Ava melihat tangannya yang saat ini sedang berada di genggaman Louis, tangan kuat itu sedari tadi tak melepaskan genggamannya. Seolah jika tangan itu lepas sedetik saja maka Ava akan pergi darinya.
Ava mengangkat pandangannya menuju wajah Louis, rupanya pria itu kini juga tengah menatapnya. Ava segera mengalihkan pandangannya, entah kenapa dia merasa malu ditatap intens seperti itu.
Louis tak mengatakan apapun selain mengulum senyumnya, dia nyaman dengan keheningan di antara mereka. Betapa dia selalu memimpikan saat seperti ini, ketika Ava berada di sampingnya, berada di jangkauan tangan dan matanya.
Louis tak pernah bosan untuk melihat Ava, wajah wanita itu telah menjadi candu untuknya. Sayangnya perjuangan untuk mendapatkan Ava juga tidak mudah. Louis teringat akan segala penolakan Ava dan juga kemarin saat ia harus mengungkap semua masa lalu kelam itu.
"Ava, apa kau tidak apa-apa? Yang aku sampaikan kemarin bukanlah hal ringan, kau pasti kembali mengingat papamu."
Ava menatap Louis dengan goresan senyum tipis di bibirnya. "Aku berusaha untuk merelakan semuanya. Kesalahan ayahmu, bukan menjadi tanggung jawabmu. Maaf aku belum mengucapkan terimakasih padamu karena telah menyelamatkan mama dan tidak membunuhku."
Louis melepaskan genggaman tangannya dan menarik tubuh Ava untuk semakin mendekat padanya. Dia tidak peduli jika ada orang yang melihatnya, ia hanya ingin memeluk Ava dan ia akan melakukannya. Louis mendaratkan sebuah kecupan di kening Ava.
"Louis!" Ava berusaha untuk melepaskan tubuhnya dari dekapan Louis, saat ini mereka berada di pantai dan tentu siapapun dapat melihat apa yang Louis lakukan padanya. Dia merasa malu dengan segala tatapan yang ia peroleh dari beberapa orang yang sedang lewat.
"Apa? aku sedang mengucapkan 'terimakasih kembali' dengan caraku."
"Jadi caramu mengucapkannya dengan menciumku seenaknya?" Louis mengangguk tanpa rasa bersalah. Ia merangkul pundak Ava, tidak peduli dengan segala protes yang keluar dari bibir Ava.
Angin berhembus menerpa tubuh mereka berdua, Ava masih saja cemberut karena Louis tak mau melepaskannya, sementara senyum selalu menghiasi wajah Louis. Tatapan matanya lurus ke depan, menatap laut yang terbentang luas dan tanpa batas. Di dalam hati, Louis mengucapkan syukur atas apa yang ia peroleh kini. Dengan Ava yang mulai menerimanya maka hidupnya telah sempurna. Meskipun hubungan mereka masih begitu rapuh setidaknya ada harapan kecil untuk Louis mendapatkan kebahagiannya.
"Aku pikir kau akan membenciku karena apa yang ayahku lakukan."
"Jangan bicarakan itu lagi, aku ingin menyegarkan otakku dari semua yang telah kau katakan kemarin, siapa yang tau bahwa ternyata hidup bisa begitu rumit. Sudahlah, kepalaku pusing jika memikirkan hal itu lagi. Sekarang, kau harus membelikanku es krim karena telah membuatku sedih kemarin." Ava mengalihkan pembicaraaan secara tiba-tiba. Ava menarik tangan Louis untuk menemaninya mencari es krim.
Tak pernah terbayang di kepala Ava bahkan dirinya akan begitu nyaman saat bersama Louis, sepanjang hari ini dia bisa bercanda dan tersenyum bersama Louis. Ava mencoba untuk melihat Louis dari sisi yang berbeda, bukan sebagai orang asing yang selalu memaksanya tapi sebagai seorang laki-laki yang meminta kesempatan dirinya.
Dulu, Ava bisa menutup mata dan mengabaikan semua perhatian dan kelembutan Louis, tapi sekarang dia tidak bisa mengabaikan itu semua. Ava memperhatikan setiap hal kecil yang Louis lakukan, seperti bagaimana Louis memperhatikannya, bagaimana senyum Louis terbentuk hanya karena mendengar candaan garingnya dan Ava juga memperhatikan sikap protektif Louis. Sebenarnya Ava adalah orang yang cukup ceroboh, dia bisa tersandung dan membentur sesuatu tanpa alasan yang jelas.
"Ava, apa matamu bermasalah? Nanti kita periksa ke dokter, ya?"
"Mataku tidak bermasalah, aku hanya sedang tidak fokus hingga hampir menabrak pohon," ucap Ava membela diri, tadi Ava sedang melotot pada para wanita yang melihat Louis, Ava tidak fokus dengan jalannya hingga hampir menabrak pohon jika Louis tidak menghentikannya.
Ava dibuat kesal dengan para wanita itu yang meminta foto dengan Louis, yang lebih menyebalkan lagi, Louis tidak menolak permintaan mereka. Rasanya Ava ingin meninggalkannya saat itu juga, Ava tidak suka diabaikan.
"Sayang, kau tidak perlu melotot pada mereka yang melihatku, aku hanya milikmu, tenang saja."
Ava menatap Louis tajam, sebelum berjalan meninggalkannya. Dia kesal dengan apa yang diucapkan Louis. Ava merasa dirinya tidak cemburu, ia hanya kesal dengan para wanita itu yang tidak bisa menjaga pandangannya. Dia juga kesal dengan Louis yang mengabaikannya ketika para wanita itu meminta foto.
"Baby, tunggu. Maafkan aku, aku hanya ingin tahu reaksimu."
Ava semakin marah dengan Louis, dia tidak suka dipermainkan. Louis memeluk tubuh Ava supaya wanita itu tak bisa lari darinya. Dia sebenarnya juga ingin tertawa melihat wajah kesal wanitanya, tapi jika ia tertawa maka Ava pasti akan semakin kesal padanya.
"Louis, lepaskan!"
"Tidak mau, dengan begini mereka tahu bahwa aku sudah ada yang punya."
Ava berusaha untuk tetap terlihat kesal. Louis selalu pandai merangkai kata untuk membuatnya memerah ketika mendengar ucapannya. Belum lagi, tatapan orang-orang yang lewat membuat Ava ingin segera bersembunyi sekarang juga.
"Louis iya aku memaafkanmu, sekarang lepaskan." Louis tersenyum lebar sebelum melepaskan Ava.
Sisa hari itu mereka lalui dengan saling bercerita mengenai diri masing-masing, tak ada yang menyinggung mengenai masa lalu lagi. Mungkin besok atau entah kapan mereka akan kembali mengungkit masa lalu itu, tapi untuk sekarang, Ava dan Louis ingin melupakan semuanya.
Ava menatap pemandangan kota saat malam hari dari balkon apartemen Louis, ia sebenarnya sudah meminta untuk diantar pulang, tapi Louis bersikeras untuk menahannya lebih lama lagi.
"Apa kau sudah menelpon mamamu?" Louis datang dengan membawa dua buah mug di tangannya. Ia memberikan satu untuk Ava, mug itu berisi coklat panas, salah satu minuman kesukaan Ava.
"Terimakasih," ujar Ava. "Aku baru saja menelponnya, mama berpesan bahwa aku tidak pulang terlalu larut, ia juga bertanya apakah kau macam-macam padaku."
Louis terkekeh, ia berdiri di samping Ava, matanya tertuju pada pemandangan di bawah sana. Louis menyesap minumannya, menikmati rasa hangat itu mengalir di dalam tubuhnya.
"Apakah menciummu termasuk macam-macam?"
"Iya, kau tidak boleh menciumku. Hubungan kita masih belum jelas." Louis menoleh pada Ava, ia memperhatikan rambut Ava yang tertiup angin, wajah cantik Ava yang polos tanpa make up serta bibir merah muda Ava yang selalu menggodanya.
"Untukmu mungkin belum jelas, tapi untukku sudah sangat jelas. Kau calon istriku, teman hidupku hingga aku meninggalkan dunia ini."
Ava menghembuskan napasnya kasar, "jangan terlalu yakin dengan masa depan, kau tidak pernah tahu apa yang terjadi nanti. Tuhan kadang suka memberi plot twist di setiap chapter kehidupan manusia. Siapa yang tahu bahwa mungkin aku bukan jodohmu, siapa pula yang tahu jika mungkin kau dan aku akan berpisah. Masa depan manusia adalah sebuah misteri—"
Louis membungkam mulut Ava dengan menciumnya, Louis tidak suka dengan apa yang baru didengarnya. Ia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi jika Ava meninggalkannya, dia sudah menunggu Ava sangat lama dan ia tak mau kehilangannya.
"Aku mencintaimu, jika kau meninggalkanku, maka aku akan menyusulmu kemanapun itu."
******
Bye, see y...