Matahari mulai menampakkan dirinya, sinarnya yang terang memberi kehangatan untuk makhluk hidup dibumi. Seorang gadis tengah duduk di bawah rindangnya pohon dihalaman rumah, menikmati udara pagi yang sejuk dan menenangkan.
Sudah tiga hari ia berada di Bandung, namun sikapnya masih sama, perasaannya masih sama, masih memikirkan sosok itu. Sosok itu kini telah menjadi momok yang mengerikan untuknya, yang membuatnya harus segera menyingkirkan kehadiran sosok itu dalam pikirannya.
Selama itu pula, Anya belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hingga ia memutuskan untuk pergi ke Bandung kepada Bima. Berulang kali Bima menanyakan hal itu, namun jawaban yang Anya berikan tetap sama. Dia kesini hanya ingin bertemu Bima. Jelas saja Bima tidak percaya, terlalu aneh menurutnya. Namun, Bima memberi waktu untuk Anya. Mungkin adiknya itu memang butuh ketenangan.
"Jalan yuk, Nya." Bima yang baru keluar dengan kaos putih polos dan celana jeans selutut menghampiri Anya. "Abang gak kuliah?" Tanyanya menatap Bima.
Bima memandang Anya bingung, rupanya adiknya ini mempunyai masalah yang cukup serius, "ini minggu, Nya. Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah ya cerita, abang bakalan jadi pendengar kamu," pinta Bima.
Anya mendongak, "Anya belum siap, bang." Bima mendesah, "dari kemarin belum siap mulu, terus kapan siapnya? Nunggu makin banyak pikiran?" Nada suara Bima naik satu oktaf, Anya tertegun hingga memilih untuk menunduk. Ia tidak berani menatap abangnya itu, ia tahu sangat tahu jika Bima sudah seperti ini itu artinya Bima sudah mencapai batas kesabarannya.
"Abang gak mau ngomong sama kamu, sebelum kamu cerita sama abang." Setelah mengatakan itu Bima beranjak dari tempatnya, dan berlari kecil keluar dari perumahan. Anya menghela napas berat. Ia pun beranjak masuk kedalam rumah, memilih menghabiskan waktunya dikamar sambil terus berpikir.
Drrttt....drrtt...drrrt..
Suara getaran ponselnya terdengar, Anya melirik ponselnya. Dia memilih untuk mengabaikannya. Tapi, suara getaran itu terus terdengar hingga ia memutuskan membuka ponselnya.
Sebuah notifikasi pesan berbasis internet, Anya membulatkan matanya ketika melihat nama dari pengirim pesan itu.
Zein.
Dia mengiriminya pesan, pikirannya bingung sekarang, bagaimana ini? Haruskah ia membaca pesannya? Ataukah lebih baik mengabaikannya?
Anya jadi gelisah sendiri, ternyata perasaan peduli itu masih ada. Hingga ia memutuskan untuk membaca pesan itu.
ZeinBerwyn : Lo dimana?
ZeinBerwyn : Kenapa gak sekolah? Sakit?
ZeinBerwyn : Gue mau kerumah lo, tapi Rita bilang lo lagi pergi. Pergi kemana?
Anya tidak kuat menahan tangisnya, ia menangis ketika Zein menyadari kehilangannya. Zein mencarinya. Dia mencari Anya. Entah dia harus senang ataupun sedih, yang jelas perasaannya tak menentu saat ini.
Tidak ada niatan dari dirinya untuk membalas pesan itu, hatinya masih kecewa pada Zein, masih. Anya menekan tombol Blokir pada profil Zein, dan secara otomatis profil cowok itu terblokir.
Dia benci keadaan ini. Saat dimana Zein begitu peduli dengannya, betulkan jika dia peduli? Kalau dia memang tidak peduli, mengapa dia rela mengiriminya pesan dan menanyakan dimana ia sekarang dan bagaimana kabarnya.
Karma itu ada Boys.
Anya mencoba menenangkan pikirannya sejenak. Mampukah ia berusaha untuk melupakan sosok Zein yang telah mengisi hari-harinya bahkan hatinya? Entahlah. Biarlah hati Anya yang menentukan.
😙😙😠
"Rit, Anya kapan pulang, ya?" Cowok manis itu bertanya dengan mimik wajah yang sendu, "gue kangen banget," lanjutnya dengan suara parau.
Rita menoleh, dalam hati ia tersenyum kecut. Mendengar perkataan yang baru saja dilontarkan cowok manis di sebelahnya membuat hatinya terasa seperti di tisuk ribuan belati. Ternyata, perasaan itu masih ada. Perasaan yang sama seperti dahulu hingga detik ini.
"Kangen banget, ya?" Kali ini Rita bertanya dengan nada lirih, seakan tersadar cowok manis itu menrgakkan tubuhnya dan menoleh kearah Rita yang sedang tersenyum. Ia tahu senyum itu adalah senyum penuh luka, ia jadi merasa tidak enak.
"Bukan itu maksud gu-"
"Udahlah, Re. Gue tau kok. It's okay," Rita segera memotong ucapan Rean.
Kali ini, sepulang sekolah, Rita dan Rean mengunjungi tempat dimana dulu sering mereka kunjungi. Ya, mereka. Rean, Rita dan Anya.
Setelah Rita mengucapkan itu, mereka sama-sama terdiam. Rean yang merasakan keadaan seperti ini merutuki kebodohan dirinya. "Rit, maaf ya," Rean memulai percakapan.
"Maaf buat apa?"
"Semuanya," Rita tersenyum mendengar jawaban Rean, "oke. Re, gue mau setelah ini lo dan gue bisa bersikap kaya dulu lagi, sebelum gue punya perasa-"
"Oke, setuju." Belum sempat Rita melanjutkan ucapannya, Rean dengan cepat memotongnya. "Setuju," Rita menjawab dengan senyum tipis.
Rean dengan refleks menepuk-nepuk puncak kepala Rita yang membuat Rita tertegun, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, Rean menatap Rita sambil tersenyum. Rupanya senyuman yang diberi Rean menular juga pada Rita sehingga membuatnya juga ikutan tersenyum.
"Pulang yuk!" Rita mengangguk, kemudian mereka berdua berdiri meninggalkan tempat. Mereka berjalan beriringan, Rean merangkul pundak Rita sepanjang mereka berjalan. Hal itu menyebabkan Rita menahan napas karenanya.
☓☓☓
Cowok itu menahan napas ketika melihat kontaknya di blokir oleh seorang gadis yang akhir-akhir ini menyusahkannya. Tunggu menyusahkannya? Sepertinya bukan. Oke, ralat. Yang sebenarnya akhir-akhir ini memenuhi pikirannya dan juga mengganggu konsentrasinya.
Cowok itu sempat berpikir bahwa mungkin ini karma. Sekarang semuanya berbalik. Jika biasanya gadis itu yang selalu menempel padanya dan mengganggunya, kini semuanya terbalik. Sekarang, dia yang ingin bertemu dengannya.
Mungkinkah ini yang dinamakan rindu? Entahlah, semuanya terasa begitu semu. Ternyata benar, mengunyah rindu sendirian itu sangatlah tidak mengenakkan. Apakah ini yang gadis itu rasakan sebelumnya? Jika Iya, berarti ini memanglah karma yang sedang menimpanya.
Drrrrt....drrrttt
Zein melirik ponselnya, nomor tak diketahui. Zein memilih untuk membiarkannya. Untuk kedua kalinya ponselnya kembali berdering, masih dengan nomor yang sama, Zein menghela napas dan memilih untuk mengangkatnya.
"Halo," sapanya diseberang sana.
Zein menngangkat sebelah alisnya ketika mendengar suara itu, seperti tidak asing ditelinganya.
"Zein, ini kamu, 'kan? Ini aku, Zein. Sasha."
Zein membulatkan matanya, apa katanya tadi, Sasha? Tanpa sadar sudut bibir Zein terangkat membentuk sebuah senyuman kecil.
"Oh, kenapa, Sha?"
"Aku mau ketemu kamu, Zein. Bisa gak?"
"Dengan senang hati." Jawab Zein cepat.
"Oke. Hari ini ya, jam 2 siang di caffe dekat gedung olah raga,"
"Siap, meluncur bos!" Zein menjawab dengan kekehan. Setelah itu sambungan telepon terputus.
Zein segera bangkit dan bersiap-siap. Ia tidak boleh telat. Senyuman dibibirnya terus saja terlihat, seakan mampu melupakan perasaan aneh yang beberapa saat lalu sempat membuatnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZeiAnya
Teen Fiction[REVISI SETELAH TAMAT] Semua berawal dari rasa penasarannya kepada kakak kelas XII IPA 4 di sekolah. Anya Bellicia. Gadis kelas XI IPA 2, yang mempunyai watak keras kepala dan fanatik itu berusaha mendekati dan mencuri perhatian kakak kelas itu. Zei...