SEBELAS

37.6K 3.7K 143
                                    

Hingga keesokan harinya di pukul sebelas siang, Niken menerima surat dari seorang kurir. Niken lega bukan kepalang karena surat tersebut dari ayahnya. Tentu hal ini berarti uang tersebut sampai dengan selamat karena Niken meminta ayahnya mengirim pesan lewat jasa kurir jika uangnya sampai. Dengan senyum lebar, Niken membaca surat yang menerangkan bahwa Finna sudah dirawat secara intensif dan kondisinya mulai stabil.

Lagi-lagi, Niken berbohong kepada ayahnya agar tak menelepon atau mencarinya di sini. Berkirim surat pun jika terpaksa. Niken mengatakan majikannya melarang ia berhubungan dengan pihak luar karena takut pegawainya berbuat kriminal. Meski demikian, Niken tetap mengatakan di sini ia makan dan tidur dengan baik agar ayahnya tak cemas.

Hari ketiga Niken di rumah ini tanpa Panji. Ia bosan karena tak melakukan apa pun. Dirinya resmi menjadi tahanan rumah dan setiap ia memikirkan kondisi Finna Krisanti, Niken menjadi frustrasi. Niken mematikan televisi di ruang tengah ketika Harno melintas.

"Pak Harno," panggil Niken. Setelah pria itu menghampiri, Niken mengutarakan maksudnya. "Aku mau telepon Tuan Panji, boleh?"

Dahi Harno berkerut. Ia tak menanyakan lebih lanjut hal yang bukan urusannya. Ia mengambil ponsel dan memberikan nomer Panji. "Silakan Nona."

"Aku nggak punya handphone. Pake telepon rumah ini, boleh?"

"Tentu," jawab Harno dengan mengulas senyum.

Niken segera mengambil telepon wireless, menekan nomor, lalu menunggu sambungan seraya mengembalikan ponsel itu. "Makasih," ucap Niken dengan suara lirih seperti Panji akan mendengarnya.

Di sisi lain, Panji gusar karena meeting-nya terganggu oleh dering ponsel. Ia mengerutkan dahi karena layar ponselnya menunjukkan tulisan 'Rumah' sebagai penelepon. Jika ada keadaan darurat, Harno pasti menelepon dengan ponselnya. Mana mungkin pelayan Panji yang lain iseng meneleponnya?

"Halo," sapa Panji dengan nada dingin.

"Tuan, ini saya ... Niken."

Sejenak, Panji menahan napasnya. Tak mungkin ia membalas, 'hai, aku kangen kamu'. Ia terdiam lama karena kehilangan kata-kata.

"Ya?" Akhirnya kata itu terlontar juga.

"Tuan, masih lama pulangnya?"

Detak jantung Panji memacu cepat. Niken menunggunya? Kenapa ia merasa seperti sedang bahagia? Panji menghirup napas dan mengembuskannya. Ia melakukan itu berulang-kali untuk menguasai dirinya lagi. Ini gila! Ia dan Niken bukan pasangan remaja.

"Nanti malam. Ada apa?" Kini Panji mulai cemas. Tidak ada hal buruk yang menimpanya, 'kan? Panji gusar. Seharusnya ia tak pergi. Semestinya ia membawa Niken ke sini jika memang meeting ini sangat penting untuk ia hadiri. Panji ingin berlari keluar dari ruangan ini dan menemui Niken saat ini juga.

Terdengar suara napas Niken dan itu membuat darah Panji berdesir. "Saya ... bosan di sini."

Panji semakin tak konsentrasi pada presentasi pria yang sedang menerangkan sistem pembayaran kerja sama ini. Ia mencerna maksud Niken. Wanita itu merindukannya juga? Atau ia begitu jalang menginginkan disentuh lagi? Otak Panji terasa akan meledak.

"Tuan nggak izinin saya pergi. Di sini semua pegawai melarang saya memasak atau membersihkan rumah," sambung Niken dari ujung sana.

"Lalu?"

"Saya ingin diizinkan memasak atau membantu mengurus rumah."

Napas kasar Panji diembuskan. Ia geram sekali pada Niken. Gadis itu meneleponnya hanya untuk izin memasak? Yang benar saja!

"Kamu emang nggak boleh ngelakuin itu semua," ujar Panji dengan nada geram yang tertahan. Pria itu mengusap dahinya.

"Tapi itu tugas saya di sini. Saya akan tetap memasak, Tuan suka atau nggak," tegasnya.

Sialan!

Panji mengumpat dalam hati. Mengapa mereka seperti sepasang suami istri yang meributkan hal tak penting? Dan Niken menjadi istri pemaksa. Ingin sekali Panji pulang saat ini juga. Pria itu bersumpah akan menghukum Niken karena berani menyuarakan keinginannya.

"Kamu di sana bukan buat ngelakuin itu semua," tekan Panji lagi.

Niken sudah dibelinya. Hanya Panji yang berhak atas Niken untuk melakukan apa pun. "Tunggu sampai aku pulang. Kita bicarakan ini di rumah." Kini Panji merasa seperti suami yang bicara pada istrinya.

"Iya," balas Niken sebelum memutuskan sambungan.

Hampir saja Panji melempar ponselnya lantaran kesal. Ia tak fokus pada meeting hari ini karena perasaannya bercampur aduk setelah ditelepon Niken tadi. Seharusnya ia melenyapkan rasa bodoh itu. Ia tak ingin lebih gila lagi karena jatuh cinta pada gadis itu untuk kedua kali.

***

repost: 12/9/23

Love UndoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang