3. Teror

115 22 1
                                    

Dengan sedikit terbatuk-batuk, Pak Ridwan keluar membawa nampan dengan seteko teh hangat serta enam gelas kecil untuk keenam remaja yang datang tanpa diundang tersebut. Melihat itu, Echa membantu mengambil nampan sedangkan Joshua membantu bapak tua itu duduk di sebuah kursi kayu yang menimbulkan suara decit.

"Maaf ya, Pak, jadi ngerepotin," ujar Naya.

Haris mengamati sekitar. Mantan penjaga sekolah itu benar-benar hidup serba kekurangan. Rumahnya sangat sederhana dengan lantai yang bahkan masih dari tanah. Ia juga hidup sendiri, istrinya sudah meninggal dan seorang anaknya pergi meninggalkannya.

Pak Ridwan tersenyum, tidak masalah karena ia senang jika rumahnya ramai begini. "Apa yang kalian cari hingga datang kesini, Nak?" tanyanya ramah. Naya di depannya sedikit ragu, ia memandang teman-temannya bingung.

"Sebelumnya kami minta maaf karena sudah mengganggu Bapak. Tapi kami sangat butuh informasi dari Bapak." Laras mengawali keraguan teman-temannya.

Echa nampak bergumam sebentar, membuat Pak Ridwan mengalihkan perhatian padanya. "Pak, SMA Bina Harapan, bisa dibilang sekarang kami satu sekolah diteror oleh sesuatu," ujarnya memelan di akhir kalimatnya.

Pak Ridwan nampak mengingat. "Bina Harapan?"

"Iya, Pak Aan bilang, sebelum Beliau, Bapaklah yang bekerja sebagai penjaga di SMA kami itu." Joshua menambahkan.

Pak Ridwan pun mengangguk dan tertawa kecil. "Oh iya, saya ingat. Tapi sewaktu saya bekerja disana, sebelumnya bernama SMA Pelita Harapan," ujar Pak Ridwan dengan santainya. Namun sukses membuat keenam anak itu terbelalak. Terpikir bahkan mereka tak mengetahui tentang sejarah pergantian nama sekolah mereka.

"Saya pensiun mungkin sekitar lima atau enam tahun yang lalu. Mungkin setelah saya berhenti, mereka mengganti namanya," lanjutnya. Kini keheranan mereka berganti dengan pertanyaan 'mengapa?'

"Teror apa yang kalian maksud? Dan apa hubungannya dengan saya, Nak?"

Satu per satu dari anak itu mulai menjelaskan. "Sekolah kami sejak satu minggu yang lalu diteror pesan berdarah, Pak."

"Tulisan itu berbunyi, selesaikan permainan atau mati!"

"Dan kami nggak ngerti apa-apa. Permainan apa, ditujukan untuk siapa, kami nggak tau."

"Dan anehnya, setelah pesan berdarah itu dihapus, besoknya muncul lagi. Walaupun penjagaan sekolah sudah diperketat."

"Sa-saya nggak mengerti." Pak Ridwan menyela setelah Laras, Joshua, Naya, dan Jaffin menjelaskan.

"Kemarin, Pak Aan cerita, kalau di jaman Bapak bekerja disana, pernah ada siswa yang meninggal karena permainan pemanggil arwah. Maka itu kami kesini," ujar Echa. Menjelaskan tujuan mereka menghampiri mantan penjaga sekolah mereka itu.

Haris yang sedari tadi diam mendecak. "Konyol banget." Memang sedari awal ia yang paling menyangkal jika teman-temannya menghubungkan hal itu dengan hal mistis. Ia lah yang paling rasional diantara yang lainnya. Ia masih menganggap itu semua hanya keisengan orang belaka.

Pak Ridwan mendadak tegang. "Maaf, saya sedang tidak enak badan. Sebaiknya kalian pergi dari sini." Dengan suara yang sedikit meninggi, Beliau mengusir anak-anak itu dari rumahnya.

"Bapak tau sesuatu," ujar Laras yakin.

"Tidak. Saya tidak tau apa-apa. Saya hanya bekerja disana dan tidak pernah ada hal semcam itu. Tolong kalian pergi dan jangan kemari lagi."

"Tapi dengan sikap Pak Ridwan yang kayak gini, kami makin yakin kalau ada yang Bapak tutupi!" Naya tanpa sadar meninggikan suaranya. Ikut terpancing emosinya.

Lady In White - Treasure aespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang