"Sayang, apa kamu mencintai Louis?" Ava mengangkat kepalanya. Ia mengunyah makanannya sebelum menjawab pertanyaaan mamanya. Ava mengerti perasaan mamanya yang mungkin tak mau melihat Louis lagi, bagaimanapun kenangan buruk itu pasti masih menempel dengan jelas di ingatan mamanya.
"Aku tidak mencintainya."
"Tapi Louis memintamu untuk memberinya kesempatan?" Ava diam, dia ingat akan janjinya pada Louis, dia tak mungkin mengingkari janjinya sendiri.
"Kadang mencintai orang itu begitu susah, kadang juga cinta begitu mudah untuk datang. Rasanya mama masih tak rela jika kamu bersama dengannya, Louis memang akan melakukan apapun untukmu, tapi ia juga bisa memaksamu untuk melakukan hal yang dia mau. Kamu tahu Louis bagaimana kan?"
Ava mengangguk, ia kembali memakan makanannya dalam diam. Pikirannya kembali tertuju pada Louis, pria itu memang tak sejahat yang ia kira. Dia lah yang menyelamatkan mamanya, dia pulalah yang rela membunuh papanya sendiri demi menyelamatkan orang lain.
Ava akui tindakan Louis itu sangan ekstrem. Membunuh bukanlah hal kecil yang bisa dilakukan begitu saja, Ava bertanya-tanya mungkinkah Louis menyesali apa yang telah ia lakukan dulu? Apakah Louis juga bersedih setelah menyadari apa yang baru ia lakukan?
Semalam, mamanya bercerita bahwa polisi sempat mencurigai Louis, tapi Louis dan mamanya telah sepakat untuk berbohong dan mengatakan bahwa Lery— ayah Louis meninggal karena bunuh diri. Lery menyesal telah membunuh Rian— ayah Ava, hingga menyebabkan ia mengambil tindakan nekad untuk membunuh dirinya sendiri.
"Untung rumah itu tidak memiliki CCTV."
Itulah yang mamanya bilang semalam. Ava tak tega melihat air mata yang mamanya keluarkan ketika bercerita mengenai masa lalu buruk itu. Mamanya bertemu dengan Lery di sebuah supermarket mereka hanya mengobrol sedikit ketika sedang antri di kasir. Siapa menyangka jika hari itu menjadi hari buruk untuk mamanya. Penculikan itu terjadi di basement yang sepi.
Ava tersadar dari lamunannya ketika mendengar nada dering dari ponselnya. Ia melihat nama Louis di caller idnya.
"Keluarlah, aku sudah di depan rumahmu."
Panggilan itu ditutup begitu saja setelah Louis mengucapkan apa maksudnya. Ava menatap mamanya, meminta persetujuan. Dirinya merasa tak enak jika langsung mengundang Louis masuk.
"Tidak apa-apa, suruh dia masuk. Mama mau ke kamar dulu."
Ava terdiam sebentar sambil melihat ponsel yang masih dipegangnya, di satu sisi ia sudah berjanji pada Louis akan memberinya kesempatan, di sisi lain, mamanya masih belum bisa melihat wajah Louis tanpa teringat akan masa lalu.
Ava berdiri dari duduknya, ia keluar rumah untuk menemui Louis. Sekarang masih jam 7 pagi dan sepertinya Louis telah bersiap untuk mengganggu hidupnya.
"Apa tidak kurang pagi?" tanya Ava sarkatis ketika Louis turun dari mobil. Louis bersandar di mobilnya, hari ini ia memakai pakaian santai dengan kaos dan celana pendek selutut.
"Tentu saja tidak, aku mau mengajakmu jalan-jalan hari ini. Ingat janjimu Ava."
Ava melihat penampilannya, ia masih memakai kaos oblong, celana pendek, dan sendal jepit. Tidak mungkin ia pergi menggunakan pakaian seperti ini.
"Masuklah, aku mau ganti pakaian dulu."
Louis mengulum senyumnya, rasanya baru kali ini Ava tidak membantah. Biasanya wanita itu pasti akan mendorongnya menjauh, membantah semua yang Louis perintahkan. Louis melihat rumah itu, ia teringat saat dulu mengantar Ava pulang. Dia harus mengakui ketegaran Tante Irfa menghadapi semuanya, mereka belum pindah rumah sejak kejadian itu, padahal pasti banyak kenangan yang terjadi di rumah ini.
Louis hanya bisa meminta maaf pada Tante Irfa saat itu, ayahnya telah bertindak gila dengan menculik seseorang. Tak hanya itu ia juga menghubungi suami wanita itu untuk datang ke rumahnya lalu kemudian membunuh lelaki malang itu tepat di depan istrinya.
Louis menggelengkan kepalanya, mengusir kenangan buruk itu. Dia mengikuti Ava masuk ke dalam rumah, rumah besar itu begitu sepi. Tak ada tanda-tanda Tante Irfa jadi dia menyimpulkan bahwa hanya sendirian di rumah.
"Kita mau kemana?"
"Aku belum tahu, pakai pakaian santai saja," jawab Louis. Hari ini dia begitu antusias untuk mengajak Ava hingga ia lupa untuk memikirkan tujuan mereka. Berbagai tempat terlintas di pikirannya, tapi ia tak tahu apakah Ava akan menyukainya.
Setelah Louis menunggu selama 15 menit, Ava akhirnya telah selesai berganti pakaian. Ava menggigit bibir bawahnya, ia merasa sedikit tak percaya diri ketika Louis terus menatapnya. Ava pikir Louis sedang menilai penampilannya, pria itu bekerja di dunia fashion jadi wajar jika Louis pasti akan memperhatikan baju yang dikenakannya.
Ava tak terlalu mengerti soal fashion, ia hanya asal memakai baju, jika warna bajunya tidak matching pun ia tidak peduli, yang penting baju itu nyaman maka Ava akan memakainya.
"Kau cantik, Love." Ava berdeham, ia berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh dengan kedekatan tubuh Louis. Tapi pria itu tentu saja semakin menggoda Ava dengan berbisik di telinganya dan memberikan kalimat pujian untuknya. Ava bergidik ketika merasakan Louis meniup telinganya pelan.
"Louis!"
Louis terkekeh mendengar teriakan kesal Ava. Dirinya sengaja menggoda Ava, ia suka dengan efek yang ia timbulkan pada tubuh Ava. Louis mencuri sebuah ciuman singkat dari bibir Ava, membuat teriakan Ava semakin kencang.
Louis menerima pukulan dari Ava, tapi hal itu tetap tak melunturkan senyum di bibirnya. Lagipula pukulan Ava tak ada apa-apanya jika dibanding dengan pukulan ayahnya dulu.
"Aku tidak mau berangkat kalau kau mesum seperti itu," ucap Ava kesal. Tanpa banyak bicara Louis justru mengangkat tubuh Ava, dia tak melepaskan Ava meskipun wanita itu telah berteriak minta diturunkan.
"Diamlah, Sayang, nanti kamu jatuh kalau bergerak terus."
Irfa melihat apa yang terjadi dengan Louis dan putrinya, ia tadi mengira Ava dalam bahaya karena berteriak memanggil nama Louis, tapi ternyata mereka berdua sedang bercanda. Senyum tipis menghiasi wajah Irfa ketika mendengar suara pintu yang tertutup. Sedari tadi Louis tak menyadari keberadaan Irfa. Perhatian Louis sepenuhnya tertuju pada Ava.
Irfa sadar bahwa mungkin Ava akan mudah untuk menerima Louis, apalagi Louis telah membuktikan pada Ava bahwa dirinya bukanlah orang jahat. Louis telah berhasil meraih simpati Ava, dan mungkin saja sebentar lagi Louis akan mendapatkan apa yang dia mau.
Irfa mengerti dirinya tak bisa menghalangi takdir Tuhan, jika memang mereka berjodoh, dia tak bisa melakukan apapun. Kebahagiaan putrinya selalu menjadi prioritasnya. Dia hanya harus melupakan masa lalu, dan tak melihat Louis seperti ia melihat Lery.
Irfa tahu ada kebaikan dalam diri Louis, tapi sebagai seorang ibu dan wanita, ia takut kalau Louis akan lepas kontrol dan mungkin melakukan hal yang tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan Lery dulu. Irfa khawatir dengan keselamatan anaknya.
Irfa teringat akan pesan yang Louis kirimkan semalam.
Aku tak pernah berhenti untuk meminta maaf akan apa yang ayahku lakukan. Terimakasih Tante sudah menjaga Ava, sekarang biarkan aku ikut menjaganya dari dekat. Ava adalah kebahagiaanku, tolong biarkan aku untuk mendapatkannya.
Irfa meneteskan air matanya ketika mendapat pesan itu. Louis memang tak pernah bercerita padanya mengenai apa yang telah ayahnya lakukan selama ini. Tapi melihat bagaimana Lery memukul Louis saat itu, Irfa yakin bahwa Lery bukanlah ayah yang baik untuk Louis. Anak itu mungkin saja tak pernah bahagia ketika hidup dengan Lery.
Irfa masih ingat bagaimana ekspresi Louis setelah membunuh ayahnya, dia begitu dingin dan seperti orang yang tak memiliki perasaan.
Setelah pemeriksaan polisi akan sebab kematian Rian dan Lery, Irfa sempat bertanya pada Louis sebelum mereka berpisah dan tak pernah bertemu lagi, apakah Louis menyesal telah melakukan semuanya dan jawaban Louis sama sekali tak terduga.
'Aku menyesal tak membunuhnya lebih awal, aku terlambat menyadari bahwa selama ini ia membesarkanku dengan kebencian. Kematian mama bukan salahku tapi ia menghukumku selama 18 tahun ini. Dengan begini aku bisa bebas, Tante juga bisa menjaga Ava.'
********
See y