enam

75 6 2
                                    


kalau ada hal yang membahagiakan sekaligus menyakitkan untuk dipikirkan, itu adalah masa lalu serat akan keindahan.

Semesta menurunkan hujannya, membasahi semua yang ada dibumi tanpa cela. Para pedagang, orang-orang yang berlalu lalang, dan anak sekolahan yang hendak pulang menuju rumahnya masing-masing terpaksa harus berteduh menghindari hujan yang turun dari langit.

Hujan.
Suatu keaadaan yang membuat hampir semua orang menyukainya, tapi tidak dengan seorang lelaki yang saat ini berteduh didepan ruko untuk menghindarinya.

Bila memang dia harus menunggu sehari semalam untuk menunggu hujan reda, maka dia akan menunggunya. Ya, lelaki yang membenci hujan ini adalah Grisaldi Sirait. Lelaki yang membenci hujan karena kenangan pahitnya dimasa lampau, kenangan yang mampu membuat hatinya diliputi rasa ketidaktenangan disetiap tidur malamnya.

"Shit." gumam Al.

Sembari menunggu hujan yang tak kunjung reda, Al menyibukkan diri dengan benda pipih yang ada ditangan kanannya. Saat sibuk dengan benda pipihnya tersebut seorang gadis dengan seragam yang sama, tiba-tiba ada disamping kirinya namun tidak terlalu dekat dengan tempatnya berdiri.

Dimenit- menit pertama keduanya masih tidak saling menyadari, hanya suara hujan dan beberapa kendaraan yang berlalu lalang yang mengisi. Hingga pada akhirnya Al mengalihkan pandangan dari benda pipih tersebut kekanan dan kekiri. Tepat saat menoleh kekiri Al melihat gadis yang mengisi hari-harinya beberapa minggu terakhir sedang membasahi telapak tangannya dibawah guyuran hujan, tampaknya gadis itu teramat menyukai kegiataanya hingga tidak sadar jika ada yang memperhatikannya.

"Ehem." Al mendekati Zahra dan menyadarkannya dari lamunan.

"Al? Kok disini"

"Alasan gue disini sama kayak alasan lo ada disini. Btw, ngapain tangan lo?"

"Gak ngapa-ngapain, cuma suka begini aja kalo lagi hujan."

Al hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Kenapa bisa suka?"

"Gini ya Al, hujan itu satu diantara banyak nikmat tuhan yang tuhan kasih buat kita. Dari hujan juga kita bisa belajar mensyukuri apapun yang ada dibumi ini, kamu tau? hujan tetap ada walau dia udah jatuh berkali-kali. Kadang kala, hujan ingin manusia mengerti bahwa dia nggak suka kalau bumi yang kita pijak ini dirusak oleh tangan- tangan jail dengan itu hujan menunjukkan kemarahannya dengan hujan deras yang bisa mnyebabkan banjir bahkan bencana yang lebih besar lainnya."

"Kamu bisa bilang seperti itu karena kamu cuma lihat hujan dari sisi baiknya aja ra. Asal kamu tau, ada satu diantara semua orang yg suka hujan itu benci sama yang namanya hujan, dan lo tau kenapa? Karena hujan orang itu kehilangan seorang yang dia sayang dihidupnya dan karena hujan juga orang itu kehilangan kasih sayang yang pernah dia miliki dulunya."

"Memangnya siapa orang itu?"

"Ada dan lo gak perlu tau."

Fatimah hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab karena dia tau bahwa ini bukan urusannya.

"Hujannya udah reda, mau gue anterin pulang?" tanya Al memecahkan keheningan yang sempat terjadi diantara Keduanya.

"Tidak usah, aku masih ada urusan. Kamu duluan saja."

"Baiklah aku duluan , kamu hati-hati."

Ada rasa penasaran dihati Fatimah, pasalnya tidak biasa Al bersikap seperti ini. Al yang dia kenal adalah seorang yang periang tapi yang dilihatnya sore ini seperti kebalikannya. Dapat Fatimah lihat dibalik mata itu ada kepedihan yang mendalam saat Al menjawab pertanyaanya tadi.

•••••••••••••

"Assalamualaikum ibu."

Disinilah Fatimah sekarang, dirumah sang ibu. Setiap waktu luang Fatimah akan memyempatkan diri mengunjunginya karena dia tidak mau rasa rindu dalam hatinya kian hari kian membesar menahan rasa ingin bertemu dengan ibunya.

"Fatimah datang, gimana keadaan ibu disana?"

"Ibu, Fatimah kangen banget sama ibu. Fatimah kangen main sama ibu, kangen dibacain dongeng kala Fatimah tidak bisa tidur, intinya Fatimah kangen semua tentang ibu." Fatimah terus ber-monolog sendiri, menceritakan semua yang terjadi kepada ibunya.

"Sudah ya bu, Fatimah pulang dulu soalnya habis ini maghrib takutnya ayah mencari Fatimah, Assalamualaikum ibu."

Fatimah tidak naik kendaraan umum saat pulang karena jarak antara pemakaman dan rumahnya tidak terlalu jauh meskipun jika ditempuh dengan jalan kaki lelahnya akan terasa.

Fatimah menikmati suasana sore ini, melihat gadis kecil yang merengek minta dibelikan permen pada ibunya adalah pemandangan yang dia lihat saat ini. Sungguh menyenangkan bukan? Menghabiskan waktumu dengan orang-orang yang kau cintai.

Sesampainya dirumah Fatimah segera membersihkan dirinya karena waktu maghrib sudah dekat.

Fatimah melaksanakan sholat maghrib dengan khusyuk, sembari menunggu isya dia melanjutkan kegiatannya dengan membaca Al-quran. Menurutnya, membaca quran adalah obat penenang hati yang paling mujarab

Allah SWT berfirman:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِ ۙ  وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّـلْمُؤْمِنِيْنَ
yaaa ayyuhan-naasu qod jaaa'atkum mau'izhotum mir robbikum wa syifaaa'ul limaa fish-shuduuri wa hudaw wa rohmatul lil-mu'miniin

"Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman."

Untuk itulah, ketidaktenangan dalam hati dapat disembuhkan dengan membaca Al-quran. Seperti yang Fatimah lakukan saat ini, gadis itu membaca Al-quran dengan penuh kekhusyukan dan rasa syukur yang tiada tara terhadap Allah SWT.

Bug

Ditengah kehusyuannnya membaca Al-quran, terdengar sesuatu yang terjatuh dibalik pintu terdengar begitu keras oleh Fatimah. Dia langsung lari ketika menyadari bahwa sesuatu yang jatuh tersebut adalah Marwan, ayahnya.

"Ayah!" pekik Fatimah kaget saat melihat ayahnya limbung dibalik pintu.

Lagi. Ayah Fatimah lagi-lagi mabuk, Fatimah dapat menebak hal itu karena bau alkohol yang menyeruak dibadan ayahnya yang mengatakan.

"Ayah, ayo bangun." tak kunjung sadar, akhirnya Fatimah menuntun ayahnya menuju kamar.

"Maryam... Maryam.. Kenapa kamu pergi sayang." Marwan terus saja mengigau memanggil nama istrinya.

Air mata itu jatuh lagi. Rasa bersalah atas ketidakadaan ibunya dan kesedihan ayahnya itu muncul meski sudah ia kubur dalam-dalam.

Setelah sekian lama mengigau akhirnya ayah Fatimah dapat kembali tidur dengan tengan. Hatinya terasa teriiris kala melihat ayah yang dicintainya menjadi seperti ini. Ayahnya masih belum bisa menerima kepergian ibunya yang sudah beberapa tahun lalu.

Setelah yakin ayahnya sudah tidur pulas, Fatimah melangkahkan kaki keatas sajadah yang tadi ia kenakan untuk sholat. Fatimah bersujud, mencurahkan segala kepedihan yang ada dalam hatinya kepada sang khalik.

"Yaallah ampuni hamba, maafkan hamba." tiada henti Fatimah memohon ampun, dia terisak dalam sujudnya. Siapa yang tau jika hatinya begitu pilu? Hanya Allah lah yang tau kepiluan itu.

Fatimah merasa dia sendirian disini. Dia butuh sandaran, ketabahan yang selama ini orang lihat hanyalah sebuah tameng yang menutupi kerapuhannya.

Jangan lupa voteeeee(:

Wassalamualaikum

KHIMARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang