Terjaga di pagi yang lebih awal memang hal yang baik. Namjoon bahkan berhasil mempersiapkan segala sesuatunya dengan begitu baik. Mandi dengan bersih, berpakaian begitu rapi dengan setelan tuxedo hitamnya sebelum mengenakan sepatu pantofelnya.
Pemuda itu melirik pesekitaran beberapa saat, mencoba mengingat-ingat terakhir kali menyimpan sepatu pantofel hitamnya dimana. Ia sedikit mengintip di bawah meja, di bawah kasur, bahkan ke belakang pintu. Dasar Namjoon bodoh, meninggalkan sepatunya begitu saja dan sekarang saat ia membutuhkannya, justru ia sendirilah yang akan kerepotan.
Namjoon mencoba mencari di sekitar ruang tengah sembari sesekali melirik arlojinya. Ia tidak boleh terlambat, itu janjinya jika tidak, Anne mungkin akan kecewa.
Pemuda itu berdiri di tengah ruangan. Meletakkan telunjuknya di bawah dagu dengan kening berkerut dalam. Ia mencoba mengingat beberapa hal di beberapa hari sebelumnya dan menemukan sebuah ingatan kecil tentang ia yang pernah kehilangan sepatunya.
Kala itu Namjoon, Anne, dan Seokjin berada di semester genap, tepat di tahun kedua. Masa yang luar biasa menyenangkan menurut Namjoon, sebab ia diperbolehkan memiliki sebuah play station yang akan ia mainkan bersama Seokjin pagi bertemu pagi. Ia tidak pernah memainkan benda itu sendirian, ia bahkan akan mengangkat seluruh benda tersebut menuju ke rumah Seokjin yang berada tepat di sebelah rumahnya jika pemuda itu terlalu malas untuk melangkahkan kakinya keluar.
Bagi Namjoon, bermain dengan Seokjin adalah waktu yang menyenangkan untuknya.
Pagi itu Namjoon membawa dua sepatu barunya ke kampus. Satu untuk ia pakai, sedang yang satu lagi untuk ia pakai saat jam yang berbeda. Hanya sedikit pamer. Namun naas, ia harus menggigit jarinya ketika mata kuliah praktek selesai dan menemukan kedua sepatunya lenyap tak berbekas. Namjoon sejujurnya ingin menuduh, namun ia tidak memiliki bukti yang cukup kuat, untuk itu ia hanya bungkam dan duduk manis selama jam kuliah berlangsung.
Ia mengabaikan ajakan Anne dan Seokjin saat mereka mengajak pemuda itu untuk pergi mengisi perut dengan alasan sedang banyak tugas. Keduanya memaklumi dan pergi, meninggalkan Namjoon bersama kaki telanjangnya. Tidak hanya itu, saat jam pelajaran berakhir, dimana seluruh mahasiswa bersorak girang untuk lekas kembali menuju rumah, Kim Namjoon justru masih setia duduk di atas kursinya dengan kakinya yang mulai terasa dingin.
Namjoon tidak tahu akan sampai kapan, sedang matahari beranjak turun. Ia memilih menelungkupkan kepalanya di atas meja, hanya sedikit berharap kalau-kalau petugas kebersihan atau satpam menemukan dirinya di sana.
Ia hampir tertidur di kelas jika suara debuman tak terdengar oleh telinganya. Tubuhnya bangkit secara tegap pada duduknya dan menemukan Seokjin yang melepas kedua sepatunya dan meletakkannya di atas meja. "Aku tahu kau seharian tak bergerak karena sepatumu hilang, bukan?"
Namjoon terkekeh pelan, mengusap bagian belakang kepalanya saat satu kebodohannya terdengar lucu di depan sahabat karibnya ini.
"Seseorang mengambilnya. Lalu... mengapa kau belum pulang? Ini bahkan hampir petang."
Seokjin menggores seulas senyum pada kedua bibir ranumnya, mengecek arlojinya beberapa saat. "Aku sedang menunggu Anne. Dia ada kelas tambahan. Kau melupakannya?"
Namjoon menggeleng dengan sudut bibirnya yang terangkat begitu manis. "Tentu tidak. Hanya mengira kalian ingin memiliki waktu berdua untuk kembali."
"Ey jangan bodoh, Kim. Kita selalu bersama, meskipun kini aku memiliki sesuatu yang khusus dengan Anne, kita akan tetap bersama."
Namjoon terkekeh canggung. Ia hanya tidak ingin menjadi salah satu yang tersakiti jika bersama, untuk itu ia selalu menghindari beberapa ajakan Seokjin maupun Anne, termasuk untuk pulang bersama. Pemuda itu tidak ingin menelan rasa sakit yang lebih lama jika menghabiskan beberapa waktu diantara keduanya. Meskipun jujur saja Namjoon terkadang merindukan saat-saat berbagi tawa bersama Seokjin saat unggul dalam sebuah permainan, atau saat dimana ia memiliki beberapa waktu luang untuk menemani Anne belanja.
Jika boleh mengatakannya, sejujurnya Namjoon sedikit merasa kesepian. Hanya itu.
"Pakai saja sepatuku."
Namjoon menggeleng, "Tidak. Aku bisa pulang tanpa alas kaki."
"Jangan keras kepala Joon-ah
Kau bahkan tertahan di tempat ini hanya karena tak memiliki alas kaki untuk kau pakai pulang. Pakailah, aku akan baik-baik saja."Seokjin terlihat cukup memaksa, hal itu membuat Namjoon menjadi tak enak hati untuk menolak bantuan sahabat karibnya itu. Ia telah banyak meletakkan jarak diantara mereka, mungkin ini saatnya untuk ia kembali melempar dirinya.
"Hei, bung. Jujur saja aku dan Anne merindukanmu," tukas Seokjin tanpa beban.
Ungkapan tersebut tentu saja membuat Namjoon merasa seolah hidup kembali. Wajahnya beberapa saat memerah saat tahu tak hanya ia yang merindukan mereka. Namun lebih dari semua itu, sejujurnya Namjoon begitu merindukan pemilik hatinya. Meskipun kerap harus diserang rasa sakit yang hebat jika melihat mereka bersama, Namjoon cukup bahagia melihat bagaimana ia tertawa lebih banyak dari biasanya.
"Jin-ah, bagaimana dengan memakai sebelah bagian secara bersama?" tawaran bodoh Namjoon bersambut anggukan kepala Seokjin yang terlihat begitu bersemangat. Kedua pemuda itu menyelipkan masing-masing sebelah kaki mereka pada sebuah sepatu, berbagi tawa bersama saat melihat kebodohan yang mereka ciptakan.
"Hm Seokjin." Namjoon merendahkan suaranya, terdengar begitu serius. Hal itu tentu mengundang atensi Seokjin padanya. Pemuda berbahu lebar itu tersenyum, menatap Namjoon dengan beberapa pertanyaan yang menggantung di atas tatapannya.
"Tolong jaga Anne. Jangan pernah buat ia menangis."
Seokjin mengangguk dalam hentakan kepala yang pasti. Melebarkan senyumnya hingga membuat Namjoon percaya, bahwa ia akan jauh lebih baik setelah ini.
Pekikan nyaring terdengar di ujung koridor. Keduanya tahu itu milik siapa. Anne menghambur ke arah Seokjin, memeluk pemuda itu dengan beberapa geraman manja keluar dari bibirnya. Tolong ingatkan Namjoon untuk tidak mencubit gemas gadis itu setelah ini.
"Ada apa?"
"Jin-ah, kakiku pegal. Rasanya akan patah."
Seokjin berusaha mengontrol dirinya untuk tidak mencium gadisnya di depan Namjoon. Ia tertawa pelan dengan usapan hangat yang mendarat di atas puncak kepala milik Anne. "Ingin kugendong?"
Gadis itu menganggu antusias. Ia naik ke atas punggung Seokjin, memeluk lehernya erat sebelum meletakkan kepalanya pada bahu lebar milik Seokjin.
Namjoon tidak dilupakan di sini, ia hanya tertinggal satu langkah di belakang Seokjin. Persis seperti pengakuannya yang tertinggal satu langkah. Namjoon menatap punggung Anne dalam nyeri yang menyerang dadanya. Namjoon memilih menghentikan langkahnya, membiarkan Seokjin dan Anne yang menciptakan beberapa jarak pemisah untuk mereka. Iris pemuda itu kembali memanas, seulas senyum getir tergambar pada bibirnya saat ia merunduk dan menemukan ia hanya menggunakan satu bagian dari sepatu Seokjin. Ia tertawa sumbang dengan usaha agar liquid bening itu tidak jatuh menemui permukaan rasa sakitnya. "Pantas saja kau tak melihatku, sebab pada kenyataannya aku butuh sepasang sepatu untuk mengejarmu, namun kau hanya butuh sebelah sepatu untuk melarikan diri dariku."<>
KAMU SEDANG MEMBACA
Alium
Fanfiction[COMPLETED] Alium; meaning of different. Berbeda. Namjoon punya sesuatu yang berbeda diantara dirinya, Annie atau pun Seokjin. Sesuatu yang berbeda yang masuk diantara celah ikatan mereka bertiga. Satu membagi satu kepada yang lain, melengkapi dua d...