07. the way he saved

4.4K 841 101
                                    

Perasaannya membuncah hebat. Decitan yang dihasilkan dari sol sepatu pantofelnya bahkan terdengar riang. Namjoon sedikit melonjak dalam tiap hentakan langkahnya saat ia mencoba mengatur rasa gembiranya yang terkesan menggebu-gebu untuk tetap terlihat tenang. Ia harus menjaga wibawanya, itu pesan Seokjin jika pemuda itu mulai bertingkah konyol.

Namjoon melirik arlojinya. Ia akan sampai di tempat itu dalam lima belas menit yang akan datang. Ia masih memiliki banyak waktu untuk menenangkan dirinya, berjalan dengan mengatur napas dan perasaannya yang mulai tak tenang. Salahkan usahanya yang mencoba untuk tetap biasa yang kelewat tak memiliki banyak kesempatan. Persetan dengan rasa gugupnya, Namjoon harus segera menyelesaikan ini. Ia harus mengakuinya dengan segala resiko, sebab ia telah mengatur banyak waktu hidupnya untuk dapat mengungkapkan perasaan berbeda yang telah ia terima.

Dalam beberapa bulan yang telah lalu, dimana perasaannya benar-benar memberat tak terhingga, Namjoon boleh mengatakan bahwa ia benar-benar muak dan tertekan dengan segala perasaan cinta ini. Bodoh memang, sebab tak seharusnya ia meletakkan perasaannya pada orang yang salah. Yah, perasaannya salah, benar-benar salah. Namjoon ingin mengumpat dan membunuh dirinya sendiri saat perasaan itu muncul tak terkendali, ia seharusnya tak meletakkan rasa cintanya yang berlebih pada seseorang yang ia sebut dengan sahabat.

Kim Namjoon terlihat kembali menarik kedua sudut bibirnya begitu dalam, membaui aroma krisan dalam genggamannya dengan tak jemu-jemu. Sekelumit rasa takut mulai menginvasi dirinya, tentang penolakan atau pun tentang dirinya yang akan diabaikan setelah ini. Peduli setan dengan hal ini, meletakkan rasa sukanya yang begitu dalam pada sahabat sendiri bahkan telah membantunya menuju neraka.
Ia harus mengungkapkannya, ya atau tidak sama sekali.

Tungkainya berbelok di sudut jalan. Hembusan angin yang terasa begitu panas bahkan tak begitu mengganggunya. Jika orang normal pada umumnya akan merasa begitu kepanasan mengenakan tuxedo dalam beberapa lapis pakaian di dalamnya di musim panas, lain halnya dengan Kim Namjoon yang berusaha mati-matian untuk mengurangi gugup serta sengatan rasa dingin pada jemari tangan dan kakinya. Mereka berubah sedingin es mengingat bagaimana gugupnya Namjoon yang akan mengungkapkan perasaannya sebentar lagi. Ia hanya butuh beberapa keberanian untuk mengungkapkan perasaan sukanya yang kelewat berbahaya.

Tentu saja, pengakuan yang dibuatnya terasa begitu berisiko. Ia harus siap kehilangan setelah ini semua berakhir, namun dibandingkan dengan malam-malam kelabunya yang ditemani oleh beberapa perasaan terluka dan airmata, setidaknya ini lebih dari cukup untuk mengganti semua hal itu.

Irisnya bertumbuk pada etalase kaca milik sebuah kafe kecil yang berada di sudut jalan. Interiornya yang begitu hangat, aroma cake yang baru diangkat dari panggangan serta serbuk kopi yang terasa menggelitik hidung, Namjoon tidak akan melupakan itu semua.

Di sana. Ya, di sana. Di kafe sudut jalan adalah satu-satunya kenangan terakhir yang mempertemukan mereka bertiga. Kenangan yang terjadi sepekan lalu bahkan terasa masih seperti baru saja terjadi kemarin. Namjoon masih ingat bagaimana aroma cake hangat yang berpadu dengan aroma lipstik yang Anne kenakan, seluruh hal itu membuat kepalanya berputar pening.

Langkahnya terhenti sejenak. Pikirannya kembali mencoba berputar-putar pada beberapa ingatan kemarin yabg terasa masih begitu segar.

Tentang pengakuan tak terlihatnya, tentang kecemburuannya yang membara, tentang pengorbanannya, bahkan tentang ciuman itu.

Saat itu Namjoon duduk di sudut kafe dengan sepiring cake raspberry hangat di atas meja ditemani oleh kepulan hawa panas dari Americano hangatnya. Semuanya terasa sempurna dari sini.

Ia mengawasi dalam tatapan yang begitu lekat, irisnya bahkan terlihat begitu awas seakan-akan apa yang tengah ia intai akan lenyap jika ia hanya sekejap mata mengedipkan kelopaknya. Namjoon menyeruput Americanonya dengan tidak bertenaga, kedua telapak tangannya ia pakai untuk menyanggah dagunya, berusaha tak berlari dari apa yang tengah ia saksikan.

"Seokjin memberinya bunga," gumamnya.

Irisnya terus mengawasi bagaimana Seokjin menggenggam jemari Anne yang ia letakkan di atas meja, tentang cubitan mesra yang Seokjin layangkan pada gadis itu, atau pun tentang tawa mereka yang terasa begitu hangat. Jika boleh jujur, Namjoon berada di tempat ini semata-mata hanya untuk mengawasi keduanya. Entah mengapa ia hanya merasa takut pada apa yang akan Seokjin lakukan setelah ini. Namjoon hanya berusaha agar Seokjin tak benar-benar melakukannya, tidak dalam konteks yang akan membuat sakit hati Namjoon semakin hebat.

Namjoon kembali menyesap kopi pahitnya dengan begitu getir. Pahitnya kopi yang menggelegak di dalam kerongkongannya bahkan begitu biasa jika ia harus menjejerkan hari-hari atau malam-malam pahit lainnya yang telah ia lewati saat Anne juga telah mengutarakan perasaannya, menjawab perasaan Seokjin yang berlabuh padanya dan menjalaninya dengan dua yang utuh meninggalkan satu yang akan selalu berjalan timpang sebab tak memiliki satu.

Awalnya berjalan cukup baik, mereka terlihat normal dan baik-baik saja. Tidak ada yang berlebihan, Anne pada tempatnya dan Seokjin pada tempatnya. Namun saat genggaman Seokjin pada jemari Anne mengetat serta senyumannya yang terlihat berbeda──Namjoon tahu bahwa hal yang ia takutkan akan benar-benar terjadi.

Namjoon tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Ia tidak akan membiarkan milik Seokjin berhasil menyentuh milik Anne, ia memilih bangkit dari kursinya, berjalan dengan derap yang hebat menyongsong keduanya dalam nyeri yang kembali menyerang dadanya. Saat Seokjin berhasil meraih wajah Anne, menggenggamnya dalam kehangatan yang pasti, Namjoon menyerangnya dengan satu hempasan tangan yang hebat dan berhasil melepas genggaman Seokjin pada Anne.

Pemuda itu menyela keduanya, menyusup diantara tubuh Seokjin dan Anne. Ia meraih tubuh gadis itu dalam genggamannya, memegang wajahnya dalam gelegak rasa sakit yang menyerangnya sebelum menyentuh bibir gadis itu dengan miliknya.

Anne terpaku. Otaknya membeku dengan satu aksi tak terduga yang Namjoon layangkan padanya, kelopaknya mengerjap beberapa kali dengan iris yang menegang saat mendengar teriakan kemarahan yang Seokjin layangkan pada Namjoon.

Pemuda itu tak bergeming. Ia hanya mencekal kepala Anne agar tak berusaha melepas ciumannya. Ia menyesap bibir kemerahan gadis itu begitu penuh dengan penyesalan yang berarti, mengindahkan betapa hancur perasaannya saat telah melakukan tindakan yang kelewat salah. Namun bagi Namjoon, hal ini sudah kepalang basah, ini telah terjadi dan Namjoon tidak akan berhenti. Persetan dengan segalanya, yang ada di dalam kepalanya hanyalah satu rasa syukur yang panjang ketika ciumannya terasa semakin dalam, sebab tidak akan ada celah untuk Seokjin.

Anne berhasil menarik dirinya, melayangkan satu tamparan yang memukul wajah Namjoon begitu kuat. Pemuda itu tak menyesal setelah satu tindakan yang kelewat tiba-tiba ia layangkan pada gadis itu, ia hanya tersenyum dan mendekat kearah Anne dalam balutan sukacitanya yang membumbung tinggi sebelum berbisik lembut. "Maaf Anne, aku hanya berusaha melindungi milikku."<>

AliumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang