The Most Worst Holiday

115 8 0
                                    


Keyla POV

Aku menatap takjub pemandangan kota Palembang dari atas. Bisa ku lihat jelas aliran sungai Musi dan warna merah mencolok jembatan Ampera. Ini pertama kalinya aku ke Palembang. Beruntung cici menikah dengan Bang Adam yang asli orang Palembang, jadi aku bisa berlibur ke sini. Aku jamin liburanku tidak akan membosankan seperti tahun kemarin.

"La, bangun udah sampai," suara Bang Adam membangunkanku.

"Ini dimana?" tanyaku sambil menyipitkan mata dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul.

"Rumah abang lah. Ayo masuk. Barang-barang kamu udah abang masukin ke kamar."

Begitu sampai di kamar aku langsung merebahkan diri ke kasur bersprei warna pink  yang lembut. Warna putih mendominasi ruangan ini. Perabotnya tersusun simple dan rapi. Jumlah perabot di kamar ini memang tidak terlalu bannyak, hanya ada meja rias, lemari pakaian dari kaca transparan, satu meja kecil disisi ranjang dan kursi santai bercat putih disudut ruangan.

Tidak ada balkon, tidak seperti kamarku di rumah. Tapi jendelanya lumayan besar yang langsung menghadap jalan memberi cukup penerangan di kamar ini. Kamar ini harum aroma khas mawar, bunga kesukaan cici. Aku nyaman di sini, membuatku perlahan terlelap kembali. Pada dasarnya, aku memang bisa tidur dimana pun tempatnya.

Ketika aku hendak menutup jendela karna hari mulai senja, mataku membulat manakala melihat sosok berkaos biru dan memakai celana denim pendek selutut memasuki rumah berlantai dua dan bercat hitam. Aku melihatnya jelas. Rumah itu tepat didepan rumah cici, tepat di depan kamarku.

Benarkah itu Aldy?

Tiba-tiba aku merasa gugup saat bibirku menyebut namanya lirih. Apa Palembang itu sempit sampai aku bertemu Aldy disini? Semoga saja otakku salah mengartikan penglihatan mataku.

❄❄💧

Sebagai tamu dan adik yang baik, pagi ini aku menyirami tanaman kesayangan bang Adam di halaman depan rumah. Ya, sambil menunggu cici menyiapkan makanan untuk kami.

Tanaman di rumah ini di dominasi tanaman bonsai, tanaman kesukaan bang Adam. Beberapa bunga cantik beragam warna seperti aster juga memperindah rumah ini. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan cici. Dia lebih feminim dibanding aku.

Kreekk...

Sosok yang tiba-tiba muncul dari balik gerbang membuatku terkejut, refleks aku mengarahkan selang dengan air yang masih mengucur ke arahhya. Aku langsung lari memutar keran, namun sia-sia. Orang itu, yang tak lain adalah Aldy sudah basah kuyup.

"Maaf. Gue gak sengaja. Tadi gue..."

"Siapo dio bang?"

Sama sekali tak berubah, dia memotong perkataanku dan mengacuhkanku. Malah bertanya pada bang Adam yang sedari tadi asik menertawakan peristiwa ini.

Siapo dio? Mudah sekali rupanya dia melupakan orang. Wah, kampret sekali.

"Adek ipar abang." Jawab bang Adam santai. "Kenapo kau kesini?"

"Nak minjem obeng."

"Yo. Abang ambil didalam."

Bang Adam masuk ke dalam rumah. Pandanganku tak beralih tetap memandangnya yang sesekali mengusap wajahnya yang basah. Sialan. Menyapa pun dia enggan.

"Siapo dio? Lo lupa sama gue?!" Aku melototinya.

"Nama lo terlalu gak penting untuk diingat." Dengan amat santainya dia berkata seperti itu.

"Sialan!" Aku kembali menyemprotnya dengan air. "Nih, biar lo inget!"

"Berhenti! Gadis gilo! Sinting lo ya?!" Dia berteriak dan terus memakiku.

Masa bodoh kalau dia marah. Lebih menyakitkan mana dengan tidak diingat sama sekali. Masih muda tapi sudah pikun. Menyedihkan sekali. Aku memang tidak terlalu berharap dia bersikap baik padaku. Tapi dilupakan itu rasanya sakit kan?

"Kalau iya, memang kenapa?" Kataku dengan nada menantang. Sesaat dia menarik napas dan hendak membuka mulut, namun mulutnya kembali ia tutup menyadari bahwa bang Adam sudah kembali.

Aldy POV

Gadis bodoh dan sinting itu, tidak ku sangka aku bertemu dengannya dengan suasana yang menyebalkan sekali. Lagi-lagi sikap bodohnya membuatku naik pitam. Andai saja dia laki-laki pasti aku sudah meninjunya dan mengajaknya berduel. Andai saja.

Aku melampiaskan kekesalanku dengan melempar pakaianku yang basah ke keranjang pakaian kotor dengan sekuat tenaga, akibatnya keranjang itu ambruk kemudian berguling. Biarlah, aku malas harus membereskannya. Karna terlanjur basah, aku memutuskan untuk mandi sekalian.

Ketika keluar dari kamar mandi, aku kembali dibuat kesal karna kehadirannya tiba-tiba di kamarku. Aku mudah mengenalinya,gadis dengan rambut sebahunya dan piyama bergambar kucing besar berwarna biru yang tadi menyiramku kini berdiri dihadapanku.

"Ngapain lo kesini?"

Kulihat tubuhnya bergetar karna terkejut kemudian memutar tubuhnya ke arahku. Dia memperhatikan tubuhku yang kini hanya terbalut sehelai handuk sambil beberapa kali berkedip.

"Ih, apaan sih lo? Pake baju sana!" Dia berteriak histeris sambil menutup kedua matanya. Gadis bodoh, dikiranya aku tidak tahu kalau dia sudah puas memperhatikan tubuhku kemudian sekarang berlagak seperti seorang korban pencabulan.

"Ngapain lo masuk kamar gue?"aku mendekatkan tubuhku padanya. Menatapnya lekat. Dia menggigit bibir bagian bawahnya dan menundukkan kepala tak berani menatapku.

"Gu-gue. Gue tadi disuruh...."

"Apa?!" Sentakku tak sabaran dengan ucapannya yang lemot.

"Ngambil buku bokap lo!"dia berteriak berusaha menutupi kegugupannya dengan membalas tatapanku.

Ku lihat dengan jelas perubahan warna pipinya yang kini bersemu merah. Aku beranjak mengambil buku yang dia bilang tadi, tapi dengan bodohnya tanpa menerima buku itu terlebih dulu ia berlari meninggalkan kamarku.

Aku terkekeh melihat kelakuan konyolnya itu. Segugup itukah dia  melihat laki-laki hanya mengenakan handuk seperti ini? Salah siapa masuk kamar orang tanpa permisi. Dia terlihat manis dengan pipi merahnya. Damn, apa yang aku pikirkan?

Keyla POV

Aku sudah tidak tahan dengan keadaan yang tidak menguntungkan ini. Kurasakan pipiku cukup panas kini. Tanpa membawa buku yang dimaksud ayahnya, aku berlari keluar dari rumahnya. Berlari menuju kamarku, mengunci pintu dan menutup jendela rapat-rapat.

Dasar cowok cabul. Kenapa dia tidak mengenakan baju tadi? Kalau saja aku tahu dia sedang mandi aku pasti tidak akan mau masuk ke kamarnya. Kenapa juga ayahnya menyuruhku mengambil buku di kamarnya? Atau kenapa juga cici menyuruhku mengantarkan makanan ke rumahnya? Kenapa? Cici dan Mama sama saja.

Rambut hitmanya yang basah meneteskan air ke leher jenjangnya. Bahu tegap dan perut kotak-kotak itu. Oh Tuhan, aku terus membayangkannya. Aku malu. Otakku yang masih polos ini sudah ia rusak dengan adegan iklan deodoran seperti tadi. Aku tidak mau bertemu dia lagi. Aaaakkhh... Kenapa rumahnya dengan rumah cici harus berhadapan? Aku tidak akan keluar rumah mulai saat ini. Dia, benar-benar sudah merusak liburanku.

❄❄💧

7
Kini aku tahu. Kami itu bodohnya beda. Kaya ada manis-manisnya.
❄❄


Ya walaupun gak cuma sekali ngeliat iklan deodoran, tapi virtual sama real action itu beda ya.
Gemesnya lebih berasa. Hehehe..😆

Please, vote dan coment ya.
See ya..


My Icy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang