Jakarta. Kota ini merupakan magnet bagi banyak orang. Tidak heran karena setiap tahun banyak orang yang datang ke tempat ini untuk mencari ilmu, atau mencari uang.
Di sini aku sekarang berada. Setelah dari bandara, aku dan keluargaku - keluarga pakdheku melanjutkan perjalanan kami kerumah mereka menggunakan taksi.
Di balik kaca mobil ini, aku melihat banyak hal baru. Maklum, aku hanya pernah sekali kesini. Itupun saat aku kelas 4 SD, dan sekarang aku sudah kelas 11 SMA. Banyak yang berbeda dengan kota tempatku tinggal selama ini. Yogyakarta. Taksi yang kami tumpangi terjebak macet. Dari balik kaca mobil, aku melihat banyak hal. Orang-orang yang memberengut tidak sabar dengan mengklakson kendaraan yang ada di depan mereka. Mungkin mereka memiliki urusan yang mendadak. Atau anak-anak dipinggir jalan yang sedang menyanyi diiringi alat musik sederhana atau hanya sekedar menepuk tangan mereka.
Tak tahu sudah berapa lama aku berada di dalam taksi, sampai taksi ini mulai berhenti di sebuah rumah.
"ayo shin, turun" kata mas Rangga sambil membantuku turun dari taksi.
Rumah pakdhe ini terdiri dari 2 lantai, rumahnya terlihat sederhana dan adem karena dinaungi oleh pohon dan tanaman-tanaman yang ada di halaman depannya.
"ini sekarang rumah kamu juga shin" ucap budhe sambil menggandeng tanganku menuju kedalam rumah.
"eh ndra, bantuin dong !! kamu kok malah langsung masuk sih ?" seru mas Rangga sambil menenteng tas-tas kami.
Sungguh, aku sebenarnya kasihan sama mas Rangga tapi kalau lihat kayak gitu malah rasanya lucu banget. Mas Indra sebagai objek yang dituju cuma menoleh sebentar dan malah langsung menuju ke pintu utama dan duduk dikursi teras sambil menunggu budhe membuka kunci. Sementara pakdhe juga sudah duduk di samping mas Indra. Sungguh kasian sekali mas Rangga. Saat aku ingin membantu membawakan koper, budhe malah melarangku.
"nggak usah dibantuin shin, biar tahu gerak juga dia". Saat mendengar itu, semu orang pun tertawa sedang mas Rangga cuma cemberut dan menggerutu. Sang supir taksipun ikut tersenyum.
***
Saat ini, kami sedang ada di ruang keluarga sambil menonton televisi. Hal ini, memang sudah sperti peraturan, jika sehabis makan malam dan sholat untuk berkumpul untuk ber family-time dimana setiap orang nggak boleh ada dikamar dan mengerjakan tugasnya di ruang keluarga.
Dari tadi mas Rangga mencoba mengusik mas Indra yang lagi baca buku di sebelah pakdhe. Mas Indra yang diusik Cuma melototin mas Rangga dan nggak lama kemudian mereka udah guling-guling dilantai dengan suara tawa mas Rangga yang kenceng. dan kami yang melihat cuma ketawa.
Mas Indra itu orangnya pendiam banget. Kalo kata mas Rangga, mas Indra itu kayak kulkas. Beda sama mas Rangga yang cerewetnya minta ampun sampai tukang sayur di komplek rumah mbah putri di Jogja dulu, dia kenal.
"shin". "iya pakdhe".
"kamu besok ikut pakdhe ya, buat daftar di sekolah barumu". "iya pakdhe, tapi shinta mau sekolah dimana pakdhe ?".
"kamu sekolah di sekolahnya masmu itu aja shin" kata budhe.
"tapi sekolahnya mas Indra sama mas Rangga kan swasta budhe".
Iya, sekolah kedua masku itu sekolah swasta, dan setahuku sekolah mereka itu lumayan bagus, jadi nggak mungkin bayarnya murah. Aku nggak pengen ngerepotin pakdhe ku dan istrinya karena bayar biaya sekolahku yang mahal.
Lagipula, dari SD aku sekolah di negri. Tapi, sekolahnku lumayan favorit jadi kualitas pendidikannya nggak kalah bagus dengan sekolah swasta.
"lha memangnya kenapa kalau swasta ? kan, malah sekalian biar ada yang jagain." Kata budhe.
"shinta ndak pengen nambahin beban pakdhe sama budhe dengan biaya sekolah shinta yang mahal. Mending shinta ngelanjutin di sekolah negri aja ya pakdhe, budhe".
"shin, kamu tau budhe sama pakdhe sayang sama kamu ?" ucap budhe.
Aku hanya menganggukan kepalaku yang tertunduk.
"maka dari itu, kami cuma pengen yang terbaik buat kamu, kamu bukan beban buat kami. Kamu tau kami udah anggap kamu anak kami sendiri. Kami sayang sama kamu nduk. Jadi jangan merasa bahwa kami seperti orang asing buat kamu ya, anggap kami bapak dan ibumu". Kata budhe sambil mengelus rambutku.
"ya udah berarti kamu jadi pindah ke sekolah masmu ya, shin" ucap pakdhe sambil tersenyum.
"nggih pakdhe" balasku. "wah, shinta jadi pindah ke sekolah kita ya yah ?" sahut mas Rangga.
"iya mas Rangga. Shinta jadi pindah". "ohya, kamu masuk kelas apa ?".
"shinta kelas IPS mas". "waaahhh, sama dong kayak aku. Aku juga IPS, nanti kita di satu gedung. Heh shinta kamu harus hati-hati temen-temenmu ya. Biasa lah anak IPS kayak gimana. Terus nanti, kalo kamu diganggu sama temen-temen barumu kamu lapor aja sama mas, nanti biar mas Rangga kasih pelajaran".
"alah sok jagoan. Dipanggil guru BK aja udah ketakutan sampe nyemperin aku ke kelas minta tolong. Terus diliatin adek kelas pas main bola aja udah salting sampe bolanya keluar lapangan, ck ck ck.." ucap mas Indra.
Sontak akupun tertawa apalagi melihat mas Rangga yang wajahnya udah merah dan merengek-rengek ke mas Inda biar nggak ngingetin hal tadi. Sementara pakdhe dan budhe cuma mesam mesem sambil saling nyalahin mas Rangga itu anak siapa.
Inilah keluarga baruku. Pakdhe yang bijaksana. Budhe yang penyayang. Mas Rangga yang konyol. Dan mas Indra yang cuek tapi baik.
Oke, hai hidup baru.
***
YOU ARE READING
RaShinta
General FictionSemua ini berawal dari Shinta yang menemukan banyak surat surat tanpa nama dilemari milik eyang putrinya yang sudah meninggal. Namun, dari kesemua itu ia melihat hanya satu surat yang memiliki alamat yang dituju, meski hanya sebuah nama. Karena cint...