Air Mata Kala Hujan
Aku melihatnya berdiri di ambang pintu utama. Mematung selama hampir lima belas menit. Wajahnya menengadah, memejamkan mata. Hampir tidak bergerak sedikit pun.
Kulirik jam tanganku. Pukul lima sore, dan gadis itu masih berada di sana.
Kemarin aku juga melihatnya di sana. Dan waktu itu dia mengenakan dress hitam.
Dan, hari ini bajunya juga hitam lagi. Ingin aku mendekatinya dan sekadar basa-basi menyapa 'hai' atau 'sedang apa kau di depan kampus?' tapi rupanya tiba-tiba turun hujan deras yang membuatku mengurungkan niat. Aku jadi sibuk sendiri dengan tubuhku yang terkena percikan air hujan padahal aku sudah berteduh di salah satu gedung kampus, berada beberapa meter dari gadis itu berdiri.
Oh, aku teringat lagi akan gadis itu, lalu aku berfokus padanya lagi. Dia, gadis itu, tetap pada tempatnya berdiri. Tak peduli seberapa deras hujan yang menerpanya, atau bahkan kupikir jika ada petir sekalipun, mungkin dia akan tetap di sana. Bahkan, aku hampir-hampir lupa bahwa ia manusia karena ia tak berubah posisi sedikitpun. Atau jangan-jangan, dia hantu? Ah, tidak mungkin!
Oke, baiklah. Karena aku semakin penasaran, maka kudekati dia.
Saat aku berada tepat di belakang punggungnya, hampir saja tanganku akan menepuk pundaknya, tiba-tiba dia menoleh. Kulihat wajahnya yang menyedihkan. Kelopak matanya yang penuh make up luntur, membuat gadis itu terkesan menyeramkan. Sejenak aku kaget, namun aku teringat tujuanku untuk menyapanya, "Hai, sedang apa hujan-hujanan?"
Dia terdiam, dan hawa dingin mencekam membuat suasana menjadi horror. Bulu kudukku bergidik ngeri. Aku mundur selangkah, berusaha menjauh darinya.
Dari tempatku berdiri, aku bisa mendengar gadis itu bicara, "Di mana Sam-ku?" tanyanya dengan datar.
"A-apa? Sam?" kataku terbata-bata.
"Di mana Sam?!" tanyanya lagi, dengan intonasi agak meninggi dari yang tadi.
"Siapa nama panjang Sam?" tanyaku, berusaha membantunya padahal sebenarnya pertanyaan itu bukanlah sebuah bantuan.
"Di. Mana. Sam. Ku."
"Tolong jawab, siapa nama panjang Sam-mu itu. Mungkin aku bisa membantumu," kataku lagi, berusaha bersikap biasa saja seolah-olah aku tidak takut dengan penampilannya.
"Apa kau tahu siapa aku?" tanyanya berubah topik.
"K-kau?" kataku, terbata-bata, berusaha untuk mengucapkan kebenaran bahwa aku sebenarnyalah tidak mengenalnya sama sekali. "A-aku baru melihatmu hari ini, dan kemarin juga. Di sini. Di tempat yang sama. Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku sedang mencari."
"Me-mencari? Mencari apa? Siapa? Di mana?"
"Sam." Oh, Sam-nya lagi. Aku hampir-hampir bosan mendengarnya menyebut 'Sam' yang bahkan aku saja tidak tahu nama gadis itu apalagi Sam-nya.
Lalu aku menawarkan, "Bisakah kau berteduh? Mungkin kita bisa bicara."
Sulit dipercaya, kali ini dia menuruti perintahku. Gadis itu beranjak dari tempatnya, mendekat padaku, berteduh.
Dari jarak hampir setengah meter darinya, kini aku bisa melihat dengan jelas matanya yang redup. Di pinggirannya terdapat lingkaran hitam yang melebar, luntur oleh air hujan.
Kusuruh dia untuk masuk saja ke dalam, dan aku pikir mungkin kami bisa mengobrol, atau bahkan aku bisa membantunya barangkali.
Aku berjalan di depan--dan gadis itu di belakang--menyusuri lorong, dan berhenti pada salah satu bangku panjang yang berada di depan ruangan yang menghadap ke taman. Aku memperlihatkan kesan tubuh mempersilakannya duduk, maka gadis itu pun menurutiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Akhir yang Tidak Menyenangkan
Historia Cortakumpulan akhir yang tidak menyenangkan dari segelintir kisah yang berakhir tidak menyenangkan 2018-2019