CHAPTER 4 - ALASAN JINYOUNG

531 99 39
                                    


Minhyun menutup pintu apartemen kecilnya pelan, melepaskan sepatu lalu menatanya rapi di rak. Samar-samar ia dapat mendengar suara air mengalir dan piring yang bertabrakan, menandakan sang adik mungkin sedang mencuci piring di belakang. Pemuda itu tersenyum simpul kemudian menyusul sang adik ke belakang.

"Jinyoung-ah," pemuda itu menepun pundak Jinyoung pelan. Yang dipanggil menghentikan kegiatannya membasuh piring lalu tersenyum melihat siapa yang ada dibelakangnya. Dengan cepat wajahnya maju kemudian mengecup pipi Minhyun sambil terkekeh.

"Selamat datang"

Minhyun balas tersenyum manis. "Kau sudah makan?" tanya pemuda itu sambil menggerakan tangannya. Jinyoung mengangguk sambil menunjuk meja makan. Minhyun bisa melihat semangkuk nasi dan dua macam sayuran tersedia disana.

"Temani aku makan," tangannya bergerak lagi. Jinyoung mengangguk, memberi isyarat 'setelah aku menyelesaikan ini' dengan tangannya. Minhyun mengangguk, meletakan tas punggungnya ke meja lalu duduk sembari menunggu sang adik selesai dengan cuciannya.

Selesai mengelap piring terakhir, Jinyoung menarik kursi kemudian duduk di depan kakaknya. Melihatnya, Minhyun lalu bergerak mengambil nasi dan mulai menyantap makanannya.

"Aku mendapatkan pekerjaan sambilan lagi" pemuda itu menggerakan tangannya. Jinyoung mengangkat alisnya kaget dengan pernyataan Minhyun barusan.

"Hyung kan sudah punya 2. Untuk apa lagi? Hyung bisa kecapaian karena bekerja. Lagi pula kita tidak sedang kekurangan uang sekarang." Jinyoung membalas gerakan tangan kakaknya. Raut wajahnya menunjukan ketidaksukaan atas pernyataan sang kakak barusan.

Minhyun menghentikan makannya lalu tersenyum lemah. "Hyung memang tidak butuh uang sekarang. Tapi Kau perlu." ucap pemuda itu, memastikan Jinyoung bisa membaca gerak bibirnya. "Jinyoung-ah, Hyung sudah bilang. Kalau ada sesuatu yang harus kau beli, katakan saja pada hyung.."

"Tidak ada yang aku inginkan hyung."

Minhyun menghela napas pelan. Tangan pemuda cantik itu bergerak menuju tasnya, membuka resleting lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas yang Jinyoung kenal betul apa. Sebab ia memang memiliki kertas-kertas serupa, namun sudah digutingnya kecil2 dan dibuang ke tempat sampah. Tujuannya tentu saja agar sang kakak tidak melihatnya. Tapi kini, lembar kertas yang adalah form pengisian ijin studi tour sekolahnya dengan santainya Minhyun keluarkan dari tas.

"Lalu studi tour ini? Bukankah wajib?"

"Aku tidak perlu ikut. Toh sanksinya hanya pengurangan nilai. Aku bisa mengejar tambahan poin lewat pelajaran lain." Pemuda 16 tahun di depannya menunduk. Sedikit merasa bersalah karena telah membohongi kakaknya.

Jika boleh jujur, sebenarnya study tour yang diadakan sekolahnya bersifat wajib sebagai syarat ujian semester. Jika ada siswa yang tidak ikut, maka siswa tersebut dinyatakan tidak ikut ujian semester dan gagal dalam mata pelajaran tersebut. Tentu Jinyoung tidak berani mengambil resiko gagal dalam ujian. Secara selama ini Jinyoung menerima beasiswa pengurangan uang sekolah sebesar 50% karena prestasi akademiknya yang cemerlang. Untuk itu, keberlangsungan hidupnya di SMA 101 sekarang ditentukan oleh performa akademiknya. Jika sampai nilainya jatuh dan beasiswanya dicabut, tentu ia akan semakin merepotkan Minhyun untuk menambah biaya sekolahnya.

Oleh karena itulah Jinyoung nekat kerja part time tanpa sepengetahuan kakaknya. Minhyun memang tidak mengijinkan Jinyoung untuk ikut bekerja karena takut menganggu sekolahnya dan memilih untuk berusaha keras sendirian menangggung biaya hidupnya dan adiknya. Melihat kakaknya selalu pulang larut dan kelelahan karena bekerja, kemudian besok harus bagun pagi-pagi untuk ke kampus membuat Jinyoung semakin tidak tega jika harus meminta kakaknya membiayai studi tour ke luar kota yang ia yakin harganya tidak murah. Belum lagi ia akan segera menghadapi ujian kenaikan kelas. Jinyoung yakin di semester baru nanti kebutuhan sekolahnya akan semakin bertambah dan pemuda itu lagi-lagi tidak ingin merepotkan sang kakak.

TUTOR (MINHYUNBIN)Where stories live. Discover now