part 7

138 2 0
                                    

[ "Audri tunggu akuuu..."

aku tak menghiraukan teriakan itu. Aku lari sekencang mungkin seperti ada hantu yang mengejarku. Aku stop sebuah taksi dan kunaiki segera. Sesampainya di rumah aku mengunci pintu kamar.

Kumasuki toilet kubiarkan tubuhku basah dengan shower.
"Arghhhhh,,, Andraaaa...." aku berteriak suaraku menggema diantara rincik air shower. Bisa - bisa dia mengatakan itu padaku. Aku benci rutuk batinku liar.

Tapi mengapa hatiku bergejolak melihat penderitaan hidupnya. Sebenarnya apa dia bagiku.

Aku terbenam dalam luruhan air selama lebih satu jam. Setelah akhirnya ibu mengetuk pintu beberapa kali. Aku bergegas keluar setelah merapikan rambut dan bajuku.

" ada yang mau ketemu audri. Ayo rapikan dulu bajunya ibu tunggu di ruang tamu."

********

"Hai audri, apa kabar?" Suara itu mengagetkan ku hingga aku mematung . Fariz? Pria itu tersenyum di depannya.

"Audri kok melamun ini nak Fariz dari tadi nungguin kamu loh? Dia kan anak temannya ibu, anaknya bu Rita." Ibu menepuk pundakku lembut. Fariz mau apa kesini, bukankah aku sering kali mencuekannya di kantor lamaku.

"Ri, aku kesini atas suruhan ibuku dan ibumu. " ibu ke dapur. Fariz memulai pembicaraan bahasa tubuhnya terlihat gelisah tak karuan.

" Aku,... aku akan melamarmu besok." Kata itu seperti panah yang menancap di lidahku yang tiba tiba kelu. Tenggorokanku seperti tercekik.

"A--pa? Lamaran?" Suaraku terganjal.

"Ia neng ibu udah setuju dengan orang tua nak Fariz," ibu menjawab dari arah lorong ruang dapur. Seperti mendengar pembicaraanku.

"Tapi buu..., aku.." ibu menyeriangaiku. Aku tertunduk lesu.

"Kenapa neng, kamu udah pantas berkeluarga, mau apa lagi nak.?" Ibu memprotesku lebih dalam. Setelah Fariz pamitan.

*********

Aku pergi mengurung diri. Fariz memang pemuda yang baik hanya saja aku belum siap, dan aku tak mepunyai perasaan apapun padanya.

"Audri. Maafin kakak yang udah lancang ya, aku ingin kita bertemu di rumah sakit ada seseorang yang mau bertemu denganmu."

Bunyi sms yang masuk dari nomor andra. Membuatku terkesiap. Andra lagi lagi andra. Aku sudah membuang dia jauh dari lubuk hatiku. Tapi dia enggan berhenti menghantuiku. Dan aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Esoknya aku datang di rumah sakit yang andra tulis di sms. Aku takut terjadi sesuatu.

Andra menyambutku dengan mata yang berkabut, kerutan dahinya menunjukkan kegelisahan. Dia mengajakku ke sebuah ruang rawat inap. Kulihat dari luar seorang pasien perempuan tergeletak selang selang memenuhi tubuhnya layar monitor menemani membunyikan irama teratur. Tika? Itukah tika istrinya andra? Aku hanya menerka.

"Masuklah Audri, Tika sudah 3 hari berbaring disini kangker yang menjalari serviksnya makin ganas. Pendarahan hebat membuatnya kehilangan kekuatan. Dia sudah pingsan sejak kita pulang bertemu terakhir.

Mulutku gemetar, badanku meremang menatap wajah polos wanita yang penuh luka itu, aku yakin Andra suami yang sangat dia cintai. Aku tak mau hadir dalam segitiga kehidupan mereka, aku tak mau jadi mahluk yang disebut " madu" dalam pernikahan mereka.

Andra memegang erat tanganku.
"Audri, tika... tika.. divonis dokter..." suara itu terhenti tatkala air matanya meluruh bahkan membasahi seluruh pipinya yang memerah. Andra menangis, aku tak sanggup melihatnya seperti ini. Aku hanya sanggup mengelus tangannya menguatkannya dalam body language ku.

SURGA KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang