Part 4

3.3K 239 0
                                    

Nadrah tidak menemukan bayinya di ruang ganti. Mungkin tadi Kiara menangis lalu diambil oleh salah seorang temannya. Dia mengambil dua tas pakaian yang tadi diletakkan di lantai, kemudian dengan pikiran berkecamuk, ibu muda itu melangkah menuju ruang depan resto.
Dilihatnya Shinta menggendong Kiara.

"Bagaimana, berhasil nggak?" tanya Shinta.

Nadrah belum menjawab. Tapi melihat kelesuan yang terpancar dari sorot mata temannya itu, Shinta sudah tahu jawabannya.

Maya dan Vira yang sedang membereskan meja, mendekati Nadrah.

"Aku bahkan belum sempat bilang apa-apa, Mbak. Manusia Es itu udah mancing keributan duluan. Lebih sialnya lagi, aku kepancing dan lupa tujuanku nemuin makhluk itu," lirih Nadrah.

"Kamu yang sabar ya, Nad. Pasti akan ada jalan keluar."

Vira menyemangati. Setidaknya hanya itu yang bisa dia lakukan untuk wanita malang di depannya. Dia ingin membantu meminjamkan uang pada Nadrah, tapi gajinya bulan ini sudah sangat tipis karena separuhnya dia kirim untuk biaya hidup keluarga di kampung.

"Insyaallah, Mbak. Aku akan coba nyari jalan lain," gumam Nadrah. Diraihnya Kiara dari gendongan Shinta.

"Mbak, bilangin ke Pak Miko ya, aku ijin gak masuk kerja," ujar Nadrah lesu.

"Mbak Nad mau ke mana? Kenapa gak nginap di tempat kami aja dulu?"

"Gak usah, May. Kalian akan sangat repot kalo ada aku dan Kiara. Mungkin aku akan ke tempat bibiku aja."

"Kamu yang hati-hati ya, Nad. Ini ambillah buat beli susunya Kiara. Walau gak seberapa, sih." Vira menyodorkan amplop yang berusaha ditolak oleh Nadrah.

"Gak usah, Mbak. Kalian selama ini udah banyak nolongin aku. Itu udah cukup."

"Jangan gitu, Nad. Anggap aja ini pinjaman dari kami. Suatu saat kalo kami butuh, kamu bisa balikin kalo udah punya uang." Vira membujuk lalu memaksa memasukkan amplop tersebut di tas pakaian Nadrah.

"Makasih buat kalian semua. Kalo dah punya uang, nanti aku balikin ya." Nadrah kembali terisak haru melihat kebaikan rekan-rekannya.

Setelah berpamitan, Nadrah meninggalkan resto diiringi dengan tatapan sedih dari Vira, Shinta dan Maya.

Ketiga rekannya sudah berusaha menahan Nadrah dan menawarinya tinggal di kontrakan mereka untuk sementara waktu, tapi Nadrah menolak dengan tegas. Harga dirinya cukup tinggi sehingga dia tidak ingin dikasihani.
___

Miko yang sudah mulai kesal mendengar keluhan-keluhan Wulan atas sikapnya, mendapat telepon dari seseorang.

"Ya, halo? Apa? Kapan? Baiklah aku segera ke situ." Miko menutup pembicaraan.

"Maaf, Wul. Aku lagi ada urusan penting. Aku pergi dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban Wulan, Miko melangkah keluar dengan terburu-buru.

"Nadrah mana?" tanya Miko pada Maya yang berpapasan dengannya di anak tangga.

"Di--dia sudah pergi, Pak. Mbak Nad ii--ijin nggak masuk kerja hari ini." Maya gugup. Dia menunduk tidak berani menatap Miko.

"Sialan," rutuk Miko meninggalkan Maya.

Langkah Miko panjang menuju luar resto. Pandangannya diputar ke segala arah mencari sosok Nadrah. Tapi tidak ada tanda-tanda Nadrah masih ada di sekitar resto.

"Sial ... ke mana dia?" rutuk Miko mulai kesal.

Miko melangkah menuju tempat mobilnya diparkir. Setelah berada di belakang setir, dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan agak cepat menuju jalan raya. Tatapannya diedarkan ke sekeliling jalan, berharap bisa menemukan Nadrah. Tapi apa yang dia cari tidak ditemukan.

Miko lalu memutar mobilnya berlawanan arah, menuju keluar kota. Sepanjang jalan wajah dinginnya makin membeku saja. Kalau sudah seperti itu, sulit untuk menebak bagaimana suasana hatinya saat ini.

Hampir dua jam perjalanan, mobil Miko memasuki pekarangan sebuah rumah mewah bergaya industrial modern.

Bagian dalam rumah tersebut memiliki interior yang unik, menampakkan visualisasi yang sangat atraktif.

Setelah berbicara dengan salah seorang pelayan di rumah tersebut, Miko memasuki sebuah kamar. Begitu pintu kamar dibuka, dia melihat sosok tubuh yang terbujur kaku di atas pembaringan tertutup kain panjang. Wanita paruh baya yang duduk dipinggiran ranjang, menangis tiada henti.

Miko terduduk di ujung kaki jasad pria itu. Wajahnya membeku. Namun, tidak ada air mata yang mengalir dari mata elangnya. Hanya rahangnya yang tampak mengeras menahan emosi.

Next.

Senandung Cinta NadrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang