava cukup keras hingga Dava mengaduh.

"Ya ampun, Ma! Dua jam itu nggak ada apa-apanya dari waktu dandannya Mama! Mama 'kan kalau dandan tiga jam! Ini namanya KDHIA!" protes Dava sambil manyun-manyun.

"Kalau orang tua ngoming ada ... aja jawabannya. Jangan bawa-bawa waktu dandan Mama dong! Perempuan lain malah lebih lama daripada Mama tahu!" ujar Mama, terselip nada bangga di suaranya, yang membuat Dava melongo mendengarkan.

"Tiga jam masih masuk itungan sebentar, terus yang lama berapa jam, astaga?! Ya Allah, semoga Tasya dandanya cuma lima menit doang!" gerutu Dava sambil berdoa.

"Malah neglantur! Sana pel lantainya! Jangan sampai papamu kepleset gara-gara ulahmu itu."

Mama sudah mendorong-dorong bahu Dava untuk masuk ke dalam gudang;  mengambil peralatan pel.

"Tuh 'kan, tuh 'kan! Ini namanya KDHIA! Dava laporin ke Cak Lontong loh!" ancam Dava. Dia sekuat mungkin menahan tubuhnya agar tidak terdorong maju. Kekuatan fisik mamanya memang patut diakui jempol!

"Apaan sih KDHIA segala? Nggak usah aneh-aneh, pakai bawa siaoa itu namanya? Tolong? Lontong? Lontong sate apa. Sana pel lantainya!"

Dava menhentika aksi mamanya. Membalik badan menghadap mamanya dan mendengkus mendapati wajah tanpa dosa mamanya yang seakan menantangnya, terlebih dengan tangan yang bersedekap seperti itu.

"Ih, ini tu namanya Kekerasan Dalam Hubungan Ibu dan Anak tahu! Dava laporin ke Cak Lontong baru tahu rasa Mama," jelas Dava diakhiri dengan tawa jahatnya, seolah mereka benar-benar musuh.

Mama menatap Dava aneh, matanya menatap Dava dan gudang bergantian, seolah mengatakan bahwa Dava harus masuk ke dalam sana.

Dava menggeleng dengan keras. "Nggak mau!" rengeknya layaknya anak kecil; manja.

Mama menghela napas. "Punya anak kok nyebelinnya sama kayak bapaknya!" gumamnya dengan kesal.

"Eh, mau ke mana kamu?! Jangan kabur, Dava!" teriak Mama.

Dava terkikik geli sambil balas berteriak, "Sebentar, Ma! Ada urusan negara yang nggak bisa diganggu gugat! Bahaya!"

Dava berjalan ke arah motornya masih dengan sisa-sisa tawanya tadi. Dia memasukkan sesuatu ke dalam jok motornya.

"Waktunya berangkat!" ujarnya dengan riang.

 
  
  
  
****
TBC.

Hello 😍
Aku mau double update, ditunggu yaa.... 😘

Sampai jumpa di bab selanjutnya.... 😘

LUKA (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang