Belum genap setahun kita saling mengenal. Kaulah yang akhirnya memenangkan hatiku. Mengalahkan egoku dan orangtuaku untuk merampungkan studi S1 ku dulu sebelum menikah.
Kau pun membuatku melanggar janjiku untuk menikah di usia ke-23. Yah, karena aku pernah sepakat dengan sahabatku, Resi.
"Kamu punya target menikah di umur berapa, Ma? tanya Resi dalam.
"Aku, insya Allah 23" jawabku asal.
"Wah, kita punya target yang sama!" timpal Resi semangat.
Itulah kesepakatan kami saat menjelang akhir SMA. Kami akan menikah di usia ke-23 setelah kami menyelesaikan S1.
Nyatanya belum genap 20 tahun usiaku, ijab-qabul pun terucap. Kau ambil beban dan kewajiban di pundak Bapak. Kaulah sekarang imamku, kita sama-sama hadapi terjalnya hidup ini. Kita sama-sama raih surga-Nya tanpa lelah.
Aku tahu kau baru saja belajar membangun karirmu. Membuka bengkel motor dari nol. Tentu saja jauh dari kata mapan. Pun jua aku, kau saksikan kekuranganku yang tak punya bekal sedikit pun dalam ilmu kerumahtanggaan.
"Aku tak peduli!" ucapmu yakin.
Aku pun sama tak peduli ketidakmapananmu saat ini. Aku akan selalu berada di sampingmu. Membesarkanmu dalam bahtera kita.
"Bismillah saja!" tambahmu dalam pinanganmu sebulan yang lalu.
Tak ada satu pun dalil atau alasan yang membenarkan pacaran karena mendekati zina itu dilarang keras. Itu pula yang membulatkan tekadku untuk mengakhiri masa lajang.
Masa-masa sedang di atas daun. Dalam hal akademik dan non akademik. Bahkan, banyak dosen yang kecewa dengan putusan ini.
"Hah, Ilma anak kemarin sore udah mau nikah aja" celetuk Bu Afa dosen linguistik.
"Sudah yakin, setelah nikah ghiroh belajar tetap membara seperti saat ini? tambah Pak Rahman menyangsikan.
Memang banyak kasus, mahasiswi yang memilih menikah saat kuliah, turun semangat belajar karen kesibukannya mengurus rumah tangga.
***