7. Berubah Pikiran

119 24 3
                                    

Ajun tak berkonsentrasi pada pekerjaannya hari ini. Beberapa kali dokter muda itu kehilangan kefokusan hingga harus meminta tolong pada rekan sejawatnya untuk menggantikan memeriksa beberapa pasien. Ia lebih banyak diam dan merenung di dalam ruangannya hingga sebuah ketukan di pintu putih itu membuyarkan lamunannya.

"Good evening!" seorang wanita menyapa dari daun pintu sesaat lalu maju memasuki ruangan Ajun lebih dalam.

Ajun tersenyum tenang ketika mengetahui bahwa tunangannya yang datang. "Kenapa nggak bilang kalau kamu mau kesini?" tanyanya saat wanita itu duduk di kursi pasien, di hadapannya. Kini mereka hanya tersekat karena meja kerjanya yang sangat bersih itu.

"Bisa kamu tanya itu sama diri kamu sendiri?" Lila mendecak sebal. "Kamu ngabain chat dan teleponku dari tadi. Mana bisa aku ngabarin kamu?"

"Maaf, aku... lumayan sibuk hari ini." Ajun beralasan saat menjeda kalimatnya sejenak.

Lila memiringkan kepalanya, menatap calon suaminya dengan pandangan khawatir juga ingin tau. Seolah mengetahui bahwa ada yang disembunyikan oleh Ajun. "What's going on, Jun?"

"I'm okay, Sayang."

"Kamu tau, Jun, aku kenal kamu bukan baru kemarin. Aku tau saat kamu ada masalah atau sedang nggak baik-baik aja. Semalem Sinta telepon aku, katanya kamu pulang ke rumah. Ada apa?" Lila menuntut penjelasan. Ia hanya ingin membantu jika memang sang tunangan sedang dilanda hal yang tidak baik-baik saja hingga harus pulang ke rumah pria itu. Hal yang jarang dilakukan oleh Ajun kecuali saat laki-laki itu memang sedang butuh pelarian.

Ajun terkekeh sebentar. "Apa ada yang aneh? Itu masih rumah keluargaku."

Lila kini mendengus. "Kamu tau bukan itu maksudku." Gadis itu mencebik sejenak, paham betapa kerasnya pria itu. "Aku ngerasa akhir-akhir ini kamu kayak memendam sesuatu sendiri, Jun. Kita akan menikah dan kamu nggak mau membaginya sama aku?" tanyanya lagi.

Ajun lantas bangkit dari kursinya dengan wajah gelisah, mengelus pipi bulat wanita itu pelan. Tentu ia ingin membaginya dengan Lila, namun itu artinya ia harus kembali mengingat semuanya. Semua yang berusaha ia lupakan selama delapan tahun ini.

Ia memang pulang ke rumah orang tuanya kemarin alih-alih ke apartemen mewah miliknya. Sejak menerima paket foto masa lalunya, mimpi buruk kembali terus-terusan berdatangan dan itu sukses membuat si dokter muda tidak tidur semalaman. Pikiran itu masih terus menyiksanya bahkan setelah delapan tahun berlalu.

Pria itu menggeleng pelan. Tidak, ia tidak ingin melibatkan Lila dalam hal ini. Ia memutuskan untuk memendamnya sendiri saja, berharap ini semua hanya mimpi buruk sesaat. Semua akan kembali normal seiring kesibukannya untuk menyiapkan pernikahannya dengan wanita yang dicintainya ini.

"Everything's alright! Kamu tenang aja. Makasih ya udah perhatian sama aku. Aku janji nggak akan buat kamu khawatir lagi," ujar si pria lalu mengecup puncak kepala Lila dengan sayang.

"Jadi kamu bener-bener nggak mau cerita apapun?"

"Bukan nggak mau, Lila. Tapi emang nggak penting," ujar Ajun berusaha membuang semua kegelisahan di wajahnya agar wanita itu sedikit tenang. "Udah, sekarang mending kamu pulang dan istirahat. Besok aku jemput kamu buat fitting gaun. Aku nggak lupa kan?" Lanjutnya kini dengan senyuman merekah diikuti sang wanita.

Lila mengangguk senang menyetujui. "I can't wait!"

Ajun mengusap kepala itu pelan. "Maaf, ya, aku masih harus jaga sampai nanti malam. Kamu pulang naik taksi nggak apa-apa?"

"It's okay, Sayang. Aku bawa mobil, kok. Yaudah, see you tomorrow!" Lila memeluk Ajun sesaat lalu keluar dari ruangan si pria.

Setelah pintu benar-benar tertutup, Ajun tak bisa lama-lama lagi untuk tersenyum. Nyatanya, kegelisahan itu masih saja nampak di wajahnya sampai suara telepon di ruangannya terdengar nyaring membuatnya sempat tertegun. Butuh waktu untuk meyakinkan diri apakah sambungan itu harus diangkatnya. Namun dengan sedikit ragu, ia mengangkat sambungan itu.

Lady In White - Treasure aespaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang