RaShinta bagian 02

24 1 2
                                    

Angin berhembus pelan menggoyangkan dedaunan. Daun yang sudah kering dan rapuh itu tak mampu menahan angin yang ingin menjatuhkannya.

Duka masih menyelimuti hatiku. Angin tak mampu menerbangkan rasa sedihku dan hujan juga tak mampu untuk menghilangkan jejak kepedihan di hatiku. Masih aku ingat jelas suara mbah putri saat beliau sedang mengajarkan aku menari atau mengajariku memasak gudeg di dapur. 

Semua kenangan itu tidak mudah untuk aku ikhlaskan.

Tadi pakdhe bilang bahwa beliau ingin aku ikut ke Jakarta karena memang mbah putri sudak tidak ada sehingga pakdhe-lah yang sekarang menjadi wali-ku. Aku bilang masih ingin memikirkannya, karena memang aku ingin mengurus rumah peninggalan mbah putri dan aku tahu bahwa beliau sangat menyayangi rumah ini.

Saat ini aku sedang memberesi kamar mbah putri. Barang barang milik beliau rencananya akan aku masukkan saja kedalam almari. Di almari sendiri masih cukup ruang untuk aku menaruh barang-barang tadi karena mbah putri memang menaruh baju-bajunya di almari yang satunya.

Saat aku sedang menaruh barang-barang tersebut. Aku tidak sengaja menjatuhkan barang. Tidak. Lebih tepatnya sebuah kotak berukuran sedang. Aku tahu ini bukan kotak perhiasanatau penyimpanan barang berharga milik mbah putri karena beliau menaruh semua barang-barang tersebut di almari yang satunya.

Karena penasaran, akupun memebuka kotak tersebut. Didalam kotak ini, ada sebuah selendang. Aku tahu selendang ini karena mbah putri pernah memperlihatkannya kepadaku. lalu ada berbundel-bundel surat. Surat ini surat tanpa nama tapi seperti ditulis oleh mbah putri.

Namun ada satu surat yang menarik perhatianku yaitu surat yang memiliki alamat di amplopnya. Dan ada satu lagi yaitu sebuah foto hitam putih yang memperlihatkan seorang gadis cantik, mungkin seusiaku dan seorang lelaki disampingnya dimana sang perempuan menggunakan pakaian penari lengkap dengan selendang seperti yang kutemukan dan sang lelaki yang memakai seperti seragam sekolah jaman dulu. Dibalik foto itu terdapat tanggal yang tertulis "02 Pebruari 1972".

Itu berarti sekitar 45 tahun yang lalu.

"Shinta".. "Shinta" .. aku mendengar ada orang yang memanggil namaku, mungkin itu budhe. Leebih baik aku simpan dulu kotak tadi, pikirku.

"dalem budhe" seruku dari dalam kamar. Akupun bergegas keluar dari kamar mbah putri untuk mencari budhe.

"sini, nduk". Panggil budhe dari arah ruang keluarga. Akupun langsung menghampiri budhe, ternyata budhe, pakdhe dan kedua sepupuku sudah ada di sana.

"ada apa to budhe ?" tanyaku. "begini nduk, pakkdhe mau berbicara sama kamu" tutur budhe. "Shinta, apa tidak sebaiknya kamu ikut kami ke Jakarta dan tinggal bersama kami? Disana kami bisa merawat kamu". Jelas pakdhe. " bener kata pakdhemu itu, biar kamu ada yang merawat dan ndak sendirian" tambah budhe. "iya Shinta, nanti kamu sekolah di SMA-ku" ucap mas Rangga seraya menepuk pelan pundakku.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh pakdhe dan budhe namun aku masih berat untuk pergi dari rumah ini. Karena rumah ini berisi kenangan yang ditinggalkan oleh mbah kakung dan mbah putri juga ayah dan ibu.

"Shinta pikir-pikir dulu ya pakdhe ? boleh kan ?" tanyaku. "yasudah, pakdhe tunggu. Tapi Shinta pakdhe sangat berharap kamu ikut tinggal bersama kami, kamu juga sudah pakdhe dan budhe anggap sebagai anak kami" tutur pakdhe.

"iya pakdhe, Shinta ngerti."

Setelah pembicaraan serius ini, kami memilih untuk makan malam, di meja makan terasa kami makan sambil berbincang-bincang sedikit.suasana ini sedikit mengingatkanku kepada kedua simbahku.

Kadang aku merasa sedikit merindukan suasanaseperti ini karena dulu saat makan malam aku makan bersama mbah putri dan mbah kakung diselingi dengan candaan dari mbah putri atau godaan yang diberikan oleh mbah kakung kepada mbah putri.

Keluarga pakdheku sangat ramah kepadaku karena mereka memang sudah menganggap aku sebagai anak mereka. Mereka memiliki 2 orang anak laki-laki, dan satu orang anak perempuan namun, sudah meninggal. Pakdheku bernama Linggajati dan budheku bernama Dwi Ratih. Kedua kakak sepupuku, mereka kembar. Namanya Dimas Rangga Senopati dan Indra Sena Airlangga.

Mereka sudah mennganggap aku sebagai keluarga mereka, terlebih karena aku mirip dengan almarhum kakak sepupuku Ayu Sekar Larasati.

***

Malam ini, merupakan malam ketujuh meninggalnya mbah putri. Usai pengajian, aku langsung kembali ke dalam kamar. Saat ingin merebahkan diriku untuk tidur, aku teringat surat yang kutemukan kemarin siang. Langsung saja kubuka laci nakasku.

Kepada Raden Mas Tjokropuspito

Jogjakarta, 24 februari 2017

Dari sahabatmu

Dari semua surat yang kutemukan, hanya surat ini yang memiliki alamat penerima. Aku gusar dibuatnya. Aku memang belum membaca satupun dari surat-surat itu dan aku merasa sedikit penasaran. Namun, harus aku ingat bahwa surat-surat tak bernama itu tidak berhak kubaca.

Melihat tanggal pembuatan surat itu, aku merasa nenek ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting kepada sang penerima. Bukan tanpa maksud aku berbicara seperti itu, namun tanggal itu selisih 2 hari dengan hari kematian mbah putri.

"Shinta, cah ayu" nenek duduk di sampingku sambil mengelus-elus kepalaku yang ada di pangkuannya.

"nanti kalau mbah putri sudah ndak ada, kamu ikut pakdhemu ke Jakarta ya" ucapnya sambil terus mengelus rambutku.

"mbah putri jangan bilang begitu to, aku ndak bakal kemana-mana dan mbah putri juga harus terus di samping Shinta" ucapku sambil mencebikkan bibir. Tidak tahu apa, kalau aku ini sangat menyayangi beliau ? aku ndak pengen kehilangan 'lagi'.

"cah ayu, wong urip kuwi ora bisa selawase. Urip wis diatur kaliyan Gusti Allah. Dadi, saben manungsa kudu ikhlas nrima ing pandum." Aku hanya diam menyimak ucapan mbah putri.

"mengko yen mbah putri wis ndak ada, kamu ikut pakdhemu ke Jakarta ya. Mbah putri titip surat sama kamu ya, nanti kalau kamu ke Jakarta" lanjut beliau.

"lho, kenapa ndak mbah putri kirim sekarang saja ? kok mesthi nunggu aku ke Jakarta dulu to ?" tanyaku.

"nanti kamu juga tahu nduk"

Gelap.

Hanya mimpi. Mimpi yang mengingatkan percakapanku dengan mbah putri beberapa bulan yang lalu.

Jakarta ? apa ini merupakan wasiat yang disampaikan nenek ?

RaShintaWhere stories live. Discover now