Pengkhianatan

100 6 0
                                    

Satu bulan setelahnya

"Pasti kau yang mengatur semua ini." semburku dengan rahang yang menegang. Kali ini aku tak bisa lagi menyembunyikan kemarahanku pada Baginda Raja.

"Lancangnya kau!" kata baginda Raja tak berdaya. Sejak dua hari lalu, daya tahan tubuhnya semakin menurun. Ia bahkan sering terbatuk-batuk di atas kursi emasnya yang hanya berjarak satu meter dari singgahsana baruku. "Seharusnya kau lebih jeli melihat dimana ia berdiri sekarang. Apakah kau masih pantas menyalahkanku?"

Setetes air mata terjatuh dari sudut mataku, menyaksikan sosok Pangeran Barat Daya yang kucinta kini tengah berada ruang pertemuan kerajaan.

Beberapa saat yang lalu, ia bersama ratusan tamu undangan dan rakyat di luar, baru saja menyaksikan upacara penobatan diriku sebagai Baginda Ratu Negeri Mata Angin. Seharusnya aku bahagia. Dengan mahkota emas bertahtakan berlian yang telah disematkan di atas kepalaku, semuanya nampak sempurna. Apalagi tatkala melihat cinta pertamaku itu datang setelah pertemuan terakhir kami di pertarungan itu.

Namun, betapa terkejutnya aku saat melihatnya justru datang bersama rombongan lawan politik Baginda Raja.

"Jika dia benar mencintaimu, seharusnya dia takkan menerima tawaran apapun, bukan?" Baginda Raja berdehem, membersihkan kerongkongannya. "Aku sudah memperingatimu sejak awal, wahai anakku."

Aku terdiam beberapa saat.

"Kalau begitu. Sekarang juga, biarkan hamba sendiri yang membuktikan cintanya." tandasku tanpa kompromi.

"Jangan gegabah!" Baginda Raja menggeram dengan sisa suaranya. Ia berniat mencengkram tanganku namun aku sudah lebih dulu berjalan ke tepi panggung. Semua mata langsung tertuju kepada Ratu baru mereka. Tak terkecuali Pangeran Barat Daya.

"Wahai rakyatku, terima kasih atas kedatangan kalian semua." sambutku seraya melemparkan senyuman palsu, berpura-pura tenang, meskipun sebenarnya hatiku begitu kacau. Lalu, mereka semua pun balas membungkuk selagi aku berkata, "Ah, jujur saja aku ingin menyapa kalian satu persatu."

Seluruh tamu tertawa menanggapi basa-basiku.

Senyumanku perlahan pudar, "Namun, izinkan aku untuk pertama kalinya menyapa satu-satunya orang terdekat di agenda pemilihan penerus tahta beberapa waktu lalu. Ya, kau, Pangeran Barat Daya. Selamat datang, Pangeran."

Seluruh tamu balik memandangi pangeran Barat Daya yang -selalu- nampak tampan di mataku. Dengan pergerakan yang tenang, ia meletakkan gelas anggur miliknya di meja sebelah Kemudian, ia membungkuk, memberi penghormatan padaku. Jantungku seakan ingin loncat ketika ia tiba-tiba melemparkan senyuman ke arahku. Sungguh senyuman menawan yang masih sama seperti saat di puncak kastil dulu. "Terima kasih Baginda Ratu, senang akhirnya kita dapat kembali bertemu."

Oh, pertemuan kami tak seharusnya seperti ini. Aku tidak ingin dia berdiri terlalu jauh dariku, apalagi bersama lawan politik ayahkh. Aku juga tak ingin dia berkata formal padaku.

Sungguh, sejak awal aku mendambakan pertemuan akan menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Pangeran Barat Daya berdiri di sisiku, mengenakan setelan baju pengantin berwarna putih gading. Lalu, ia akan mengucapkan ikrar pernikahan di depan pendeta dan ratusan juta rakyat Negeri Mata Angin. Kemudian, ia akan merengkuh wajahku, mencium bibirku, dan memelukku erat-erat seperti saat itu. Aku sungguh merindukan sentuhannya, cintanya, serta janji manisnya yang selalu berbisik lembut di sela-sela ciumannya.

Tapi sosoknya yang kini berdiri diantara kelompok oposisi membuatku kembali berpijak di kehidupan nyata. Aku menarik nafas panjang lantas membalas senyumannya. "Lalu ba.. bagaimana kabarmu, Pangeran?"

Suasana ruang pertemuan berukuran 1000 m2 ini mendadak sepi.

"Hmm, luka di jantungku telah membaik jika itu yang kau maksud, Baginda Ratu." jawabannya begitu sopan dan tenang, persis ketika ia menjawab rentetan pertanyaanku tentang Putri Selatan dan Putri Timur Laut di puncak kastil dulu. Sungguh tak pernah sebaik ini.

Luka itu. Aku memahami isyarat itu. Ia mencoba mengingatkanku betapa sadis tusukan pedangku di dadanya pada pertarungan terakhir itu. Ya, di hari itu aku menyimpulkan mentah-mentah ucapan Baginda Raja. Berharap Baginda Raja akan benar-benar mempersatukan aku dan Pangeran Barat Daya usai kemenanganku. Namun, siapa sangka sejak aku berhasil membunuh Putri Timur Laut dan hampir juga membunuh Pangeran Barat Daya, Baginda Raja tidak bergeming sedikitpun menanggapi hubunganku dengannya. Baginda justru sibuk menginstruksikanku untuk mengikuti skenario politik selanjutnya.

Ya, aku membunuh Putri Timur Laut.

"Lalu, adakah yang ingin kau sampaikan kepadaku, wahai Pangeran Barat Daya?" aku bertanya ragu-ragu.

Pangeran Barat Daya menatapku cukup lama. Ia menangkap satu bulir air mata yang buru-buru aku hapus. "Tentu ada, Baginda Ratu." balasnya dengan suara rendah.

Seketika kedua mataku melebar. Seperti melihat harapan yang bersinar terang dari rona wajah pria yang aku cintai. Apakah perkiraanku tadi salah. Apakah Pangeran Barat Daya masih mencintaiku lalu mengatakan kembali janji sucinya di sini, seperti di puncak kastil waktu itu, saat dia memelukku sambil menyaksikan terbenamnya mentari?

"Sesungguhnya aku ingin memperkenalkan wanita yang aku cintai kepada seluruh orang di ruangan ini, Baginda." ungkap Pangeran Barat Daya dengan penuh keyakinan.

Akhirnya waktu ini datang juga.

Aku mengepal tanganku kuat-kuat. Tak sabar menunggu Pangeran Barat Daya menyebut namaku. Begitu pula dengan para tamu undangan. Raut wajah mereka menunjukkan rasa penasaran yang teramat tinggi.

"Ialah istriku, Putri Tenggara."

Seorang wanita dengan kepangan rambut merah yang kukenal pelan-pelan berdiri di samping Pangeran Barat Daya. Pangeran langsung menggamit lengan dan mencium bibir wanita itu dengan lembut.

Lututku lemas seketika.

Bagaikan diisi dengungan lebah, seisi ruang pertemuan ini langsung penuh dengan suara-suara yang membicarakan mereka. Seluruh tamu undangan sama tak percayanya denganku. Mereka pasti berpikir bahwa pernikahan itu hanya omong kosong. Bagaimana tidak, pernikahan anak senator Negara Bagian seperti mereka semestinya diumumkan dan dirayakan secara besar-besaran, bukan dadakan seperti barusan. Bagi kebanyakan orang pasti tidak etis.

Mendadak pria tua berkepala plontos, yang dikenal sebagai Senator Negara Bagian Tenggara maju dan mengambil alih.

"Baginda Ratu dan Baginda Raja yang Mulia, Hamba mohon ampun atas kegaduhan ini." katanya sambil mendelik ke arah Pangeran Barat Daya dan Putri Tenggara yang bergegas ikut menunduk, memohon ampunanku. "Seharusnya ini tidak kami ungkapkan sekarang. Justru hamba, sebenarnya ingin menyampaikan kabar gembira ini nanti saat jamuan makan malam tiba. Namun, karena ini sudah terlanjur, izinkan hamba menyampaikan bahwa Negara Bagian Barat Daya telah bergabung dengan pihak oposisi. Maka, hamba mohon sambutlah kedua anak kami dengan tangan terbuka dan kebahagiaan."

Aku mendengar gemuruh tepuk tangan berasal dari rombongan pihak oposisi Kerajaan. Sementara tamu lainnya memilih diam dan mengumpat.

Tubuhku membeku seketika. Seakan aliran darahku berhenti berdesir. Kakiku juga mendadak lemas sementara dadaku sesak bagai dihujam tombak bertubi-tubi. Tidak! Ini tidak nyata! Mereka pasti telah merencanakan ini semua! Mana mungkin Pangeran dan Putri Tenggara? Tidak. Mereka tidak pernah saling mencintai! Mereka pasti dipaksa melakukan ini demi kepentingan politik!

"Apa kau mencintainya, Pangeran?" begitu saja aku melontarkan pertanyaan itu. Mendadak seluruh tamu menoleh ke arahku dan tertegun ketika menangkap diriku yang sudah berlinang air mata.

"Bagaimana mungkin hamba tak mencintainya, Baginda Ratu?" Pangeran Barat Daya langsung menjawab tanpa keraguan. "Bahkan hamba telah jatuh cinta pada Putri Tenggara sejak pandangan pertama."

"HENTIKAN SEMUA INI!" Batinku menjerit.

Kini, aku melihatnya. Putri Tenggara sudah tidak ragu lagi untuk memamerkan senyuman angkuh miliknya. Senyumannya mengingatkanku pada saat dia mengancamku. Senyuman yang sama setelah ia melaporkan hubunganku dengan Pangeran Barat Daya di kelas terakhir itu. Senyuman yang diam-diam membunuhku. Senyuman yang amat busuk!

Sungguh aku tak sanggup lagi.

Sebelum aku benar-benar jatuh pingsan, seorang pengawal bertubuh tambun sudah lebih dulu menangkap tubuhku. Dengan kondisi teramat lemah, aku membiarkannya menuntun tubuhku menuju pintu belakang. Meninggalkan seluruh tamu yang hadir dengan tanda tanya besar.

***

The Bloody ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang