Kelas

4 1 0
                                    

Dinginnya Warden  yang menusuk hingga tulangku tidak menghalangi diriku untuk bangun dari hangatnya selimut mimpi. Setelah kami melakukan ibadah sepertiga malam juga  apel dini hari. Sebagian anak masih malas-malasan, ada yang berdiri sambil tidur, juga ada yang tidur bersandar di punggung temanya.

Ketum berbicara lantang agar seluruh CKA mendengar setiap katanya. "Pagi ini Warden akan kembali melakukan rutinitas seperti biasa, bagi siswa baru akan dibimbing oleh senior kalian. Selama dua bulan nantinya, kalian harus bisa belajar tanggap, dan semoga berhasil mengikuti seleksi di West Born nantinya. jadi persiapkan diri kalian, jika kalian memang pantas menjadi calon Admiral, pastikan diri kalian siap mulai sekarang!" Ketum masih melanjutkan apelnya saat aku mulai tidak tertarik dengan apelnya aku pergi ke kamar kecil.  Aku baru tahu kalo ada penyeleksian calon-calon Admiral yang nantinya akan diterima di West Born. Aku benar-benar tidak sanggup membayangkan bila aku tidak lulus dari sini.

                               ***

Ini benar-benar diluar dari imajinasi terliarku untuk Warden. Ternyata aktifitas sehari-hari adalah melakukan kerja bakti sosial lingkungan. Menyiram tanah, agar berkurangnya debu di udara. Menyapu seluruh bagian Warden. Mengangkat kayu, kerja bangunan. Dan masih banyak lagi. Kami memang benar-benar seperti pekerja.

Rutinitas belajar kami dilakukan siang dan malam. Pagi harinya kami menjalani aktifitas seperti halnya masyarakat biasa. Bekerja. Di pagi hari, kami selalu mendapat jatah setiap dua kelompok untuk berolahraga. Kelompok kami berpasangan dengan kelompok D. Sepak bola, voli, basket, dan masih banyak lagi olahraga yang bisa kami lakukan.

Pelajaran yang kami terima setiap harinya adalah materi dasar sebelum kami kembali ke West Born. Mempelajari huruf farsian, berbagai bahasa asing dari penyerapan bahasa di Nusantara. Logistik, linguistik, pertanian, dasar-dasar alkimia, semuanya hanyalah materi awal untuk pengenalan. Sejauh ini, cukup mudah bagi generasi kami.

Hamura tak hanya nama klan tapi juga ilmu beladiri yang diwariskan Romo. Setiap seminggu tiga kali kami belajar ilmu silat. Menjadi pendekar salah satu tugas seorang Admiral. Pencak silat yang menampilkan seni beladiri dengan tarian memang paling mengesankan bagiku dibandingkan dengan ilmu beladiri lainnya. Banyak perguruan pencak silat yang terkenal : Teratai Ungu, Trisula Nusa, Kesetiaan Teratai, Tapak Dewa Suci, Merpati Abu-abu, dan masih banyak lagi, salah satunya adalah rival abadi Hamura (Macan Putih).

Aku banyak berkenalan dengan orang baru. Pada dasarnya aku orang yang masa bodoh, mungkin itu sebabnya aku tidak mudah bergaul. Aku membatasi pertemananku.

"Hei, Rukh! Ayo ke kelas pegon, kita akan terlambat." Sugimura sudah menungguku di depan pintu keluar. Aku masih sibuk menata isi tasku.
"Oke, tunggu sebenatar." Aku bergegas terburu-buru berlari pelan menuju Sugi, hingga lupa tasku belum ku resletingkan.

Kami berjalan menuju kelas pegon, mempelajari tulisan yang dulu ditinggalkan orang dulu, semacam tulisan negara-negara timur tengah tapi di baca dengan bahasa endonesia. "Kau tahu tidak kalo Gus Wicak itu paranormal?" Sugi melontarkan pertanyaan yang paling tidak kusenangi. "Maksudmu?" Aku menggenggam tali ranselku, menariknya agar tidak merosot lagi. Aku mencoba mengimbangi langkah kaki Sugi yang terlalu lamban bagiku. Aku orang yang suka akan ketepatan waktu.

"Katanya dia bisa melihat dunia Jin, dan katanya dia memiliki istri dari bangsa Jin." Sugi sangat antusias menceritakan hal itu padaku. Aku terlihat semakin bodoh karena aku selalu ketinggalan cerita.

"Daemon?" aku memasang wajah penasaran. Entah berhasil atau tidak.

"Dedemit. Aku jadi penasaran apakah mereka memiliki seorang anak dan seperti apa rupanya?" Lebih baik jangan Sugi, jangan. Aku memalingkan wajahku untuk menatap pohon-pohon mangga, daunnya bergoyang perlahan terkena angin selatan. Daun-daun itu bergoyang perlahan, seperti sinden yang menari secara perlahan dengan gerakan berat nan luwes. Mataku menatapnya lama, seolah mereka mengawasiku. Mengawasi kami.

Aku berjalan lebih cepat menuju kelas pegon, aku meinggalkan Sugi beberapa langkah dibelakangku. Aku mendapati Johan sedang menata sandal bersama dua orang lain yang belum ku kenal. "Hai, broe." aku tersenyum pada Johan, menjabat tangan mereka bertiga, Sugi dibelakangku mengikuti. Belum sempat aku mengobrol dengan mereka guru kami sudah datang. Gus Wicak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

W E S T   B O R N : The Blue EngineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang