Chetoz

26 1 0
                                    

Aku merogoh sesuatu dari saku kananku menarik suatu benda, gantungan kunci yang terbuat dari taring buaya yang kubeli di pasar barang-barang aneh dan langka. yang tengahnya terukir lambang ular. Menurutku saja, karena gambarnya berbentuk sebuah liukan ular. Aku memberikan pada Oyik. "Ini, kenang-kenangan dariku, simpan dengan baik baik."
Oyik tersenyum senang, matanya masih bekaca-kaca,
"kau pasti kembali. Terima kasih, Aan." Aku tersenyum padanya dan menggosok gosok rambut hitamnya. Dia sudah tak menangis lagi.

Aku berdiri dan menatap orang terakhir pada perpisahan ini. Ya, sepupu perempuanku. "Hai, siap berangkat?" tanyanya.

"Aku selalu siap." jawabku

"Tunggu aku. Aku akan menyusulmu," Dia tersenyum padaku, senyum yang bisa mematahkan hati para lelaki. Aku bertanya pada diriku, sudah berapa hati laki-laki yang hancur oleh senyumnya? Termasuk diriku, aku tak memiliki pertahanan yang cukup kuat untuk ini. "Hati-hati di jalan, jangan lupa selalu berdoa, selalu ingat pada-NYA ketika waktumu longgar, dan jangan lupa makan tepat waktu."

Aku tersenyum, "siap komandan." Aku mengangkat tangan kananku menghormat.
Dia tak menangis, dia gadis kuat, tegas dan pemberani. Meskipun Aku ingin melihatnya menangis melihatku pergi. Munah, Sahabatku sejak kecil.

Burung burung terbang mengudara di langit biru, sehingga tampak kecil terlihat dari mataku yang menatap langit, terlihat setitik warna hitam berliuk-liuk terbang di udara, bebas tanpa hambatan dan rintangan.

Jika Ku perhatikan mereka seperti ikan yang berenang di air. Langit tanpa awan bagaikan samudra sebiru laut, burung-burung terbang merentangkan sayapnya meluncur bebas di udara bagaikan ikan-ikan yang berenang di lautan lepas. Langit menjadi lautan yang tak bertepi.

Kupeluk satu-satu dari mereka, paman, bibi juga Oyik, kecuali Munah, meskipun aku sangat ingin memeluknya. Aku hanya memandanginya dan melempar senyum padanya.

Kutatap keluargaku dibalik kaca bus yang Ku tumpangi, kulambaikan tanganku sebelum bayangan terakhir mereka menghilang menjauh.
"Selamat tinggal." Aku melambaikan tanganku pada mereka. Pikiranku kosong.
Adakah alasan aku kembali? jika ada aku ingin tahu sekarang.

Kusandarkan kepalaku di kursi bus, aku menengadah dan menghadap ke arah kiri menatap pemandangan hari ini. Perjalanan ini akan panjang, jadi, nikmati saja. Saat aku sedang melamun, seniman jalanan muncul dan membawakan sebuah lagu.

Dhek jaman berjuang ,... njur kelingan anak lanang

Biyen tak openi ,... ning saiki ono ngendi ,...

Jarene wis menang, keturutan sing digadang ,...

Lagu ini sangat ngetrend dan hampir selalu dibawakan 130 tahun terakhir. Lagu ini, ironi orang dulu. Mereka bertempur demi emas dan minyak. Perebutan sumber daya tersebut menyebabkan hampir setengah pria di bumi mati. Itu sudah terjadi berabad-abad dulu. Butuh 199 tahun lamanya bagi nenek moyang kami yang sekarang, untuk memperbaiki ekosistem. Nenekku sering menyanyikan lagu ini. Katanya ia masih membenci orang dulu, atas ketamakan mereka.

Biyen ninggal janji ,... ning saiki opo lali ,...

Neng nggunung, tak cadhongi sego jagung ,...

Yen mendhung ,... tak silihi caping nggunung ,...

Sukur biso nyawang ,... gunung ndeso dadi rejo

W E S T   B O R N : The Blue EngineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang