Setelah kejadian di ruang pertemuan kerajaan satu jam yang lalu, aku memilih berdiam diri dan menuruti instruksi kedua dayang itu saja. Saat ini, aku terpaksa membiarkan keduanya membersihkan seluruh tubuhku di dalam bak mandi yang penuh dengan air. Satu diantaranya dengan telaten membasuh wajahku menggunakan handuk basah, sedangkan satu lainnya membersihkan kaki dan tanganku secara bergantian. Meskipun, ingin rasanya aku menepis tangan-tangan mereka dari tubuhku, mendorong mereka keluar, lantas menangis sendirian di ruangan ini.
Betapa bodohnya diriku. Bahkan setelah mengetahui bahwa selama ini Pangeran Barat Daya telah berkhianat, tubuhku justru menolak untuk marah padanya. Bahkan untuk memakinya di depan publik sekalipun.
Tak lama kemudian, dua dayang bertubuh mungil itu menuntunku keluar dari dalam bak. Satu diantaranya sempat mencabut tutup lubang bak mandi agar air bak terkuras habis. Lalu, secara bergantian mereka mengeringkan seluruh bagian tubuhku dengan saksama dan memakaikanku baju tipis berbahan sutra seraya menuntunku melewati pintu menuju ruang tidur.
"Cukup." desakku setelah duduk di atas sofa berlapis emas, di samping tempat tidurku. Mereka bergegas bersimpuh. "Sebelum kalian meriasku untuk jamuan makan malam. Aku ingin kalian memenuhi permintaanku."
Keduanya mengangguk berbarengan.
Perlahan aku bangkit dan berjalan pelan melewati mereka, mendekati meja bulat di tengah ruangan. Di atas meja tersebut nampak kotak emas yang terbuka berisikan mahkotaku. Sedangkan di sisinya ada sekeranjang buah-buahan, pisau dan teko serta gelas goblet berlapiskan emas.Mendadak mataku fokus memperhatikan mahkota milikku. Aku menarik nafas panjang, lalu meletakkan simbol tertinggi Negara Mata Angin itu di puncak kepalaku. Lantas aku pura-pura- tersenyum lebar, "Panggilkan Baginda Raja dan Pangeran Barat Daya untukku sekarang juga."
Keduanya nampak kebingungan.
"Mohon ampuni hamba Baginda Ratu. Namun, Baginda Raja telah berpesan untuk tidak meninggalkan Baginda seorang diri." tukas salah satu dayang yang berambut ikal.
Aku tertawa lepas beberapa detik. Dengan hati-hati aku mengambil pisau dan memotong sedikit daging buah berwarna hijau, kemudian memakannya. Mereka berdua menungguku dengan wajah cemas. Setelah menelan habis, aku berkata dengan nada tinggi, "Kini, akulah Baginda Ratu dari Negeri Mata Angin."
Kedua dayang itu langsung bungkam dan bergegas menuruti perintahku "Akan kami lakukan, Baginda Ratu."
Ujung bibirku tersungging.Setelah mereka keluar, dengan cepat aku mengunci pintu kamar dari dalam. Tak ada lagi senyuman, ekspresiku langsung berubah 180 derajat dari sebelumnya. Aku tak kuasa menahan tangis yang kusimpan sejak tadi. Saat ini aku sungguh membutuhkan waktu sendirian, mengasihani nasibku yang tidak beruntung ini.
Selang beberapa lama, mataku yang bengkak ini menerawang ke arah ruang mandi yang pintunya terbuka lebar. Energi berbeda muncul begitu saja dari dalam tubuhku. Memaksa kakiku untuk berdiri, membuat tanganku bergerak mengambil pisau buah di atas meja bulat, dan berjalan menuju ruang mandi.
Lagi-lagi aku mengunci pintu ruang mandi dari dalam.
Langkahku kian mendekat ke arah bak mandi. Dengan baju sutra yang melekat di tubuh, aku perlahan masuk ke dalam bak mandi yang kosong. Berurutan menutup lubang bak mandi lantas membuka pancuran agar air langsung keluar mengguyur tubuhku yang berada di dalam bak mandi. Kini, aku tak dapat memendam perasaan ini lagi. Dengan kaki yang menekuk, aku menumpahkan kesedihanku.
Betapa bodohnya diriku saat itu! Memilih cinta diatas kesadaran. Memilih cinta palsu Pangeran Barat Daya diatas ketulusan hati Putri Timur Laut. Sungguh aku telah menyesal. Bahkan aku telah membunuh sahabatku itu di pertarungan terakhir dengan menusuk kerongkongannya menggunakan pedangku. Bedebah!
"Arrrggghh arghhhhh !!!!!!" aku berteriak kencang sambil terus memukul tengkorak kepalaku yang masih dihiasi mahkota emas.
Bodoh. Aku sungguh telah membuat kesalahan fatal dengan melepaskanku sahabatku yang mencintaiku. Lalu, mengapa Pangeran Barat Daya sampai hati bisa menghianatiku? Memanipulasi pikiran dan perasaanku. Padahal aku sungguh mencintainya. Jujur, dialah cinta pertamaku. Dialah yang selama ini aku impikan menjadi pelabuhan terakhir hariku sehingga kami bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Membesarkan anak yang cantik dan tampan, lalu tua bersama hingga maut memisahkan.
Namun, mengapa kini dia justru berpura-pura seperti tidak mengenalku. Tidak pernah mencintaiku. Menganggap perasaanku sama layaknya pertaruhan politik. Bahkan, ia rela menjual cintanya untuk sebuah kekuasaan. Apa tujuannya? Mengapa ia tega menghancurkan kehidupanku? Mengapa???
Dengan mata bengkak, aku menengok ke jendela berukuran besar di sepanjang sisi kanan. Pantulan warna jingga dari mentari terbenam seakan terang menembus kaca jendela. Tiba-tiba membuat ingatanku melayang pada kenangan terindah dalam hidupku. Saat Pangeran Barat Daya memeluk tubuhku dari belakang di atas puncak kastil dulu. Saat tangannya memeluk pinggangku dari belakang dan bibirnya tak berhenti menciumku. Saat ia mengatakan bersedia menungguku menjadi Ratu Negeri Mata Angin. Maka, saat itulah semburat cahaya jingga menjadi saksi cinta kami berdua.
Akan tetapi, kini, terbenamnya matahari di garis barat seperti takan ada artinya lagi.
Lantas, masih pantaskah aku yang hina ini hidup di muka bumi ini?
Tak terasa air terus mengalir melewati pinggir bak mandi. Pikiranku langsung terbesit pada pisau yang kugenggam sejak tadi. Lamat-lamat kuperhatikan pisau itu lalu kusentuh ujungnya yang tajam.
Tak ada lagi harapan, tak ada lagi kehidupan.
Tanpa pikir panjang, aku mengiris garis nadi pergelangan tangan kiriku, lalu menyayat kuli dari titik itu ket sepanjang pangkal tangan atas hingga sobek. Aku berteriak kesakitan bersamaan dengan darah yang mengucur deras. Aku mulai kesulitan bernafas.
Tidak. Aku tidak boleh mati detik ini juga. Aku masih harus membalas segala perbuatan Pangeran Barat Daya kepadaku.
Sekuat tenaga aku berusaha mengumpulkan kekuatanku untuk mengarahkan jari telunjuk yang penuh darah segar ini menari di atas jendela besar, menorehkan sebuah pesan yang terpampang nyata.
Sepuluh detik kemudian, aku kembali duduk di atas bak mandi. Masih sambil sesenggukan, aku bersiap kembali melakukan hal yang sama pada pergelangan tangan kananku.
Meskipun kali ini aku lebih siap, tapi aku tetap tidak bisa menahan rasa sakitnya yang luar biasa. Rahangku menegang melihat darah merah mengalir terus menerus dari sayatan di kedua tanganku.Satu, dua, tiga dan pada hitungan berikutnya pisau itu terlepas dari jemariku, jatuh di lantai dan dibanjiri oleh air darah yang tumpah.
Aku berusaha bernafas senormal mungkin, meskipun amat sulit. Kuangkat kepalaku perlahan, menatap darah segar yang menempel di jendela yang disinari cahaya jingga. Entah mengapa aku ingin tersenyum saat itu juga. Kini, aku tak perlu bersedih lagi. Kepedihan ini akan segera berakhir. Tak akan lagi ada air mata.
Lalu, tubuhku semakin turun, berbaring sempurna di atas bak mandi. Lambat laun kepalaku tenggelam, hanya mahkota emas yang nampak di atas permukaan air. Aku benar-benar telah berpamitan kepada dunia.
Selamat tinggal. Biarkan aku pergi, meninggalkan cinta yang tak pernah benar-benar ada untukku.
Jika nanti Baginda Raja dan Pangeran Barat Daya berhasil masuk ke dalam ruanganku, aku ingin mereka berdua kaget luar biasa. Aku ingin Baginda Raja bercucuran air mata sambil menyeret kakinya yang tak berdaya untuk menggapai tubuhku. Lalu ia mengutus dua pengawal untuk menangkap Pangeran Barat Daya yang tengah berdiri dibelakangnya. Selanjutnya, aku ingin Pangeran Barat Daya memberontak, melawan kedua pengawal itu supaya yakin bahwa jasad penuh air darah yang diangkat dari dalam bak mandi itu adalah mantan wanita yang tulus mencintainya. Sungguh kematian yang tragis. Terakhir, aku juga ingin Pangeran menyempatkan diri untuk membaca pesanku di atas jendela besar itu seraya mengingat ketamakannya telah memakan korban.
You've ruined my life! But WHY?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bloody Throne
Historical FictionDi kastil itu, terbenamnya mentari telah menjadi saksi cinta Pangeran dan Tuan Putri. Mereka saling mencintai dan berjanji sehidup semati. Namun, tiba-tiba Pangeran memilih berkhianat, meninggalkan Tuan Putri dengan tahta yang berdarah. Welcome to y...