Part 11

3.5K 226 0
                                    

Sampai kapan ia akan jadi tahanan seperti ini?

Pertanyaan itu berputar-putar di benak Nadrah tanpa henti. Mengikis keyakinannya untuk bisa pergi dari rumah tahanan yang mengekang kebebasannya.

Tidak ada kesempatan untuk kabur, selain pasrah dan menerima semua perlakuan Miko, atau anaknya yang akan jadi korban.

Nadrah melihat sosok yang berbeda saat ini. Dia seolah sedang berkaca pada kehidupan ketika dulu dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas mewah yang disediakan papanya.

Rambut tergulung dengan make up tipis sederhana, membuat ia kelihatan cantik dan anggun. Ditambah lagi dengan gaun putih yang dia kenakan, merubahnya menjadi seperti gadis yang baru menginjak usia dua puluh tahunan.

"Sudah selesai. Nyonya Nadrah sangat cantik, seperti seorang putri," puji pelayan yang sudah menyulap penampilannya itu.

"Aku lebih suka jadi bebek buruk rupa, Bik. Aku hanya ingin bertemu dengan anakku secepatnya," keluh Nadrah sedih.

Pelayan yang dipanggil Bi Ina itu terdiam. Dia merasa kasihan pada wanita cantik di depannya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena takut akan kemarahan Miko.
Apa yang akan terjadi pada wanita malang itu selanjutnya? Babak baru dari penderitaannya akan segera dimulai.

"Tabah ya, Nyonya. Apa pun yang terjadi, bersabarlah menghadapi Tuan Miko. Mungkin suatu saat dia akan luluh atas kesabaran Nyonya." Bi Ina mengelus pundak Nadrah.

"Sebenarnya, Pak Miko itu aslinya bagaimana sih, Bik? Kenapa dia sejahat ini sama saya?" tanya Nadrah lemah.

"Pada dasarnya Tuan Miko itu baik, Nya. Dia berubah jadi seperti itu karena ad...."

Kalimat Bi Ina terpotong. Nadrah melirik, dilihatnya pelayan paruh baya itu menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menatap ke dalam cermin. Nadrah mengikuti tatapannya dan melihat sepasang mata melotot dingin ke arah mereka.

"Bik, keluar!" perintah Miko agak tinggi.

Nadrah menatap wajah Miko. Pria itu selalu memasang tampang datar dan tidak terbaca.

"Apa kamu tidak bisa berbicara agak sopan? Walau cuma pelayan, tapi Bik Ina itu hampir seumuran ibumu mungkin," gumam Nadrah ketus setelah Bi Ina keluar. Dia mendongakkan dagunya, bersikap menantang.

"Bukan urusanmu!" balas Miko tak kalah ketusnya, "ayo ikut aku sekarang!" Diraihnya selendang putih di atas kasur lalu tanpa menunggu persetujuan, dia menyeret Nadrah keluar kamar.

Memang sejak kapan dia harus menunggu persetujuan saat ingin melakukan sesuatu? Dia selalu melakukan apa pun seenak jidatnya. Seperti hari ini, dia membuat rencana besar, tanpa meminta persetujuan Nadrah. Makhluk psiko memang.

Begitu sampai di kaki tangga, Nadrah  melihat beberapa orang sedang berkumpul di ruang tamu. Dia tidak mengenal satu pun di antara mereka.

"Jangan coba-coba melakukan hal bodoh jika kamu masih ingin bertemu anakmu," bisik Miko pada Nadrah.

Nadrah mendengus kesal. Tidak ada pilhan lain, ia hanya bisa pasrah mengikuti Miko yang setengah menyeretnya menuju orang-orang di ruang tamu.

Pilihan apa yang harus ia ambil? Setelah mendengar ancaman Miko yang selalu menggunakan anaknya, bagaimana bisa ia bernapas lega, dan bagaimana bisa ia hidup jika terjadi  hal buruk menimpa Kiara?

Di menit-menit berikutnya, Nadrah ingin berteriak mencaci maki dan memukuli Miko. Tapi dia tidak berani bertindak gegabah mengingat ancaman psikopat itu tadi.

Nadrah menahan tangisnya sekuat mungkin hingga prosesi akad nikah, atau lebih tepatnya pemaksaan itu selesai. Emosi menyesakkan itu menjadi siksa yang akan membawanya ke lubang hitam penderitaan.
___

Tepat pukul 17.00 WIB, pernikahan paksa itu telah selesai. Nadrah kini telah sah menjadi istri dari Miko, secara agama dan hukum.

Begitu para tamu yang telah menjadi aktor dari pernikahan paksa itu telah pulang, Miko menyeret Nadrah kembali ke kamarnya di lantai 2.

Tubuh Nadrah didorong masuk ke kamar lalu dikunci dari luar seperti biasa, tanpa sempat dia menyalurkan amarahnya pada Miko.

Nadrah menjatuhkan diri di depan pintu dan menangis sejadi-jadinya meratapi nasib buruk yang tiada akhir. Ia tetap seperti itu hingga tertidur di lantai. Bahkan dalam tidurnya pun, ia masih terisak.

Suara langkah kaki dan knop pintu diputar dari luar membangunkan Nadrah. Suasana kamar yang gelap menunjukkan hari sudah malam.

Lampu kamar dinyalakan. Miko melihat Nadrah meringkuk sambil memeluk kedua lututnya. Matanya bengkak habis menangis sepanjang sore tadi.

"Bangun! Kau harus makan agar bisa melayani suamimu!" perintah Miko dengan nada mengejek.

Nadrah bergeming. Dia tidak membalas atau menatap sedikit pun pada Miko seperti biasa. Tatapannya kosong terarah pada ubin lantai. Jiwanya lelah. Dadanya seperti tertusuk-tusuk benda tajam, napasnya menjadi berat.

Tiba-tiba tubuhnya tergeletak di lantai dengan kepala membentur kaki Miko. Setelah itu hanya ada pekat dan ruang hampa.

Senandung Cinta NadrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang