10

310 20 2
                                    


Perusahaan G adalah bangunan dengan 4 lantai berarsitektur modern yang memiliki ruangan luas di setiap lantainya. Kebersihan dan keamanannya pun terjaga. Orang-orang di dalamnya tampak berlalu lalang atau sekadar diam di tempat untuk melakukan pekerjaan mereka. Beberapa ruangan digunakan para pegawai dengan meja masing-masing sebagai sekat pembatas. Ada pula ruangan tersendiri bagi orang-orang yang memiliki jabatan tertentu. Begitu pun dengan seorang pria berwajah tampan, berkulit putih dan tinggi. Raut muka seperti anak kecil. Pria itu sungguh awet muda.

Ia tengah duduk santai di kursi saat seorang perempuan masuk ke dalan ruangannya dan duduk begitu saja di depannya.

"Ini konyol sekali. Kenapa ada orang tua seperti itu?" perempuan itu menggerutu.

Hwang Jun Myeon, pria yang sepintas terlihat cantik itu tersenyum kecil. "Ada apa lagi? Diprotes orang tua?" Tebakan yang sangat menyebalkan bagi sang perempuan, Kang Seulgi.

" Ini telepon yang ketiga dan dia marah-marah padaku mengenai game buatan kita. Dia bilang nilai anaknya jadi turun gara-gara memainkannya." perempuan dengan rambut berponi itu menunjukkan wajah kesal yang terkesan imut.

"Aku coba menerangkan dan memberi solusi, tapi dia semakin marah. Kalau sudah begitu, aku yang repot. Menurutmu harus bagaimana?" Seulgi bertanya dengan serius.

"Bagaimana apanya?" tanya Jun Myeon.

" Caranya agar mereka bisa langsung percaya dengan bujukan kita. Kau pernah melakukannya dan itu selalu berhasil," ujar Seulgi bersemangat.

"Aku hanya bicara apa adanya."

"Kau sangat pandai berbohong!" Seulgi menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Kalau begitu, kenapa kau selalu tertipu olehku?" goda Jun Myeon.

" Jika aku tahu, saat itu juga akan mencekikmu!" kecam Seulgi.

"Aku lebih sependapat dengan perkataan Leetuk. Game merupakan bentuk hiburan yang sering kali dijadikan sebagai penyegar pikiran dari rasa penat disebabkan oleh aktivitas dan rutinitas kita."

Seulgi mencibir. " Memangnya kau selalu bermain? Kau pencipta, bukan maniak game."

"makanya, aku setuju dengan Leetuk," Jun Myeon menekankan perkataannya. Seulgi mengangguk acuh.

"Aku memberi saran pada orang tua mereka untuk ikut bermain, menemani anaknya menghilangkan rasa penat karena seharian beraktivitas. Setelah waktu yang ditentukan habis, orang tua harus berhenti menemani anaknya bermain dan menyuruhnya istirahat atau belajar. Setelah mensurvei beberapa keluarga yang melakukan hal itu, kebanyakan anak akan menurut dan berhenti bermain," terang Jun Myeon.


"Kalau anak itu ingin lanjut bermain?" tanya Seulgi, menegakkan tubuhnya.

"Ya... Lanjutkan," jawab Jun Myeon sederhana, membuat Seulgi lemas dan kembali menyadarkan punggungnya dengan sebal.

"satu kali. Setelah itu, tidak boleh. Orang tua punya hak untuk itu!" perkataan Jun Myeon selanjutnya membuat Seulgi kembali bersemangat, tapi tidak langsung menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum mengejek pada Jun Myeon.

"Kalau aku lebih sependapat dengan Henry. Game adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian anak, sedangkan sebagian orang tua menuding game sebagai penyebab turunnya nilai anak, anak tak mampu bersosialisasi, dan tindakan kekerasan yang dilakukan anak."

"Kalau seperti itu, kau akan membuat perang dengan orang tua.'

"Hmm," angguk Seulgi tidak jelas. "Karena itu, perang game dimulai." ia tersenyum.

----

Setelah kemarin hujan cukup deras, perubahan cuaca hari ini menampakkan langit yang tampak cerah dan bersinar. Udara tak lagi dingin. Hanya ada kesejukan angin lembut yang dirasakan oleh tumbuhan, hewan, dan tentunya manusia. Menikmati pemandangan berwarna-warni membuat Eunbi yang tengah berdiri di halaman rumah terkagum-kagum akan suasana alam yang bisa dilihatnya dengan jelas.

Dahyun berjalan mendekatinya. Ia berdiri di samping Eunbi yag menoleh padanya dan tersenyum senang.

"Hari ini kita tidak perlu memakai mantel, kan?" Eunbi mencoba memastikan cuaca hari ini pada Dahyun. Ia khawatir hujan akan turun tuba-tiba saat Tengah berjalan menikmati cuaca yang indah.

"Mantelnya akan kita lama jika awan berubah mendung." Rupanya Dahyun sudah menyiapkan dua mantel, satu untuknya dan satunya lagi untuk Eunbi. Mereka sudah berjanji untuk jalan-jalan di akhir pekan.

Eunbi yang tidak membawa mantel tersenyum lebat. Ia lalu mengambil mantel Dahyun yang dipinjamkan itu.

"Kenapa hitam? Aku suka merah," komentar Eunbi, tapi tidak berniat meminta ganti. Ia asyik melihat mantel hitam yang memiliki desain polos tapi terasa lembut.

"Akan ku ambilkan yang merah. Tadi kulihat ada di almari." Dahyun bersiap memasuki kamar.

"Anio!" tolak Eunbi. "Ini lebih baik, rasanya lembut," ia tersenyum sambil menunjukkan mantel hitam di tangannya.

"Hitam atau merah sama saja," Eunbi mengangguk- anggukkan kepalanya, meyakinkan. Dahyun sendiri memegang mantel berwarna abu-abu gelap.

"Benar,ya?"

Eunbi mengangguk.

"Tapi akan sangat melelahkan membawanya. Tidak biasa kita menyimpannya?" usulnya diselingi senyum.

"Hwang Eunbi, kau ini!" Dahyun terkekeh-kekeh.

"Kita bisa melipat dan menyimpannya di dalam tas."

"Tasku akan membesar kalau begitu."

Setelah menghabiskan waktu berjalan-jalan, kini keduanya melangkah beriringan menuju bangku taman dan duduk di sana.

"Setelah ini apa lagi?" tanya Dahyun.

"Jangan melihat-lihat toko lagi ya," buru-buru Eunbi berbicara.

Dahyun terkekeh-kekeh. Mereka memang sempat melihat berbagai toko, sekadar memuaskan rasa ingin tahu Dahyun soal bermacam-macam barang yang sedang dipajang dan Eunbi harus menjawab setiap pertanyaannya mengenai fashion.

"Kau tidak suka, ya?" ujar Dahyun.

"Bukan tidak suka, tapi kalau terlalu sering melakukannya, aku tidak mau lagi, deh. Orang-orang melihat kita dengan aneh. Penjaga toko datang dan bertanya, tapi kita malah menjawab sekadar lihat-lihat lalu pergi."

"Jadi, kau malu?" tanya Dahyun polos.

"Anio," Eunbi menggelengkan kepalanya. "Aku hanya tidak suka dengan pandangan tajam mereka."

Dahyub tak mau mendengarkan. Ia melemaskan tubuhnya dan bersandar pada kursi taman.

Eunbi merenggangkan tulang-tulang Jemarinya. "Hari ini kau harus ikut denganku," ujarnya tiba-tiba, menoleh pada Dahyun. Eunbi menyelipkan kata 'harus' dalam ucapannya agar Dahyun tidak lagi menolak, seperti saat ia mengajaknya masuk ke sauna.

"Hmm," Dahyun hanya menganggapinya dengan wajah bingung.

"Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu."

"Tidak akan lama,kan? Kita harus belajar."

"Area, tapi sore saja, ya, belajarnya. Orang yang akan kukenalkan padamu bakal sibuk keesokan harinya," rengek Eunbi.

Dahyun berpikir sejenak. "Geurae," angguk Dahyun.

Eunbi tersenyum senang.

"Memangnya siapa orang itu?" tanya Dahyun.

Eunbi tersenyum jahil, tidak berniat memberi tahu. "Hmm, apa aku harus memberitahumu?" candanya.

"Agar aku tidak begitu penasaran," bujuk Dahyun.

"Tidak boleh,ah. Nanti juga kau akan tahu."

"Beri tahu saja. Apa dia orang yang sangat penting bagimu?"





TBC

Sebenernya saia mau update nih cerita besok Senin, tapi berhubung otak saia bekerja jadinya di update hari ini
(づ ̄ ³ ̄)づ.

Jangan lupa vote + comment yang banyak yaw, muach muach dari saia untuk readers tercintah ( ˘ ³˘)❤ / jan jijiq pliss ಥ_ಥ





Love me ; Kim Dahyun (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang