Judul: Bu, Maaf - Empat
Penulis: Jafreida
Publikasi: 13 Desember 2017
Revisi: 16 Februari 2022~
Aku tertegun melihat penampilannya malam ini. Dia mengenakan setelan jas hitam yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Membuat dia terlihat semakin tampan malam ini.
"Hm.. hai Fian" sapaku sedikit canggung. Fian menatapku lama. Membuatku sedikit grogi.
"Kamu... cantik"
Bluussh...
"Aynaa!" Della memanggil namaku di waktu yang tepat. Aku segera berbalik menghadap Della. Jika Della tidak memanggilku, entah bagaimana aku menyembunyikan wajah maluku, atau entah aku harus bagaimana menanggapi pujian Fian.
"Woow Fian!" heboh Della saat menemui Fian dibelakangku. Fian tersenyum tipis menyapa Della.
Della menarik tanganku kearahnya. Lalu mendekatkan bibirnya di telingaku.
"Na, kesempatan bagus nih, jangan sampe di sia-sia in ya" bisiknya lalu pergi meninggalkan aku dan Fian sambil terkikik.Ntah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kenapa rasanya canggung sekali? Hm mungkin karna ini pertamakalinya aku melepas kerudungku di depannya. Dia masih diam menatapku. Sedangkan aku gelisah dengan pikiranku sendiri.
Tak mau lama-lama dalam keadaan seperti ini, akhirnya aku mengajaknya ke meja tamu yang kosong. Kami duduk berhadapan. Tanpa ada yang bersuara. Kami sibuk dengan hp masing-masing. Hingga akhirnya Fian yang mengalah untuk bersuara lebih dulu.
"Ay, kamu kesini sama siapa?"
"Sama Della. Kalo kamu?"
"Aku sama Babas, sama Rio juga"
Aku mengangguk mendengar jawabannya. Lalu kami diam kembali.
"Kamu pulang sama Della juga?" Tanyanya setelah lama diam. Aku mengangguk menjawabnya.
"Pulang sama aku aja" ajaknya.
"Della gimana?"
"Babas bilang mau ngajak Della pulang bareng. Tapi kalo Della nya mau sih"
"Della mah sama siapa aja mau kok."
"Berarti kamu pulang sama aku?"
"iyaa"
"Siip.." Fian tersenyum antusias.
"Selamat malam semua..." suara Nadine mengisi ruangan luas itu. Serempak semua tamu memperhatikan Nadine yang tengah berdiri di panggung kecil di sudut ruangan. Disampingnya, berdiri seorang wanita yang kira-kira usianya 30 tahun. Wajahnya mirip sekali dengan Nadine. Aku yakin dia ibunya.
Ibu Nadine memamerkan senyum manisnya pada tamu yang hadir diacara ulang tahun putrinya malam ini. Senyumnya hangat seperti seorang ibu pada umumnya. Sama seperti senyum milik ibuku.
Mengingat ibu, ntah kenapa dadaku rasanya sakit sekali. Aku seperti merasakan firasat yang buruk. Ibuku dirumah sendirian. Terakhir aku melihatnya pagi tadi sebelum berangkat sekolah. Dia sedang tidak enak badan.
Tapi siapa yang peduli tentang itu. Aku anak satu-satunya saja tidak peduli. Sejujurnya ada rasa kasihan yang sempat aku rasakan, tapi tak lebih dari antusiasku untuk hadir disini.
Kutepis pikiran burukku yang sempat melintas di otakku. Aku memalingkan wajahku dari ibu Nadine yang masih saja tersenyum itu.
"Ada apa Ay?" Tanya Fian yang tampak menyadari kegelisahanku.
"Aku ingin pulang sekarang."
"Kenapa?"
Aku menunduk tanpa menjawab pertanyaannya. Fian mendekatkan wajahnya untuk memperhatikan wajahku. Mencari jawaban dari mimik yang aku tunjukkan.
Tak kunjung menjawab, Fian akhirnya menarik tanganku dan beranjak dari tempatnya. Dia melangkah lebar-lebar menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah Nadine. Tanganku masih tetap digenggamnya.
▫▫▫
"Ada yang ingin kamu ceritakan?"
Fian mengamatiku saat mobil yang kami naiki berhenti di lampu merah. Aku menggeleng lalu kembali menatap kosong kedepan.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin pulang? Padahal tadi baru pembukaan acara"
"Aku gak tau. Aku merasa seperti sesuatu yang buruk tengah terjadi. Ah, ini sulit dimengerti. Tapi.. ntahlah seperti ada yang memintaku pulang sekarang juga. Aku gak tau.. aku sendiri gak ngerti apa yang terjadi. Ini aneh.."
"Ibu?"
"Hah?"
"Biasanya aku merasakan itu saat ibuku sakit. Apa ibumu sedang sakit?"
Ya. Ibuku sedang sakit. Ibu sering sakit seperti ini tapi aku baru merasakan seperti ini untuk pertamakalinya. Fian berlebihan sepertinya.
Kutatap Fian yang duduk disampingku. Dia mulai menjalankan mobilnya karna lampu hijau sudah menyala.
"Ibuku memang sakit tadi pagi. Tapi aku yakin sekarang dia sudah sembuh kok"
"Seberapa yakin?"
"Seyakin-yakinnya."
Dan suara dering handphone terdengar menginterupsi obrolan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bu, Maaf
NouvellesAku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli s...