05. trees that reminded him

3.9K 884 67
                                    

Namjoon sekali lagi memandangi presesnsi dirinya sendiri melalui kaca besar yang berada di dekat ruang tamu. Menepuk beberapa bagian tuxedonya yang nampak tertekuk, memperbaiki letak dasinya, atau hanya sekedar mengusap sepatu pantofel mengkilapnya. Potongan rambutnya pun jauh berubah dengan warna oranye hangat yang disisir menyamping, Kim Namjoon benar-benar terlihat begitu berwibawa.

"Kau mau pergi?" satu sapaan mampir pada gendang telinganya, pemuda itu tersenyum tanpa niat untuk berbalik menatap sang lawan bicara.

"Ya. Hari ini aku berjanji pada Anne untuk datang. Lagipula ia ingin makan mochi dingin kesukaannya."

Lee Yuri─ibu Namjoon─menggeleng pelan. Wanita berumur di akhir 40-an itu tersenyum, menyongsong anak semata wayangnya dengan beberapa tekanan pada genggamannya saat ia sampai. "Sampaikan salam Ibu padanya. Katakan padanya untuk rajin makan."

Namjoon mengangguk, mengusap bahu wanita itu lembut sebelum berujar pelan. "Aku akan mengatakan hal itu padanya, Bu."

"Apa itu Joon-ah?"

Pemuda itu berdiri tegak, menambah sedikit sentuhan manis pada sudut bibirnya sebelum memegang gagang pintu depan──siap untuk pergi.

"Aku akan mengatakan padanya bahwa aku mencintainya." Namjoon mengusap tengkuknya pelan sebelum kembali melanjutkan. "Seokjin akan datang. Saat ia datang aku akan mengungkap pernyataan cintaku tepat di depannya."

Setelah satu debuman pelan diikuti senyap yang berbeda berakhir, Yuri menghela napasnya pelan. Sudut bibirnya yang sempat tertarik begitu dalam seketika lenyap, irisnya yang sempat berbinar meredup saat mengingat betapa anaknya telah berubah jauh berbeda.

Kim Namjoon yang malang.

Namjoon menghentak langkahnya dengan begitu pasti di atas jalan setapak yang menuju kearah gerbang rumahnya. Membukanya pelan dengan bising dari engsel tua yang berbau karat, sebelum kembali menutupnya. Hari ini cuaca cukup terik, hari yang salah untuk memilih menggunakan tuxedo dengan setelan resmi yang membuat pengap. Namun Namjoon harus terlihat rapi. Ia telah mempersiapkan hari ini dengan begitu baik. Ia bahkan menunggu untuk waktu yang panjang hanya agar dapat bertemu dengan hari ini.

Hari dimana ia akan mengungkapkan segenap rasa cintanya. Mengutarakan seluruh rasa kasihnya yang tak terbendung.

Namjoon terkekeh pelan, menunduk dengan sedikit tersipu membayangkan bagaimana reaksi dirinya saat Namjoon selesai dengan pengakuannya. Ia bahkan mencoba menghapal beberapa kalimat picisan yang terdengar manis saat mandi, mencoba menyanyikan beberapa bait lagu saat berganti pakaian. Namjoon rasa, ia lebih dari siap.

Semalam ia tidak dapat memejamkan matanya. Jantungnya berdebar begitu cepat saat ia kembali membayangkan apa yang akan terjadi hari ini, semua tentang pengakuannya. Dan untuk pagi-pagi yang melelahkan lainnya, hanya pagi ini Namjoon terjaga cukup cepat dan bersiap dengan begitu banyak persiapan.

Tungkainya mengambil langkah terakhir sebelum meninggalkan beberapa langkah di depan pekarangan milik Anne. Langkahnya terhenti saat ia menatap sebuah pohon besar yang tumbuh di sudut teras. Ingatannya kembali pada hari itu, saat Kim Seokjin mencoba memanjat.

Seokjin itu pemuda yang tak mau dikalah. Tentu saja. Lihat bagaimana ia berusaha untuk memanjat pohon besar di depan rumah Anne hanya karena tidak ingin dilampaui oleh Namjoon yang tengah duduk manis di sebuah dahan besar di sudut kanan pohon, yang melambai kearahnya dengan ejekan ringan.

"Kau tidak akan bisa naik, Jin-ah!"

Sejak kecil, Seokjin benci kalah dari Namjoon.

Wajah Seokjin merah padam. Ini bukan hal yang rumit seperti masalah orang dewasa pada umumnya, sebab yang terjadi di sini hanyalah sikap tak mau kalah yang membumbung di dalam diri bocah tujuh belas tahun.

"Kau akan menggigit lidahmu sendiri saat aku tiba di atas, Joon."

Anne nampak ragu. Gadis itu mencoba menghentikan Seokjin yang berusaha memanjat dengan berpegangan pada ranting sedang di dekat jangkauan tangannya. "Um Jin-ah, bagaimana jika kita menonton beberapa film baru dengan segelas Cola dan semangkuk popcorn ketimbang memanjat pohon ini? Lihat Namjoon bahkan digigit semut rang-rang di atas sana."

Kim Seokjin tak bergeming. Tatapan kesalnya masih menjaga wajahnya untuk tertekuk dalam. Ia kesal setengah mati saat Namjoon mengejeknya, ia hanya ingin membuktikan bahwa ia juga bisa. Ini hanya pohon kecil di depan rumah.

"Tidak, Anne. Aku harus menaiki pohon ini. Dengan begitu Namjoon akan berhenti meledekku."

Seokjin tetap bersikeras. Menulikan pendengarannya saat Anne mencoba menghentikannya. Di dalam telinganya hanya berisi dengungan dari ejekan yang Namjoon lontarkan padanya. Ia harus membuktikan diri bahwa ia juga bisa.

Dan dengan satu langkah naik, ranting yang menjadi pijakan Seokjin patah. Pemuda itu jatuh ke atas tanah dengan debum nyaring disusul dengan pekikan nyaring milik Anne dan Namjoon. Gadis itu berlari menghambur kearah Seokjin, merunduk di atas tanah tepat di depan Kim Seokjin yang tengah memegangi lututnya yang berdarah.

"Anak bodoh! Sudah kukatakan bukan untuk berhenti? Sekarang lihat yang kau dapatkan."

"A-ah sakit Anne." jerit Seokjin saat gadis itu mencoba menolongnya.

"Kau Namjoon, turun sekarang juga!"

Mendengar pekik kemarahan yang melompat dari dalam kerongkongan Anne, Namjoon terdiam dan turun dari atas pohon tanpa sepatah katapun. Di dalam kepalanya ia hanya berpikir bahwa Anne akan menghabisinya sebentar lagi. Mungkin dengan beberapa pekikan marah yang merusak selaput pendengarannya, atau beberapa pukulan ringan pada tubuhnya.

"Cepat ambil obat dan sebuah handuk basah ke sini," perintah Anne.

Pemuda itu hanya mengangguk. Bungkam masih mengunci bibirnya saat ia berlari masuk ke dalam rumah dengan begitu terburu-buru dan kembali dengan beberapa obat merah, baskom berisi air, serta sebuah handuk dalam genggamannya. Ia meletakkan segala hal itu tepat di samping Anne.

Irisnya menatap khawatir pada luka yang mengeluarkan darah di lutut Seokjin. Namjoon sedikit banyak merasa bersalah. Jika bukan karena ulahnya, mungkin pemuda itu tidak akan berusaha untuk memanjat pohon dan berakhir dengan luka berukuran besar di atas lututnya. Ini semua salahnya.

"M-maafkan aku, Seokjin."

Seokjin hanya mengangguk sekilas sebelum kembali merintih nyaring saat Anne berusaha mengobati lukanya.

Untuk sesaat dunia milik Namjoon berhenti. Pikirannya tiba-tiba terasa kosong dengan beberapa rasa sakit menghujam dadanya. Irisnya hanya dipenuhi oleh sosok Seokjin yang tengah diobati oleh Anne. Melihat bagaimana gadis itu begitu telaten mengobati Seokjin, merawat pemuda itu dengan begitu banyak perhatian, dan menjanjikan begitu banyak kesenangan agar pemuda itu berhenti meringis kesakitan. Di dalam kepalanya ia hanya mendoktrin dirinya.

Seharusnya ia yang berada di sana.

Namjoon terkekeh pelan mengingat beberapa tindakan bodohnya di masa lalu. Ia bahkan masih mengingat beberapa hari setelahnya Seokjin bahkan telah benar-benar sampai pada dahan teratas pohon tersebut. Pemuda yang gigih.

Sebelum kembali melanjutkan langkahnya, Namjon sejenak berpikir, mungkin ia dulu terlalu ingin terlihat menonjol sehingga kenyataannya ia seperti mampu untuk melakukan segala hal sendiri. Mungkin hal itu yang membuat Anne justru cenderung bersama Seokjin. Yah, mungkin seperti itu.

Namun untuk saat ini Namjoon hanya harus memantapkan hatinya. Ia telah menyiapkannya cukup lama. Hal ini tidak mudah, sebab pengakuannya harus terdengar serius. Ia hanya tidak ingin terdengar bercanda dan main-main. Ia harus mengatakan seluruh perasaan cintanya, sebelum ia kehilangan waktu yang baik.<>

Jangan bingung yah syg, ini cerita sepanjang chapter ampe tamat dibagian awal full Namjoon prepare buat nyatain perasaannya, mulai dari dia bangun tidur di bab 1, dia mandi dan ngaca di bab 2 sampe di bab 5 ini dia mulai jalan ke tempat dia sama Anne janjian ketemu. Untuk beberapa scene di tengah-tengah itu semacam flashbacknya Namjoon dimana dia ingat beberapa kenangan selama mrk sama-sama.

AliumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang