ENAM

53.5K 3.9K 85
                                    

Panji segera berdiri, berjalan ke arah meja tempat ia menaruh anggurnya, lantas mengisi gelasnya lagi. Dengan segala pertahanan atas tubuhnya, Panji berusaha agar tak menyentuh Niken saat ini juga. "Duduk di sana," tunjuk Panji.

Niken yang masih tak berbusana duduk bersimpuh di hadapan kursi besar yang tadi diduduki Panji. Ia menunduk dan mulai meneteskan air mata. Hawa dingin yang menerpa kulit halusnya seakan menusuk hingga relung hati. Selama menjadi seorang pelayan bagi Finna Krisanti, tak pernah Niken merasa serendah ini.

Sementara itu Panji kembali duduk di kursi besar lalu menikmati pemandangan wanita muda yang telanjang dan meratap sendu. Ia menunjukkan dominasinya terhadap wanita yang bersimpuh di bawahnya. Tangan kiri Panji ingin menarik rambut Niken dan menyumbat mulut wanita itu dengan ciuman kasarnya agar tangis Niken terhenti—berganti dengan lenguhan saja. Namun, tangan kanan pria itu justru ingin merengkuh Niken. Mengusap air matanya dan mengatakan ia lebih suka melihat wanita itu tersenyum.

Sungguh dirinya pernah membayangkan momen intim bersama Niken, tetapi tak seperti ini. Ia menjadi lebih manusiawi dan Niken adalah seorang dewi. Pikiran itu segera ia tepis kuat-kuat. Jijik dengan lemahnya sang hati yang membuatnya berucap rela mati dan bersumpah akan selalu mencintai.

Panji tak tahan dengan perang batinnya kali ini. Ia menenggak habis anggur putih itu lalu melempar marah gelasnya hingga membuat Niken terperanjat. Panji berdiri, meraih kasar dagu Niken hingga wajah yang merona merah dihiasi lelehan air mata itu mendongak. "Aku suka melihat kamu menangis," geramnya. Panji mengabaikan nuraninya yang meneriakkan hal sebaliknya.

Pria itu menepis tangannya dengan kasar. "Aku akan panggil pelayan pribadiku," putus Panji. Ia berjalan meninggalkan Niken dan berhenti di dekat pintu. Pria yang masih diamuk amarah dan gairah itu menoleh. "Pelayanku laki-laki," pungkasnya lalu keluar dari ruangan ini.

Setelah pintu ditutup, Niken baru menyadari apa maksud ucapan laki-laki itu. Ia bergegas memakai kembali pakaiannya agar tak seorang pun melihatnya hina seperti ini. Saat tubuh Niken kembali tertutupi, wanita itu menyeka air matanya. Bertepatan dengan itu, pintu diketuk pelan dan terbuka tanpa Niken izinkan.

Seorang pria paruh baya memasuki ruangan. Ia berpakaian rapi dan sikapnya begitu santun. "Mari Nona, ikut saya," ajaknya dengan penuh hormat.

Niken mengangguk kaku. Dirinya tak pernah diperlakukan seperti ini, melainkan ia memperlakukan keluarga Persada begini. Ia menurut saja ketika diajak ke lantai tiga di rumah ini. Niken pun berjalan pelan ke dalam sebuah kamar. Kamar yang begitu luas seperti kamar tamu.

Pria paruh baya itu mengatakan kamar ini miliknya. Ia mempersilakan Niken beristirahat dan menjelaskan bagaimana caranya memanggil pelayan melalui telepon. Setelah pria paruh baya itu pergi, Niken memutuskan untuk membersihkan diri.

Tak butuh waktu lama, ia kembali ke kamar dan memakai gaun sederhana yang sepertinya baru dibeli untuknya. Niken yang merasa haus dan lapar, segera meneguk teh manis hangat dan kue yang disediakan. Setelah perutnya terisi, Niken merebahkan tubuh lelahnya.

Wanita muda itu tak segera tertidur. Wajah pucat Finna selalu membayanginya. Bisa saja wanita itu tak tertolong karena terlalu lama dibiarkan koma. Saat wajah ayahnya muncul dalam benak Niken, wanita itu mulai menangis tergugu. Hidupnya sungguh ironis. Finna menyelamatkannya dari seorang preman yang akan menjualnya pada pria hidung belang. Namun, kini justru Niken yang menjerumuskan diri menjadi wanita jalang.

Niken memeluk dirinya seraya menangis tersedu. Ia jatuh tertidur karena letihnya sang kalbu. Tak pernah Niken menyadari hari-hari berikutnya akan menjadi lebih buruk.

****

repost 10/9/23

Love UndoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang