Saat ini, aku sudah berada di dalam kastil dimana aku harus mengikuti sebuah agenda pemilihan penerus tahta pemimpin Negeri Mata Angin. Dengan hati-hati aku membuka pintu ruang tidur yang terbuat dari kayu jati itu. Suasana di dalam sangat gelap bak tak ada kehidupan. Hanya ada beberapa kilatan yang nampak silih berganti dari balik tirai jendela. Aku yakin seluruh Putri Negara Bagian pasti sudah terlelap. Lagipula putri mana yang masih terjaga malam-malam begini.
Namun tebakanku salah. Siapa sangka tiba-tiba ruang tidur seluas 500 m2 itu mendadak temaram. Samar-samar aku melihat beberapa cahaya berjalan mendekatiku.
"Sudah puas?" sindir Putri Tenggara sambil maju menantangku. Tangannya memegang kandelir.
Aku melemparkan senyuman sinis ke arahnya."Wow, Hebat sekali! Jadi, Putri-Putri, inilah yang harus kita contoh dari sang Tuan Putri! Sungguh amoral!"
Akhirnya aku naik pitam, "Hei, apa maksudmu!"Putri Tenggara tersenyum angkuh diikuti ketiga Putri lainnya, seakan mereka semua merendahkanku.
Emosiku tersulut. Aku hendak menghancurkan kepangan rambut merah Putri Tenggara yang selalu ia banggakan itu. Jika aku berhasil, maka ini kedua kalinya aku mampu membuatnya malu dan bersujud mohon ampun.Tapi sayangnya, ketiga Putri lainnya serentak maju menahan tubuhku.
Putri Tenggara seperti berada di atas angin. Ia semakin maju ke arahku tanpa rasa takut. "Hei, aku bahkan tidak peduli siapa kau sesungguhnya. Jika di dalam agenda pemilihan ini ada kecurangan aku takkan diam!""Siapa yang curang, hah?!" Tubuhku spontan menerobos maju hingga jarakku dengannya hanya sebatas hidung kami berdua. Sejak awal, aku bisa menebak Putri Tenggara hanyalah anak manja yang bermulut besar. Dia sering membicarakan betapa besar pengaruh ayahnya yang merupakan senator Negara bagian Tenggara dan ia juga suka memperlakukan putri lain bak dayang-dayangnya. Tak ayal, kehadiranku sejak dua hari yang lalu ini membuatnya tertekan dan merasa tersaingi.
Dengan mata berkilat Putri Tenggara berseru kencang, "Tentu saja kau, Tuan Putri! Aku tahu rencana busukmu! Kau berhubungan dengan Pangeran Barat Daya hanya untuk mendapatkan simpati darinya, bukan? Memenangkan kompetisi ini dan kau akan menguasai negeri ini, menggantikan tahta Rajamu yang penuh korupsi dan nepotisme! Aku tahu semuanya!"
"Lancangnya kau!" teriakanku naik dua oktaf hingga tak sadar tanganku sudah siap menampar wajahnya.
Ketiga Putri lainnya pun langsung menahanku. Jelas sekali mereka berada di pihak siapa. Bahkan Putri Timur Laut yang sejatinya adalah sahabat masa kecilku kini menahan tanganku kuat-kuat."Mengapa? Kau ingin mengadu kepada Baginda Rajamu yang lumpuh tak berdaya? Silakan!" ancam Putri Tenggara. Bibirnya melengkung, mencibir diriku yang kini sendiri -tanpa ada yang membela. Aku melotot saat mendengar Putri Tenggara menghina ayahku. Namun, Putri Tenggara sama sekali tak gentar. "Justru sebaiknya kau harus berpikir ratusan kali untuk mengadukan semua ini."
Lalu sambil melinting ujung kepangan rambutnya ia berkata, "Dan Ia akan tahu apa yang kau perbuat dengan Pangeran Barat Daya selama ini!"
Gigiku bergemeretak keras. "Apa kau berusaha mengancamku?"
Putri Tenggara kembali memamerkan senyuman angkuhnya. Aku sadar posisiku terancam. Jika aku terus memberikan perlawanan, aku justu akan kalah. Sial! Dengan berat aku memilih mundur, "Baginda Raja memang benar. Ia mengirimku kemari karena aku tak mungkin membiarkan pecundang seperti kalian menguasai seluruh Negari Mata Angin!"Aku keluar meninggalkan ruang tidur sambil membanting pintu. Hujan badai dengan kilat dan petir terdengar silih berganti, menerangi jalan di lorong yang gelap. Pikiran dan tubuhku sungguh kacau. Aku pun baru sadar tubuhku menggigil kedinginan karena aku masih memakai pakaian yang basah kuyup akibat hujan tadi. Putri Tenggara Sialan! Oh, bagaimana mungkin seorang Putri Negara Bagian macam mereka bisa mengancam diriku seperti ini? Aku tak bisa tinggal diam.
"Tuan Putri Yang Mulia!" suara lembut itu berasal dari arah ruang tidur. Aku menoleh dan lamat-lamat melihat perempuan berkerudung hitam kian mendekat tanpa suara. Dengan bantuan kilatan cahaya dari jendela, aku akhirnya paham bahwa wanita itu ialah Putri Timur Laut.
Lantas ia bersimpuh dihadapanku, "Mohon ampuni perlakuan hamba dan Putri Lainnya, Tuan Putri."
Aku mendesis jijik. Betapa munafiknya mantan sahabat masa kecilku ini.
"Namun terlepas dari ancaman Putri Tenggara, hamba mohon Tuan Putri bersedia mempertimbangkan hubungan dengan Pangeran Barat Daya. Hamba mohon dengan sangat." pinta Putri Timur Laut semakin merendahkan posisi kepalnya.
Dahiku berkerut, tak mengerti arah pembicaraan Putri Timur Laut. Lantas ia mengangkat kepala dan menyibakkan kerudung. Matanya berkaca-kaca seraya berucap lagi, "Sungguh, ia tak baik untukmu Tuan Putri. Dia akan menghancurkanmu sama seperti yang ia lakukan kepada Putri Selatan dan perempuan lainnya."
Aku terdiam beberapa saat, menyadari tatapannya. Tatapan yang sama seperti sepuluh tahun lalu saat kami bermain pasir di pesisir pantai. Sebuah tatapan yang jujur dan tulus.
Namun, mengingat apa yang dia lakukan saat di ruang tidur tadi, aku memilih tak mengindahkan ucapannya. "Lancang sekali kau! pekikku.Putri Timur Laut tersentak dan cepat-cepat bersujud. Maafkan aku Tuan Putri Yang Mulia.
“Kau tahu, Baginda Raja pernah berpesan bahwa aku tak boleh mempercayai siapapun di muka bumi ini. Tak terkecuali kau, dasar pengkhianat!" tandasku seraya pergi meninggalkannya yang berlinang air mata di tengah lorong.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bloody Throne
Historical FictionDi kastil itu, terbenamnya mentari telah menjadi saksi cinta Pangeran dan Tuan Putri. Mereka saling mencintai dan berjanji sehidup semati. Namun, tiba-tiba Pangeran memilih berkhianat, meninggalkan Tuan Putri dengan tahta yang berdarah. Welcome to y...