Bubur Ayam

141 1 1
                                    

Sudah lama pengnglihatanku terganggu. Namun, aku enggan periksa mata. Aku takut dokter menyarankanku memakai kacamata. Ribet, pikirku. Semakin hari semakin mengganggu. Akhirnya aku putuskan periksa ke dokter spesialis mata.

Aku berangkat sore hari. Tentu saja aku pergi bersama suamiku. Hari kebetulan aku dan suami sedang puasa. Dokter baru buka setelah Magrib. Aku pun mencari menu untuk berbuka. Kami tinggalkan si kuda besi terparkir di halaman tempat praktik dokter.

Kami berjalan di trotoar yang sangat sempit. Bahkan, sesekali kami berjalan di bahu jalan. Jalanan saat itu padat.

"Yang, kamu jalan di depan!" Perintahnya.

Aku pun setuju dan mengangguk. Jika aku di depan dia bisa menjagaku. Terus saja kulangkahkan kakiku sampai jauh.

"Allahuakbar... Allahuakbar... " Adzan pun berkumandang.

Kami belum dapat makanan atau minuman untuk berbuka.

"Mau jalan sampai mana?" tanyanya.

"Enggak tahu." Aku menggeleng.

Wajahnya agak kesal. Aku malah ikut kesal.

"Aku kan gak tahu jalanan di sini." Alibiku.

"Aku juga gak tahu," ujarnya agak meninggi.

Aku menunduk. Sedih. Tak terima dibentak seperti itu.

"Maaf, ya udah kita beli minum dulu."

Kini aku ikut saja apa yang dia katakan. Ikut juga ke mana dia melangkahkan kakinya.

Kami berhenti di sebuah warung. Dia membeli air mineral dan teh kotak. Kucari tempat duduk. Lalu aku membaca doa:

"Dzahaba dhoma uu wabtalatil 'uruuqu watsabatal ajru insya Allah"

Kuteguk air mineral. Hilanglah dahaga. Kutenggak pula teh kotak. Begitu pun dia.

Kami lanjutkan pencarian kami. Kami melangkah sambil menerawang jalanan. Melirik kedai-kedai di pinggir jalan.

"Mau semacam pecel lele atau ayam goreng?" sarannya.

"Boleh."

Kami pun menyebrang. Ternyata dia salah. Tak ada kedai pecel lele di sana.

"Eh, adanya bubur ayam..." Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Iya, gak papa." Balasku sambil menyungging senyum.

Kami pun duduk dan memesan dua porsi bubur ayam.

Si mang bubur lama sekali menyiapkan bubur untuk kami. Air mineral dan teh pun habis kami teguk.

Seorang anak kecil membantu mang bubur menyuguhkan air teh panas.

Bubur ayam spesial pun hadir di tengah kami.

"Pantas saja lama," batinku.

Bubur dan temannya ditata sangat rapi. Tak banyak cakap. Aku langsung melahapnya.

"Hm... Yummy!"

Seperti biasanya, buburnya habis lebih awal. Aku sudah kekenyangan.

"Mau dihabisin" aku menunjuk buburku.

Dia mengangguk. Aku pun menyodorkan sisa bubur. Dia pun habis melahapnya. Alhamdulillah.

Dia membayar dan berlalu meninggalkan kedai itu. Aku mengikutinya.

"Makasih, Pak! ucap mang bubur.

"Iya, sama-sama." balasnya.

"Makasih, Neng!" ucapnya lagi.

"Iya Mang, sama-sama."

Aku tak kuat menahan tawa. Apa aku dianggapnya anak suamiku?

Kami cuman beda setahun. Kami bahkan satu angkatan. Muka dia aja yang boros. Aku bersyukur punya perawakan kecil. Semoga terus awet muda. Jadi dia tetap setia, gak usah nyari yang muda. Aku juga jauh lebih muda.

***

Semoga suka ceritanya ya! Ditunggu like dan komennya!



Siapa Takut Nikah Muda!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang