Setelah seharian membantu Mama membereskan rumah, aku merebahkan tubuh diatas sofa. Aku sempat mendengar persendianku berbunyi. Ah, capek banget.
Mataku yang mulai terpejam dipaksa terbuka kembali karna mendengar Mama bicara. Ya, cukup keras. Mama lagi ngomong sama siapa sih?
Aku menghampiri suara Mama yang bersumber dari dapur. Sungguh aku ingin tidur dengan damai. Tuh kan, rusak lagi moment penting di hidupku.
Aku melihat Mama sedang bicara dengan laki-laki yang lebih tinggi dari Mama. Aku hanya melihat punggung laki-laki itu, aku mendengar dia terkekeh saat Mama bilang kalau dia tambah ganteng. Aku ingat siapa pemilik punggung dengan bahu tegap itu. Itu cowok nyebelin, cucu nek Anas.
Mama melihat ke arahku dengan senyum yang melebar, disusul dengan cowok itu memutar tubuhnya menatapku. Wajahnya masih sama seperti tadi pagi. Datar. Oke, aku akui ucapan Mama memang benar. Cowok dihadapanku ini memang ganteng. Badan tinggi, kulitnya bersih, hidung mancung dan mata cekung dengan mannik mata yang hitam membuat tatapan matanya tajam. Tapi mungkin ada masalah dengan bibirnya, karna tidak kunjung tersenyum bahkan saat aku mencoba ramah dengan tersenyum manis terlebih dulu.
"Ila." Mama memanggilku dan mengisyaratkan aku untuk mendekat.
"Inget kan La, ini siapa?"
"I-iya." aku mengangguk dan tergagap menjawab pertanyaan Mama. Kenapa juga aku gagap? "Nuel kan? Imanuel."
"Nuel inget Ila?" Mama beralih memandangnya.
"Iya, tante." jawabnya singkat. Sangat irit. Kayanya nih cowok terlalu memegang teguh peribahasa sampul buku limaratusan dapat dua. Mudah sobek pula. Hemat pangkal kaya.
Aku merasa sedang didunia asing saat ini. Dari tadi Mama cerita tentang masalalu aku dan Nuel. Aku mengacak-acak ingatanku tentang semua itu, tapi lagi-lagi gagal. Aku tak ingat satupun. Dan dia, si Nuel yang sekarang duduk disampingku selalu menjawab ucapan Mama dengan irit, seolah-olah dia ingat. Terus kenapa hanya aku disini yang tidak ingat apapun?
"Ma, kayanya gak deh kalo aku sama dia itu dulu temenan suka main bareng. Kapan coba? Aku gak inget sama sekali," aku akhirnya bicara begitu Mama selesai tertawa, ya menertawakan kisah saat aku nyemplung got karna di kejar ayam yang anaknya baru menetas. Tuh kan, gak mungkin aku kecil konyol kaya gitu.
Mendengar ucapanku Mama menatap Nuel dengan tatapan misterius seperti ada yang mereka sembunyikan, tapi dengan santainya orang itu meminum jus dihadapannya.
"Gini, La" akhirnya Mama yang buka mulut. "Dulu Nuel pernah gak sengaja dorong kamu terus kepala kamu terbentur besi ayunan. Waktu itu kamu nangis kenceng banget. Sambil teriak-teriak Nuel jahat, Nuel jahat. Hahaha.. Mungkin karna itu kamu jadi lupa. Hahaha.." Mama kembali tertawa.
"Ooh. Jadi karna elo kenapa gue suka lupa." aku melipat tanganku didada sambil menatapnya tajam, mengingat kerugian yang ia berbuat berakibat permanen padaku.
Dia menyeringai. Tersenyum meremehkan.
"Ada yang salah dari cerita tante. Kronologi sebenarnya begini. Waktu itu Ila jahil dengan mengambil permen saya, dia lari tanpa tahu kalau didepannya ada batu. Jadi dia tersandung, saya berniat menolong tapi yang saya dapat cuma permennya doang, sedangkan dia sudah terbentur besi ayunan." ucapnya panjang kali lebar, semata-mata membenarkan bahwa kejadian itu 100% adalah kesalahanku.
Seketika Mama membenarkan ucapan Nuel. Tawa Mama pun kembali meledak. Ck, sebenarnya anaknya siapa sih? Aku mulai meragukan kebenaran kartu keluarga.
Mendengar ceritnya barusan kayanya aku kecil bodoh banget. Kok bisa gak tahu kalau didepan ada batu. Udah tersandung, terbentur ayunan pula.
❄❄💧
Aku masih penasaran dengan sosok Nuel yang katanya teman masa kecilku. Aku berusaha mencari tahu tentang dia. Stalk akun facebook dan twitternya, tapi hasilnya nihil. Boro-boro mau stalk, dia ada akun facebook atau twitter aja gak. Huuuhh... Dasar orang primitif. Hidup di belahan Indonesia bagian mana sih dia, sampai media sosial aja gak punya.
Kecewa dengan hasil pencarian didunia maya, aku memutuskan untuk mencari album foto kecilku. Album foto itu aku tahu tersimpan di lemari ruang kerja Papa.
Uhuuukk.. Uhuuuk..
Aku terbatuk saat meniup permukaan album yang berdebu. Busyet. Udah berapa abad nih album gak dibuka?
Aku membolak-balik halaman album. Mencari sosok anak kecil laki-laki. Pencarianku terhenti pada foto pesta ulang tahunku yang ke-5. Aku mengenakan gaun berwarna merah muda yang mengembang. Bando pita besar berwarna senada melingkar dikepalaku yang hampir menutupi sebagian mataku. Aku tertawa melihat betapa konyolnya aku dulu.
Tapi dalam foto itu tidak hanya ada satu anak laki-laki. Dia yang mana?
Ya, mungkin ini dia. Anak laki-laki dengan celana kodok dengan topi kerucut khas ulang tahun yang menutupi seluruh keningnya, berdiri disampingku tanpa ekspresi. Dia memang tampak berbeda, jelas saja karna anak-anak yang lain tersenyum bahagia saat dipotret, bahkan aku menunjukkan dengan bangga gigi geripisku. Memang penyakit bawaan lahir nih anak. Sistem sarafnya mungkin rusak hingga susah menggerakkan otot-otot bibirnya untuk tersenyum.
❄❄💧
2
Aku melupakan masalalu kalau kamu memang menyebalkan sejak dulu❄❄
O
kay, teman masa kecil itu memang mainstream. Tapi kehendak imajinasi untuk memikirkan itu.
Tetap ikuti terus kisah mereka ya, dijamin seru.
Terima kasih untuk yang membaca.
Mohon vote dan coment nya😁
Sorry kalau typo😊
KAMU SEDANG MEMBACA
My Icy Boy
Roman pour AdolescentsAku menarik lengan Keyla, memaksanya mendekat padaku. "Lo gak ngerti bahasa manusia ya? Lo tunarungu?!" "Lepasin gue!" dia terus meronta, ku turuti kemauannya dengan menghempas lengan kurusnya. "Kenapa sih lo kasar banget sama gue? Salah gue apa sam...