Epilogue

6.2K 944 429
                                    

Hari semakin tinggi dan itu berarti Namjoon telah tiba pada waktunya. Ia hanya mengambil beberapa langkah menuju tangga, meniti tiap anak tangga dengan jutaan keberanian yang akan menuntunnya pada pengakuan indah. Sebentar lagi, yah, hanya membutuhkan waktu sebentar lagi untuk menemui apa yang selama ini menjadi impiannya. Ia hanya ingin mengutarakan apa yang ia rasakan, meskipun itu berbeda, namun ia harus memberi tahu sebelum segala sesuatunya semakin terlambat.

Tungkai kaki Namjoon berhasil tiba di atas anak tangga tertinggi, berjalan beberapa saat menuju sudut koridor sebelum berhenti dan berbelok pada ruangan di sebelah kiri. Irisnya terlihat sibuk, ia hanya mencari hingga saat menemukan satu lemari kaca yang dipenuhi dengan pigura berisi foto milik mereka, Namjoon menemukan tempat atau rumah baru milik Anne.

"Halo Anne, lama tak bertemu."

Namjoon mengusap pigura itu lembut. Membelai pipi Anne yang terlihat begitu bahagia di dalam sana. Irisnya kembali terasa panas, sungguh, ia hanya berusaha untuk terlihat kuat. Tidak lebih.

"Bagaimana di sana? Pasti menyenangkan, bukan? Apa kau memiliki sahabat seperti aku dan Seokjin? Hei, jangan gantikan tempat kami jika kau memang memilikinya."

Tawa getir terdengar menggema diantara sudut ruangan 4x4 meter tersebut. Puluhan lemari kaca berisi guci tempat penyimpanan abu orang yang telah meninggal terlihat memenuhi ruangan, benar, ini adalah krematium.

Genggamannya pada tangkai krisan mengetat, pemuda itu berusaha untuk tidak menjatuhkan airmatanya, namun usahanya terlihat berbanding terbalik dengan apa yang nyatanya terjadi. Kini airmata pemuda itu telah meluncur bebas dari pelupuknya, genggamannya pada buket bunga krisan yang ia bawa bahkan melemah.

Tangannya jatuh di sisi tubuhnya, sedang satu tangannya ia pakai untuk menahan beban tubuhnya dengan bertumpu pada lemari kaca. Kepalanya tertunduk sedang isakannya mulai terdengar lolos satu-persatu.

"Maafkan aku, Anne. Maafkan aku."

Namjoon pasti akan menyesal sepanjang sisa hidupnya. Kepergian Anne yang begitu tiba-tiba tentu saja ialah yanh menjadi menyebab ini semua terjadi. Jika saja kecemburuan tak menguasainya, jika saja ia tidak melangkah dan menarik gadis itu seenaknya, jika saja ia tidak mencium gadis itu, yah jika saja. Namun apa yang telah terjadi tak mungkin untuk dapat berputar kembali. Segala sesuatunya telah habis jauh dibalang waktu yang telah pergi, dan Namjoon tidak punya pilihan lain selain melangkah ke depan.

Ia ingat bagaimana gadis itu berlari dalam tangis yang panjang keluar dari dalam kafe, mengabaikan panggilan darinya maupun Seokjin. Berlari dengan terburu-buru hingga sebuah truk bermuatan kayu secara tak sengaja melintas dan menabrak tubuhnya. Namjoon ingat bagaimana ia dan Seokjin berteriak histeris saat kejadian itu terjadi di dapan mata mereka atau detik-detik yang terasa membeku saat keduanya hanya menatap tak bertenaga. Seluruh waktu milik mereka seakan mati.

Aroma darah dan pening yang menyiksa, Namjoon masih ingat semua hal itu. Bahkan tentang aroma dari sisa decitan ban masih terasa segar di dalam penciumannya.

Namjoon yang bersalah di sini. Sungguh, jika bukan karena kebodohannya, gadis itu tidak akan pergi. Ia tidak akan mungkin meninggalkan Namjoon berada di sini sendirian. Jadi... sekarang siapa yang akan menemani Namjoon? Siapa yang akan menjadi pendengar yang baik untuknya? Sungguh, Namjoon teramat merindukan gadis itu.

"Hei Anne. Aku merindukanmu. Sungguh. Kali ini tentangmu, bukan tentang Seokjin. Lihat, aku bahkan membelikan bunga kesukaanmu."

Namjoon memaksakan sudut bibirnya untuk tertarik dalam. Lesung pipi yang menjadi andalannya bahkan tak terlihat begitu berarti saat ini disaat tangisannya tak pernah kunjung habis menguras airmatanya. Sekelumit rasa sakit kembali menyerang dadanya. Sekali lagi, ini bukan karena Seokjin namun karena presensi Anne yang tidak akan pernah ia temukan lagi.

Malam-malam panjang yang berisi airmata masih setia menemani Namjoon. Kali ini ia tidak menangis sebab cintanya yang tak berbalas, ia hanya menangisi bagaimana bodoh dirinya atau tentang kepergian gadis itu.

Melihat kemarahan Seokjin yang meledak saat tubuh Anne ditutup oleh kain putih hingga menutupi seluruh wajah dan tubuhnya, masih terasa membekas di dalam dada Namjoon. Ia ingat bagaimana pukulan Seokjin yang melayang mengenai wajahnya, tentang teriakan Seokjin saat berada di kamar jenasah atau tentang tangis pemuda itu. Seluruh halnya menyakiti Kim Namjoon.

Kini satu minggu telah berlalu. Segala sesuatunya masih terasa sama meskipun itu terjadi belum menemui musim yang baru. Yang Namjoon lakukan hanya mulai membiasakan diri tanpa Anne, membiasakan diri tanpa Seokjin. Tidak akan ada lagi tiga, dimana dua saling mengisi dan meninggalkan satu. Namun kini tiga kehilangan satu dan akan kehilangan dua lainnya.

"Anne, maaf. Kupikir aku akan membuat sebuah pengakuan. Pengakuan yang cukup terlambat, bukan?"

Hentakan yang terdengar melambat dan berhenti sekitar sepuluh langkah darinya membuat Namjoon tersenyum. Ia sudah datang, pikirnya.

Aroma pinus menyegarkan menari-nari pada permukaan penciuman Namjoon. Pemuda itu melirik pada sudut matanya saat Seokjin terlihat memaku tungkainya tepat di depan pintu, menatap kearahnya dengan sekelumit kebingungan yang mampir pada kerutan di keningnya.

Namjoon mengusap liquid bening yang masih jatuh memenuhi pipinya. Meninggalkan sisa tangisnya yang tak berbekas sebelum membuka lemari kaca tersebut dan mendekat dengan senyum dan tatapan yang begitu berbeda. "Hei, Anne. Entah apa yang aku pikirkan ketika merasakan hal ini namun... terima kasih telah pergi lebih dulu." Namjoon terkekeh dengan jeda yang cukup panjang untuk menarik napas sebelum mengucapkan sebuah kalimat yang menjadi akhir dari cerita cinta bertepuk sebelah tangan miliknya yang cukup──berbeda."Setidaknya kini kau tidak lagi menghalangiku untuk memiliki Seokjin seutuhnya hanya untukku. Ya, aku masih mencintai Kim Seokjin seperti pengakuanku tempo hari padamu."<>

fin.

AliumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang