RaShinta bagian 01

23 1 7
                                    


Gending-gending jawa terdengar diseluruh penjuru pendopo tersebut. Riuh suara anak-anak kecil turut mengisi suara di pendopo tersebut. Senyum, tawa dan kebahagiaan terpancar jelas diwajah ayu seorang gadis yang baru saja menginjak dewasa tepat satu minggu lalu itu. Gerakan gemulainya mampu menyihir setiap orang. Rambut hitam legamnya yang bergerak mengikuti gerakannya terlihat seperti tirai yang membingkai wajah ayunya. Wajah ayu khas gadis jawa.

"shinta". Panggil seorang wanita paruhbaya bertubuh gempal menghentikan gerak tari perempuan tadi. Shinta. Nama gadis itu, lebih lengkapnya adalah Dewi Shinta Hayu Kinanthi. "dalem budhe". Suaranya yang halus menanggapi panggilan wanita tadi. "ayo nduk, mulih, ditimbali simbahmu kuwi lho, ayo mulih mangan dhisik". "nggih budhe".

Selesai berpamitan kepada semua orang yang ada di pendopo, Shinta pun pulang kerumahnya. Rumah neneknya lebih tepatnya. Sepanjang jalan setiap orang yang dikenalinya pasti disapanya. Wajah ayu dan kepribadian yang ramah membuat Shinta banyak disukai oleh banyak orang. Tak terkecuali oleh para anak laki-laki seusianya yang selalu bersorak riuh saat menyapa Shinta.

Sampai dirumah, Shinta meletakkan selendangnya dimeja belajarnya, lalu mulai mencari eyang putrinya. Tak menemui sang nenek dimeja makan, Shinta pun berjalan kearah taman belakang rumahnya. Disana, neneknya sedang duduk di kursi goyang sambil menyulam.

"Mbah putri" panggil shinta sambil berjalan menghampiri dan menyalimi neneknya tersebut. "nduk, sini lho, kamu sudah makan apa belum ?" Tanya sang nenek. "belum mbah, aku tadi nyari mbah putri". "ya wis ayo masuk, kita makan dulu, kamu pasti lapar to seharian latihan nari di pendopo ?". "iya mbah, aku kan pengen jadi penari hebat kayak mbah putri" jawab Shinta sambil cekikikan.

Merekapun makan berdua dengan diiringi canda tawa. Memang, hanya ada mereka berdua karena kedua orangtua Shinta sudah meninggal, sedangkan sang kakek sudah wafat sekitar 1 tahun yang lalu. Sebanarnya, nenek Shinta mempunyai 2 anak, ayak Shinta sendiri merupakan anak kedua dari sang nenek dan anak pertama neneknya yang merupakan pak dhe-nya ada dijakarta bersama keluarganya. Sudah lama pak-dhe Shinta meminta sang ibu beserta Shinta untuk pindah ke Jakarta, namun ditolak oleh sang nenek. Alasannya, karena sang nenek sangat menyayangi rumah ini dan merupakan tempat untuk mengenang suaminya. Shinta sendiri hanya mengikuti kehendak sang nenek, mau bagaimana lagi karena ia sangat menyayangi sang nenek dan tak tega untuk meninggalkan sang nenek dan tinggal bersama keluarga pakdhe-nya.

***

Takdir berkata lain, nyatanya kebahagiaan Shinta bersama neneknya sudah berakhir. Di bulan februari tepat setelah 1 bulan Shinta merayakan ulang tahunnya yang ke 17 sang nenek tertidur untuk selamanya. Saat itu, Shinta sedang berada dipendopo saat budhe Narti datang dengan nafas tersengal dan wajah yang sudah bersimbah airmata mengabarkan bahwa sang nenek dalam keadaan tidak baik.

Semua doa ia panjatkan kepada sang Ilahi sepanjang perjalanannya kerumah. Sampai dirumah, Shinta melihat ada banyak orang. Melihat sang nenek, Shinta menangis dalam diam tak bisa berbuat apa-apa saat sang nenek tersenyum untuk terakhir kalinya. Senyum lemah neneknya itu masih teringat jelas dibenak Shinta. Orang yang ia sayang kini tengah berada dalam keadaan yang tak baik, rasa takut kehilangan itu muncul dalam diri Shinta, ia takut orang yang telah merawat ia sejak kecil itu akan pergi meninggalkannya.

Tepukan ringan di bahunya menyadarkan Shinta dari lamunannya. Tek urung ia membalikkan badannya dan menemukan budhe-nya, istri dari pakdhe-nya tersenyum lemah kepada Shinta. Shinta pun langsung memeluk budhe-nya tersebut. Tak kuasa menahan tangis, Shinta pun menumpahkan semua air matanya sambil memprerat pelukannya tersebut.

Kini ia sudah tak punya siapa-siapa lagi kecuali keluarga pakdhe-nya ini.

***

RaShintaWhere stories live. Discover now