Louis menyandarkan kepalanya di pundak Ava, Ava sudah beberapa kali melarangnya, tapi Louis tetap saja melakukannya. Ava sedang mononton film tapi Louis selalu saja mengganggunya, entah itu meniup telinga Ava atau bahkan mencium Ava seenaknya. Sampai-sampai Ava ingin menutup mukanya sendiri supaya Louis tak bisa lagi menciumnya sembarangan. Sayangnya, jika ia menutup matanya maka ia tak bisa melihat film kesayangannya. Film action itu begitu sayang untuk dilewatkan, dan untung saja penyakit ngantuk Ava belum kambuh, biasanya Ava akan tertidur jika sudah berada di pertengahan film.
"Louis berhenti menciumku."
"Aku tidak bisa mencegah bibirku Ava, lagipula apa salahnya mencium kekasih hatiku." Ava memutar matanya, ia kembali memusatkan perhatiannya ke film yang sedari tadi menyita perhatiannya.
"Aku belum menjadi kekasihmu," ujar Ava dengan santainya. Ia tak melihat ekspresi Louis yang langsung berubah datar setelah mendengar ucapannya. Louis sebenarnya sudah ingin menjadikan Ava sebagai kekasihnya tapi ia ragu jika Ava sudah siap untuk menjalin hubungan dengannya.
Setiap kali Ava mengingatkan Louis tentang status mereka, maka Louis akan berubah kesal. Louis memikirkan bagaimana cara membujuk Ava untuk mau menjadi kekasihnya, dia tak mau ditolak.
Tangan Louis berada di rambut Ava, merasakan helain lembut itu di tangannya, mata Louis tak lepas dari wajah Ava. Bagi Louis, wajah itu lebih menarik dari film yang saat ini sedang tayang. Louis tak bisa mencegah dirinya untuk kembali mengecup pipi Ava.
"Louis!"
"Iya, Sayang? Jangan berteriak seperti itu, nanti takutnya ada yang mendengarmu dan mereka mengira aku sedang melakukan sesuatu padamu, padahal kan aku belum melakukan apa-apa."
Ava menoleh menatap Louis, keningnya berkerut. "Memangnya mereka mengira kau akan melakukan apa?" tanya Ava.
"Tidak ada, lanjutkan menontonnya," ujar Louis. Louis yakin Ava sebenarnya mengerti apa yang ia maksud, hanya saja Ava memilih untuk pura-pura tidak tahu. Membuat kesal Louis sepertinya telah menjadi hobi baru Ava, kadang Louis memang terpancing tapi sampai saat ini Louis tak memiliki masalah dengan semua itu.
Kekesalannya pada Ava hanya sebentar, setelahnya Louis akan kembali menempel pada Ava. Louis masih sama seperti dulu, ia tak bisa mengontrol tangannya untuk tidak meraih Ava. Louis juga tidak tahu kenapa dia seperti itu, mungkin ia memang butuh menikah secepatnya, dan sayangnya wanita yang ingin dinikahinya sedikit kurang peka dan membiarkan hubungan mereka menggantung seperti jemuran.
"Ava, maukah kau menjadi kekasihku?" Ava langsung menoleh, matanya terbuka lebar, menyadari apa yang baru Louis katakan.
"Louis kau gila." Ava tak tahu apa yang di pikiran Louis ketika menembaknya begitu saja. Jangan harapkan bunga apalagi makan malam romantis, mereka saat ini berada di rumah Louis, dengan popcorn dan botol minuman yang bertebaran di atas karpet.
"Aku tidak gila, Sayang. Aku sudah memberimu waktu untuk mengenalku selama beberapa minggu ini, apa itu tidak cukup untuk meyakinkanmu bahwa aku benar-benar mencintaimu?"
Raut wajah Ava berubah serius. Selama tiga minggu ini dirinya memang selalu menyempatkan waktu untuk bertemu dengan Louis, mereka mengobrol, mereka saling mengenal bahkan mereka telah bercerita mengenai masa lalu masing-masing. Pandangan Ava mengenai Louis memang telah berubah, yang awalnya ia menganggap Louis sebagai orang jahat yang hanya ingin memuaskan obsesinya, kini Ava melihat Louis sebagai seorang lelaki yang ingin mendapatkan seseorang yang dicintainya.
Louis selalu mengingatkan Ava akan perasaannya, Louis tak ragu untuk mengatakan cinta dimanapun itu, membuat Ava selalu bertanya mengenai perasaannya sendiri. Ava bahkan pernah hampir kelepasan membalas pernyataan cinta Louis, tapi ia terselamatkan oleh kedatangan mamanya.
Ava menatap wajah Louis, Ava tak meragukan ketampanan pria itu, setiap kali Ava memperhatikan Louis, maka saat itu otak Ava akan langsung berpikir mengenai apa alasan Louis menyukainya, Ava tak ada apa-apanya jika dibanding dengan para model yang menjadi teman Louis. Ava yakin Louis telah melihat banyak wanita cantik tapi entah kenapa Louis justru memutuskan untuk menyukainya, seorang wanita biasa.
"Kau tidak romantis," ucap Ava.
"Jadi jawabannya iya atau tidak, Sayang? Kau sudah mengenalku, bukan? Atau aku harus bersabar lagi untuk mendengar jawaban positif darimu?" Ava diam sejenak, ia menggigit bibir bawahnya.
Ava masih ragu dengan perasaannya, memang ia kesal jika Louis berdekatan dengan wanita lain, tapi Ava tak tahu apakah itu berarti ia telah jatuh pada pesona seorang Louis Alexander. Louis bukan lagi menjadi orang asing untuknya, wajah itu sering kali ia lihat, bahkan kadang suara Louis lah yang pertama kali ia dengar ketika bangun tidur. Louis selalu menelpon Ava setiap pagi, membangunkan gadis itu dengan teleponnya.
Ava tersenyum, ia sudah mengambil keputusan, mungkin ini saatnya ia mencoba untuk melangkah maju.
"Tak apa jika kamu ragu, aku akan menunggumu, asalkan kau tetap bersamaku dan tidak mencoba kabur, aku akan selalu memberimu waktu. Aku tahu, aku datang tiba-tiba dalam hidupmu, mungkin aku telah mengacaukan hari-hari tenangmu tapi aku tak bisa mencegah diriku ketika melihatmu, ketika untuk pertama kalinya dalam 10 tahun penantianku, matamu tepat tertuju padaku. Aku sudah bilang kan? Selama penantianku, aku hanya bisa melihatmu dari jauh, aku tidak bisa melihat manik matamu, aku tak bisa melihat kecantikan itu dari dekat, aku tak bisa memelukmu meskipun aku ingin, aku tidak bisa menggodamu hingga wajahmu memerah seperti sekarang..."
"Louis, berhenti merayuku. Iya aku... mau." Suara Ava semakin lirih ketika ia menyatakan persetujuannya. Ava tak tahu kenapa ia malu seperti ini, Louis juga tak melakukan apapun sejak ia mendengar persetujuan Ava. Pria itu hanya diam, membuat Ava bertanya-tanya jika Louis mungkin merubah keputusannya untuk menjadikan Ava sebagai kekasih.
Tiba-tiba Louis memeluk Ava dengan erat, mencurahkan kebahagiaannya karena jawaban Ava. Ava membalas pelukan hangat itu, ia menikmati kehangatan yang Louis berikan.
"Terimakasih, Sayang, aku mencintaimu." Louis melepas pelukannya, ia mencium bibir Ava dengan lembut, mencurahkan perasaannya.
"Kalau seperti ini apa bedanya hubungan kita, saat belum menjadi kekasihku kau juga suka menciumku," ujar Ava setelah Louis melepas tautan bibirnya. Senyum menghiasi wajah Louis, menambah kadar ketampanannya.
"Sekarang kita harus pakai 'aku kamu', tidak ada kata 'kau' lagi."
Ava melihat jam di tangannya, "kau resmi menjadi kekasihku selama 50 detik dan sudah membuat peraturan untukku."
Louis tiba-tiba mencium bibir Ava, ia tetap tersenyum meski Ava baru saja mendorong tubuhnya hingga hampir terjungkal.
"Satu ciuman untuk setiap pelanggaran." Ava mendelik pada Louis yang terlihat begitu puas dengan peraturan yang baru dibuatnya.
"Aku juga punya peraturan, kamu tidak boleh mencium dan memelukku tanpa ijin, jadi kalau mau peluk bilang ke aku dulu."
"Enak saja, tidak bisa begitu," ucap Louis menolak gagasan Ava.
"Kalau begitu aku juga tidak mau menuruti peraturanmu." Louis menghembuskan napasnya kasar.
"Baiklah, terserah mau kau atau kamu. Yang jelas aku tidak mau kehilangan jatah ciumanku." Ava tersenyum puas telah menang dari Louis. Ava kembali melihat ke arah televisi, film yang tadi ia tonton kini tengah sampai di pertengahan. Ava menyalahkan Louis yang membuatnya lupa waktu.
Louis memandang wajah Ava sebentar sebelum kemudian perhatiannya terlaih pada jari jamari Ava, Louis memegang tangan Ava, ia mencium jari lentik itu.
"Aku semakin tak sabar menunggu jari ini berhias cincin dariku."
*******
Yang baper, yang baper... saya jual pacar sewaan 1 juta perjam