Asmara Di Puncak Kastil

101 5 0
                                    

Langit senja menggantung rapi bersama barisan awan. Menandakan usai sudah perbincangan aku dan Baginda Raja tentang strategi pertarungan esok. Dalam hati aku berniat untuk segera keluar dan mencari Pangeran Barat Daya. Rasa bahagia ini begitu membuncah hingga ingin kulampiaskan kepada pujaan hatiku itu. Tak heran, saat ini aku sudah berada di anak tangga menuju puncak kastil. Aku tahu pasti Pangeran sudah menungguku di sana.

Aku berlari cepat menaiki ratusan anak tangga yang memutar. Ruang tangga ke puncak kastil ini memang agak gelap dan semakin sempit ke atas, memaksaku harus fokus agar menjejakkan kaki di anak tangga yang benar. Ketika tinggal sedikit lagi mencapai pintu puncak, langkahku justru terhenti. Aku mendengar suara Putri Timur Laut yang khas di balik pintu. Tapi tidak seperti biasanya, saat ini suaranya kelewat tinggi persis sedang memaki.

"Jangan pernah sentuh Tuan Putri lagi atau kau akan merasakan akibatnya!" Pekik Putri Timur Laut kepada seseorang yang kutebak adalah Pangeran Barat Daya.

Tak lama, aku mendengar pintu dibanting keras dan langkah kaki datang ke arahku. Saat kami berpapasan, aku mendapati Putri Timur Laut dengan mata yang sembab. Ia langsung meraih tanganku, "Ini peringatan terakhir untukmu, Tuan Putri. Sungguh, dia bukan lelaki yang pantas untukmu. Dia memiliki rencana jahat kepadamu, sama seperti kepada..."

“HENTIKAN OMONG KOSONGMU! pekikku sambil menyentak tangannya. Wajah Putri Timur Laut seketika pucat saat aku meledak, “Jika kau tidak menjauh dari kehidupanku detik ini juga, jangan menyesal jika aku membunuhmu di pertarungan esok!”

Air mata Putri Timur Laut kembali tumpah membasahi ujung kerudung hitam yang menjulur di dada. "Bahkan aku siap mati untuk melindungimu dari Pangeran Barat Daya, Tuan Putri."

Aku tersenyum kecut, sama sekali tak bersimpati. "Syukurlah kalau begitu. Negeri ini akan lebih baik tanpa pengkhianat sepertimu!"

Aku langsung pergi meninggalkan Putri Timur Laut. Bagiku, dia sangat pantas mendapatkan perlakuan itu. Dia bahkan seharusnya sadar siapa dirinya. Seorang Putri dari Negara Bagian kecil yang mungkin justru memiliki rencana jahat padaku.

Pengkhianat akan selalu menjadi penghianat.

"Akhirnya kau datang juga, Tuan Putri." Pangeran Barat Daya segera menyambutku dengan ciuman singkat setelah aku tiba di puncak kastil. Aku tak membalas, masih sedikit kesal dengan Putri Timur Laut.

"Mengapa dia begitu ingin memisahkan kita?"

Wajah Pangeran Barat Daya berubah kaget, ia baru mengerti apa yang kumaksud setelah beberapa detik selanjutnya. Namun, seperti biasa, raut mukanya bisa dengan cepat menjadi tenang dan bahkan tertawa lepas seakan kekhawatiranku bagai lulucon. "Oh, seharusnya aku tahu kau berpapasan dengannya?"

"Mengapa dia mengancammu dan memperingatiku seperti wanita gila?"

"Entahlah." Bahunya terangkat. "Terkadang, seseorang tak bisa menahan rasa cemburunya.”

"Maksudmu?"

"Ya, terkadang ada kalanya dia tidak suka aku mendekati wanita lain."

Aku mendelik penuh seledik, "Maksudmu Putri Timur Laut dan kau dulunya adalah sepasang kekasih?"

"Aku tidak bilang begitu."

"Lalu?"

Sambil berbalik menghadap tepi balkon, Pangeran Barat Daya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya yang berhimpitan di depan mataku, "Kami pernah sedekat ini. Tapi pada akhirnya aku memilihmu dan dia membenci keputusanku."

"Jadi, selama ini aku justru merebut kekasih sahabatku?" tanyaku bingung.

Sejujurnya aku masih tak percaya jika ini terjadi padaku dan Putri Timur Laut. Oh Sial! Bisa jadi inilah alasannya mengapa ia memperingatiku bak wanita sinting. Dia melakukan itu agar aku menjauhi Pangeran karena ia cemburu.

Sungguh, aku bersyukur karena tak menelan bulat-bulat ucapannya.

"Apapun itu, jangan biarkan siapapun memisahkan kita." Pangeran Barat Daya berbisik sambil memeluk pinggangku dan hendak mencium pipi kananku.

"Arggh!" spontan aku meringis

“Oh, apa yang terjadi, Tuan Putri? Apakah Baginda Raja yang melakukan ini padamu?" Ekspresi Pangeran berubah panik. Namun, aku justru tersenyum jahil, mengerjainya. "Oh, jangan bergurau Tuan Putri. Katakan padaku mengapa kau terluka!”

Tiba-tiba aku ingin sekali mengecup bibirnya untuk menenangkannya, "Kau tak perlu khawatir Pangeran. Aku memang terluka. Namun, rasa sakitnya sudah terbayar dengan keputusan Baginda Raja. Kau tahu, ia akan merestui hubungan kita setelah aku menjadi Baginda Ratu Negeri Mata Angin!"

Pria bermata coklat itu nampak mencerna kata-kataku yang meluncur cepat. Matanya menyipit tak yakin. "Eh, sungguh itu yang dikatakan Baginda Raja?"

Kemudian, aku mengangguk mantap sambil menatap wajah tampannya yang kini disirami cahaya jingga. "Tidakkah itu kabar yang bahagia, Pangeran? Jadi, bersediakah kau mengalah untukku di pertarungan esok?"

Pangeran terdiam sejenak. Matanya menerawang pegunungan di kejauhan, sementara tangannya membelai lembut pipiku yang terluka "Jika ini kehendakmu, apa lagi yang bisa aku katakan?"

Aku tersenyum lebar seraya membelakanginya, menikmati matahari terbenam dari tepi balkon. Kali ini aku merasakan tangannya lebih erat memelukku dari belakang.

Aku harus bersiap demi pertarungan esok !

***

The Bloody ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang