13 - See You

103 6 1
                                    

Aku terbangun

Badanku sangat kaku, sangat sulit untuk di goyangkan. Seluruh badanku sangat nyeri dan pegal.

Tapi aku sendiri. Dan aku lupa apa yang terjadi.

Hingga akhirnya aku teringat, bahwa mobil kami terguling setelah disambar truk.

Rasa panik tiba - tiba menjalar di tubuhku.

Ayah? Bagaimana dengan ayah?

Saat itu pula, suster datang. Dia juga panik seperti diriku saat ia memanggil dokter.

Dokter datang, segalanya di periksa. Detak jantung. Denyut nadi.

Hingga perlahan ia mengajakku berbicara.

"Hai nak. Siapa namamu?"

"Arima..." suaraku tercekat diakhir kata.

"Oke sudah cukup. Sekarang kau hanya butuh istirahat. Suster akan merawatmu selama di sini"

Aku mengenal dokter itu.

Mata sipitnya. Suaranya. Juga kacamatanya. Ah tidak mungkin. Tapi dia persis dengan adik ibu.

Belum lima detik dokter keluar, seseorang kemudian masuk. Mungkin ayah.

"Hai, Arima. Apa kabar?" Suara Ken berbicara.

"Hey apa kau bodoh? Tidak kah kau lihat sekujur badannya penuh perban. Dan kau malah berkata apa kabar?" Dari cara bicaranya sudah jelas ini Karen.

"A..ku baik kok..." Aku mencoba berbicara.

"Arima, kau juga bodoh. Jangan dipaksa bicara dulu." Karen masih sempat menghinaku.

"Tadi Nami dan Shuu datang. Tapi aku menyuruh Shuu mengantar Nami pulang karena sudah malam" Kali ini Ken yang berbicara.

Aku mengangguk.

Mereka tersenyum.

"Ayah?" Aku bertanya.

Senyum mereka pudar.

"Oh tidak sekarang Arima. Ayahmu lebih baik dari pada dirimu sekarang"

Aku mengangguk pelan. Tersenyum.

Karen juga tersenyum. Begitu pula dengan Ken.

Selama beberapa hari kedepan, kerjaku hanya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tiap hari, secara bergantian teman - temanku menjenguk. Bahkan wali kelasku juga datang.

Sekitar dua minggu di rumah sakit, aku sudah dibolehkan pulang ke rumah. Sisa perban di kepala dan lengan kananku yang masih terlilit. Sisanya sudah dilepas.

"Arima. Kau pasti ingat aku siapa kan?" Dokter itu bertanya sambil mendorong kursi rodaku.

"Iya aku tahu. Kau adik ibu, bukan?"

"Ternyata kau tahu. Kirain udah lupa saya"

"Dok, ayah mana? Aku tidak pernah melihatnya..."

Dokter itu terhenti.

"Dokter. Pasien yang baru saja di operasi tadi sekarang dalam keadaan sangat kritis"

Oh tidak! Itu pasti Ayah.

"Arima, tunggu di sini. Aku akan segera kembali..."

"Biarkan aku ikut. Apa itu ayah?"

"Jangan Arima, jangan sekarang."

"Aku harus ikut, atau aku akan mencoba lompat dari kursi ini"

Dokter itu tidak memiliki kesempatan berpikir, dan menyuruh perawat tadi mendorong kursi rodaku.

Kami tiba.

Kamar ini, aku gugup masuk ke dalam.

"Kau diam di sini. Jangan masuk!" Dokter itu kemudian bergegas masuk.
"Tolong biarkan aku masuk. Tolong!" aku menangis. Aku tahu itu pasti ayah.

Sekitar setengah jam dokter kemudian keluar, wajahnya sangat cemas.

"Hei Arima. Kau boleh masuk sekarang."

Kursi rodaku didorong perlahan.

Aku melihatnya.

Ayah!

Kondisinya sangat buruk. Dadanya naik turun dengan tempo yang tidak teratur.

Saat melihatku, dia tersenyum.

"Arima..." Ayah memanggilku. Aku kaget sekaligus senang dia masih bisa berbicara.

"Ayah..." Air mataku mulai terhenti.

Dia mulai berbicara.

"Kau tahu, Ayah bermimpi indah tadi malam..." Ayah terhenti sejenak. "Kau, ayah, dan ibumu sedang berada di taman. Kemudian, kau mengambil bunga, dan menghias rambut ibumu. Bunganya layu, dan sangat buruk. Tapi ibumu begitu cantik..."

Ayah berbicara sangat pelan.

"Lalu, tiba - tiba kau melompat, sehingga roti ayah terlempar dan di makan oleh kucing. Tidak ada yang marah saat itu. Kita semua tertawa."

Aku tersenyum.

"Kau tahu. Aku melihat ibumu sejak tadi malam. Ia berpesan agar kau terus menjaga dirimu. Jangan pulang terlalu malam..." Ayah terhenti lagi. "Ayah juga mau titip pesan. Jaga dirimu. Kami menyayangimu."

"Aku juga menyayangimu, Ayah. Ayah jangan pergi" aku menangis.

"Aku selalu di sisimu nak..., begitu pula ibumu..."

Ayah melanjutkan pembicaraannya.

"Mungkin ini saat yang tepat. Kami tidak hanya menyayangimu. Kami mencintaimu, Arima."

Dadanya yang tadi naik turun telah terhenti. Matanya mulai tertutup perlahan.

"Aku juga mencintaimu, Ayah"

Aku menangis sejadi - jadinya. Karena saat itu aku tahu, ayah telah pergi.

Dia pasti bahagia, karena dia akan bertemu dengan Ibu.

Sampai Jumpa, Ayah.

Tomboy? But I Love You [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang