BAB 1

304 14 0
                                    

Justin menekuk kepalanya dengan tangan memegang bola kecil berwarna biru tua. Tangan kirinya meremas-remas bola itu dengan gemas. Tatapannya kosong melihat lantai kamarnya yang sudah bersih dari air yang kemarin tumpah. Gadis kemarin benar-benar membuat Justin nyaris gila hanya karena Justin menyentuh tangannya yang lembut dan kejadian tadi malam yang memalukan. Mata biru alami itu yang tidak akan pernah Justin lupakan. Gadis itu memang memikat, lagi pula, siapa yang tidak? Kakak-kakak dari Justin, mungkin. Justin dihina habis-habisan oleh Angelo dan Robert karena Justin tidak berani membuat Elanie terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan telanjang—yang diresponi oleh Justin dengan cara mengadukannya pada ayahnya.
           
Kepala Justin meneleng ke sebelah kanan lalu ia mengembus nafas panjang. Memberikan pakaian pada seorang gadis bugil di hadapannya saja sudah berhasil membuat Justin hampir pipis di celana. Apalagi jika membuat seorang gadis terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan telanjang? Membayangkan saja Justin tidak bisa. Hari ini ia akan bertemu dengan Elanie lagi di tempat pengambilan gambar untuk undangan pernikahan mereka. Ia pernah mendapatkan undangan pernikahan dari teman-teman kerja dan mainnya agar ia bisa datang ke pernikahan mereka. Dan sekarang, ia yang akan memberikan undangan-undangan itu pada mereka, tapi kali ini, Justin akan mengangkat dagunya ke atas. Tentu saja! Teman-teman Justin selalu mengejek Justin karena ia belum menikah. Hinaan itu sudah berlangsung selama 4 tahun tiap kali Justin dan teman-temannya bertemu. Luka batin yang mendalam sekarang akan sirna karena pembalasan dendam melalui undangan pernikahan sebentar lagi akan terwujud! Dan di hari pernikahannya, jika teman-temannya datang, ia akan membuat jari telunjuk dan tengahnya menyatu, lalu ia akan mengecupnya dan menyentuhkan dua jari pada bokong Justin. Cium bokongnya!
           
Bayang-bayang itu membuat Justin cekikikan sendiri seperti orang gila—dan memang gila jika orang bertanya pada kakak-kakaknya. Seseorang mengetuk pintu, membuat Justin menegakkan tubuhnya lalu bangkit dari pinggiran tempat tidur. Ia melempar sembarang bola biru kecil itu sambil berjalan menuju pintu kamarnya.
           
“Justin, sayang, apa kau sudah siap?” Suara ibunya terdengar. Ia membuka pintu kamar. Ibunya tersenyum, anaknya memang sudah sangat besar. Justin memakai kemeja putih yang mahal—yang sudah disetrika—serta celana jins biru yang menggantung di pinggang Justin. Memang Justin disuruh memakai pakaian sederhana seperti ini agar mereka tidak dihina terlalu mewah. Keluarga Bieber bukan tipe keluarga yang suka memamerkan barang-barang mereka yang memang mahal. Tetapi siapa pun yang melihat salah satu anggota keluarga mereka pasti akan menilai kalau ia—entah Angelo, Robert atau Justin—adalah orang kaya. Keluarga Bieber yang kaya itu mempunyai aura kekayaan sendiri meski mereka tidak menunjukkannya.
           
“Sebentar lagi kau akan menikah. Bukankah Elanie sangat cantik?” Kedua tangan ibu Justin menggantung di kedua bahu Justin. Justin menganggukkan kepalanya berkali-kali, seperti anak kecil yang sangat senang karena telah diberikan mainan. “Satu bulan lagi kau akan menikah.”
           
“Satu bulan?” Justin terkejut. Bukan terkejut ingin protes, tetapi terkejut senang! Sebentar lagi ia akan meminta teman-temannya mencium bokongnya. “Itu sangat bagus, bu.”
           
Ibu Justin mendesah. “Elanie juga akan berada di sana sebentar lagi, tidakkah kau ingin berangkat sekarang?” Tanya ibu Justin lembut. Justin mengangguk satu kali sambil tersenyum, ia tidak sabar ingin bertemu dengan Elanie lagi! Ibunya melepaskan tangan dari bahu Justin, ia membalikkan tubuhnya untuk turun ke lantai bawah.
           
“Eh!” Justin menahan ibunya hingga ibunya membalikkan tubuh kembali. “Boleh aku membawa dua dinosaurusku?” Tanya Justin menjinjit-jinjit berkali-kali. Tangan ibunya menyentuh tangan Justin yang berada di atas bahunya.

            “Tidak ada yang melarangmu.”

***
   
        
Siang itu Elanie memakai pakaian yang cantik. Gaun selutut yang tipis telah menempel di tubuhnya. Rambutnya sudah diikat sedemikian rupa hingga dihias dengan bunga-bungaan berukuran kecil di sekitar kepalanya beserta daun-daun kecilnya juga. Ia sudah dirias oleh penata rias yang disewa oleh keluarganya dan keluarga Bieber. Ia sedang menunggu Justin yang katanya sebentar lagi akan datang. Suasana hati Elanie sedang memburuk. Eline tidak bisa datang dihari pernikahannya nanti. Padahal satu-satunya saudara yang ia miliki hanyalah Eline. Ia membutuhkan Eline! Eline sudah menikah, otomatis Eline tahu bagaimana menjadi istri. Elanie sudah canggung berbicara dengan ibunya tentang bagaimana menjadi istri yang baik. Bukan tentang memasak atau mengepel lantai, hanya, saja …hal-hal yang teman-temannya sering bicarakan. Seks. Bagaimana caranya? Elanie menelan ludah melihat cerminan dirinya di depan.
           
Mengingat kejadian tadi malam tentu menjadi salah satu alasan Elanie ragu kalau ia akan disentuh oleh Justin. Elanie benar-benar menghargai Justin karena Justin tidak berani menyentuhnya atau mengintip ketika ia mengganti pakaian, tetapi, menggandeng tangan saja Justin sudah gemetaran! Bagaimana berhubungan badan nanti? Sebuah suara mengalihkan pikiran Elanie hingga Elanie membalikkan tubuhnya ke belakang. Dari mulut pintu tenda terlihat seorang pria yang kelihatan tampan, bersemangat dan hebat di ranjang. Sangat diragukan jika itu bukan Justin. Pria itu berlari ke arah Elanie hingga rambutnya naik-turun. Lucu.
           
“Hey,” sapa Justin menelan ludah. Perasaan ganjil yang kemarin itu kembali terasa di sekujur tubuh Justin. Entahlah, tapi Justin merasakan panas dari dalam tubuh. Ia melihat Elanie dari atas, lalu ia mendesah. Gadis ini sangat cantik bagaimana pun pakaiannya dan riasannya. Ia tak sabar ingin mengambil foto dengan Elanie. Justin cukup merasa bangga karena ia telah memegang tangan Elanie dan sekarang ia akan melakukannya lagi. “Kau sangat cantik.”
           
Elanie terkekeh. “Pujian klasik,” komentar Elanie. “Kau tampak lebih tampan dari kemarin. Kemana yang lain? Maksudku, kakak-kakakmu?” Tanya Elanie. Justin mendesah dengan kesal. Hinaan dari kakak-kakaknya masih membakar perasaannya. Ia butuh Elanie untuk menyiramnya dengan air, tetapi Elanie malah memberikan kayu lebih banyak lagi.
           
“Jangan tanya tentang mereka,” ujar Justin dengan raut wajah masam. “Tapi kita akan menikah 1 bulan lagi, oh yeah,” Justin menari-nari kecil di tempatnya sambil menjentikkan jarinya.  Elanie terkekeh dengan tingkah Justin. Setidaknya Justin tidak mudah terlarut dalam kesedihannya. Elanie tahu bagaimana rasanya menjadi seorang adik. Dari nada bicara Justin di kalimat awal, dapat terdengar Justin sedang marah pada kakak-kakaknya.  Pipi Elanie memerah, tangan Justin menarik tubuhnya agar bangkit dari kursi. “Ayo, menari. Jangan malu-malu,”
           
Elanie menggelengkan kepalanya. “Tidak, Justin. Itu konyol,” Elanie berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Justin. Namun Justin malah menggoyangkan pinggulnya pada pinggul Elanie. Kalau saja kakak-kakak Justin berada di hadapan Justin sekarang, mereka tahu sebentar lagi Justin akan mati karena gugup menari bersama seorang gadis seperti Elanie. Justin hanya pintar menyembunyikan perasaan itu dari gerak-geriknya.
           
“Justin,” suara seseorang yang benar-benar ia kenal terdengar. “Apa yang kaulakukan?” Tanya seorang pria bertubuh tinggi serta kulitnya yang hitam dengan sebuah kamera menggantung di lehernya. Sontak Justin menghentikan gerakannya. Entah dari mana asalnya, Justin langsung maju satu langkah ke depan Elanie, berniat untuk melindungi Elanie.
           
“Kau yang akan mengambil foto hari ini?” Tanya dengan suara yang berbeda. Oh.
           
Pria berkulit hitam itu terkekeh. “Tentu saja, bodoh! Kau pikir kamera ini gunanya untuk apa?” Tanya pria kulit hitam itu menatap Justin dengan tatapan mengejek. Elanie dapat mendengar dengusan dari hidung Justin.
           
“Kaupikir aku lupa dengan apa yang telah kaulakukan padaku? Kau tahu apa? Ingatan itu masih segar seperti daging yang diambil dari kulkas. Aku tidak akan pernah melupakannya, Jimmy,” ucap Justin seperti mengalami sakit hati yang mendalam. Sebenarnya, apa masalah mereka berdua? Pipi Elanie merah padam sekarang. Didengarnya pria bernama Jimmy tertawa lalu berhenti seketika. Seperti yang ada di film-film.
           
“Saat itu aku tidak sengaja, Mr.Bieber,” ucap Jimmy menghela nafas panjang. “Kau orang kaya. Jadi, untuk apa kau memikirkannya? Kau bisa membelinya lagi,”
           
“Kau merusak Brachiosaurus-ku!” Isak Justin. “Kau sengaja memberikan Brachiosaurus-ku pada anjing bodoh itu! Kaupikir aku tidak akan sakit hati?” Tanya Justin menunjuk-nunjuk dadanya. Jimmy hanya menganggap Justin seperti lelucon. Kejadian itu sudah lama sekali terjadi. Bahkan saat itu mereka masih berumur 10 tahun, siapa yang akan mengingat itu selama 17 tahun? Justin. Mungkin hanya Justin yang melakukannya karena tiap kali Jimmy bertemu dengan Justin, Justin selalu mengungkit masalah dinosaurus kesayangannya itu. Jimmy pikir, Justin sudah tidak mengingatnya lagi. Well, sebenarnya, salah Jimmy juga karena keesokan harinya Jimmy tidak mau bermain lagi bersama Justin lagi di sekolah karena ia merasa bersalah. Elanie maju ke depan, melewati Justin.
           
“Jadi semua ini hanya karena mainan dinosaurus bodoh itu?” Desah Elanie memegang lengan Jimmy, ia hampir jatuh. Justin menatap Elanie dengan tidak tatapan tak percaya.
           
“Dinosaurus bodoh itu? Itu bukan dinosaurus bodoh, Elanie! Brachiosaurus adalah dinosaurus yang baik sepanjang sejarah. Teganya kau!” Justin membuang wajah, marah. Elanie menggelengkan kepalanya, ia tidak percaya Justin bertingkah seperti anak kecil. “Sudahlah. Tidak ada yang mengerti perasaanku. Kita ambil foto saja sekarang.”

Pure Love || Herren Jerk Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang