09 - Benih

119 10 0
                                    

Pesawat kami mendarat setelah satu jam mengudara. Kami semua terlihat tidak sabar ingin cepat - cepat turun dari pesawat.

Setelah keluar dari bandara, kami masih harus naik mobil sekitar tiga jam untuk tiba di tempat yang kami tuju. Perjalanan yang melelahkan.

"Yeahh, akhirnya tiba juga" Ken berteriak.

"Wooohoooo. Ini akan mengasyikkan" Shu lanjut berteriak.

"Hei, sebaiknya kau membereskan barang - barangmu dan bawa masuk ke villa" Nami menghentikan mereka berdua.

Agak memalukan jika mereka berteriak seperti itu. Apalagi pemilik villa sudah menunggu kehadiran kami.

Eh ada yang aneh. Karen berjalan menuju paman pemilik villa tersebut dan memeluknya. Mungkin saja dia keluarganya.

"Teman - teman, kemari!" Karen berteriak. "Ini kakak ayahku. Secara biologis, ini pamanku" meski wajahnya datar, tetapi mukanya merona menahan malu.

"Selamat datang, nak. Ayo masuk dulu. Nanti saya buatkan teh hangat"

"Terima ka..."

"Paman, ini kan ditepi pantai. Bagusnya kalau minumannya dingin" Ken memutus kata - kataku.

"Psst..., kau ini Ken. Hargai paman itu. Lagipula ponakannya ada disini" Nami berbisik sinis pada Ken.

"Sudah tidak apa. Nanti aku buatkan minuman dingin untukmu Nak. Yang lain mau minuman dingin juga atau teh hangat saja?"

"Kalau kami terserah paman. Teh hangat juga tidak apa, mumpung udah hampir malam paman. Sekaligus merilekskan tubuh sehabis perjalanan jauh" aku berkomentar.

Paman itu tertawa kecil lalu masuk ke villa dengan segera. Paman menyuguhkan empat teh hangat dan satu es kelapa. Ken sangat asyik menikmati es kelapanya. Kami juga minum tehnya dengan perlahan.

Setelah minum teh, paman menunjukkan kamar kami. Villa ini cukup kecil, dan hanya memiliki dua kamar. Jadi aku, Ken dan Shu otomatis sekamar.

Kami memutuskan jalan - jalan sebentar di tepi pantai. Di jalan aku bercerita dengan Nami, menyisir pasir pantai. Sampai - sampai kami ketinggalan mereka bertiga.

Aku menyukainya. Aku menyukai Nami.

Berjalan berdua di pinggir pantai, dengan matahari yang hampir akan di telan laut di barat. Kami sudah seperti pasangan saja.

"Hei kalian berdua! Kita harus pulang sebelum malam. Pantai ini akan sangat gelap kalau matahari tidak terlihat lagi." Karen berteriak.

"Iya, kami segera menyusul" dia itu mengganggu kami saja. Cemburu kali ya?

Kami bergegas kembali ke villa. Dan benar saja kata Karen. Pantai ini sangat gelap saat malam. Hanya terdengar debur ombak di bibir pantai.

Malam ini, Ken sangat kedinginan. Biarpun ini pantai, kalau malam tetap dingin juga. Paman Karen juga sudah pamit pulang, dan sekarang sisa kami berlima.

Kami bermain kartu, bercerita, dan menghabiskan segelas susu panas sebelum kami beranjak tidur.

Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku memutuskan keluar ke Teras. Menikmati alunan nada debur ombak di malam hari, ditambah angin sejuk membuatku sangat rileks. Lebih rileks dibanding meminum segelas teh tadi.

"Hei Arima. Kau juga tidak bisa tidur?"

Nami mengejutkanku.

"Hehehe. Iya. Berarti kau juga tidak bisa tidur"

"Iya. Hei Arima. Aku..." Suaranya terputus oleh dinginnya angin malam. "Aku ingin bercerita padamu"

"Iya, cerita apa?"

"Kau tahu. Belakangan ini perasaanku selalu saja tidak tenang. Aku mungkin..."

Debur ombak. Suara Angin. Daun kelapa yang menari indah. Akan menjadi saksi.

"Mungkin apa?" Aku bertanya.

"Mungkin aku sedang jatuh cinta!"

Tomboy? But I Love You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang